Hembusan napas panjang terdengar berasal dari seorang remaja yang baru saja siuman setelah tak sadarkan diri sejak semalam. Dia mengaduh merasakan nyeri di bagian perut kanannya, saat kelopak matanya telah membuka sempurna barulah ia dapat menyadari keberadaannya sekarang.
Bersusah payah ia berusaha untuk duduk dengan sekuat tenaga, tak ada siapapun selain dirinya yang berada di ruangan serba dominan putih berbaukan obat-obatan. Saat ia berada di masa kesusahan, pintu ruangan itu terbuka dan menampakkan Elina yang datang membawa sebotol air mineral yang menyisakan setengah.
Wanita itu terkejut lalu berlari menghampiri putranya dan membantunya untuk duduk dengan posisi yang nyaman. Matanya berbinar memancarkan perasaan lega dan juga khawatir hingga membuat Erik menyadari bahwa ibunya sudah menahan isak. Laki-laki itu memegangi tangan sang ibu lalu tersenyum lembut meski wajahnya masih terlihat pucat pasi.
"Jangan nangis dong, ma. Aku gapapa kok" ujarnya pelan.
"Gimana mama gak nangis orang anak mama luka sampai di operasi segala. Mama khawatir kamu kenapa-kenapa, mama takut kamu ninggalin mama" isak Elina.
"Nyatanya aku sekarang ada di hadapan mama kan? Jadi jangan nangis lagi ya, aku gak akan ninggalin mama kok" kata Erik sembari menyeka air mata yang menetes di pipi sang ibu.
"Jangan gini lagi mama gak suka!" rengek Elina.
Erik mengangguk, "Maaf ya..." ujarnya, "Papa dimana?" tanyanya.
"Papa kamu kerja, ada keperluan mendadak dan kemungkinan bakal malem pulangnya"
"Oh... Hmm aku boleh nanya gak ma?"
"Tanya apa?"
"Kemaren—papa ketemu sama Kak Greysia?"
"Soal itu mama gak enak ngomonginnya"
"Beneran ketemu ya? Ada apa-apanya?"
"Dia sempet kesini, bukan deng dia yang disini nungguin kamu sampai kita dateng. Tapi kamu tahu sendiri kan papa kamu itu kayak gimana orangnya kalau sama dia, jadi belum sempat bilang apa-apa udah di marahin dulu. Mama udah nahan terus ada temennya dia juga belain, emang papa kamu aja yang kolot emosian banget orangnya"
"Lagian kamu juga kenapa bisa bareng sama Greysia? Kan kamu udah sering di bilangin sama papa kamu buat enggak main-main sama dia. Bukannya mama gak boleh malah bagi mama boleh-boleh aja kan menjalin kembali hubungan yang renggang gak ada salahnya apalagi dia kakak kamu sendiri. Tapi mama juga gak pengen kamu dimarahin sama papa kamu lagi kaya dua tahun yang lalu, apa kamu gak takut?"
Erik menggeleng, "Enggak sama sekali. Selama pilihan aku bener, aku gak akan takut sama papa. Aku yakin banget buat di pihak Kak Grey, dia itu baik banget kok enggak seperti apa yang papa atau Tante Santi bilang. Aku udah tanya sendiri ke temen-temennya kakak, dan mereka bilang Kak Grey itu baik banget orangnya"
"Dan mama tahu? Aku satu sekolah sama Kak Greysia"
"Apa?! Kamu becanda kan?"
"Serius! Aku sengaja masuk ke sekolah yang sama dengan Kak Grey, aku pengen lebih kenal sama dia. Dan mama tahu gak apa yang udah Kak Greysia lakuin ke aku?"
"Apa?"
"Di hari aku berantem, ternyata cowok yang adu jotos sama aku itu anak kelasnya dia. Aku pikir setelah aku bilang kalau aku adalah putra dari Rian Kamada, Kak Greysia bakal benci aku dan gak peduli sama aku. Tapi ternyata enggak, dia nyusulin ke UKS dan ngobatin luka aku. Dia beliin aku minuman meski cara ngomong dia seakan ngedorong aku untuk pergi jauh-jauh dari dia"
"Terus kemaren kalau bukan karena Kak Greysia mungkin aku udah mati di jalan karena kehabisan darah"
"Mama udah tahu... Tadi polisi dateng kesini dan bilang kalau pelakunya udah ketangkep. Semalem mama kira kamu kecelakaan gara-gara dia, tapi semuanya gak seperti mama kira. Mama terharu dan merasa bersalah karena sempet mikir yang enggak-enggak tentang dia padahal dia baik anaknya"
"Kata polisi, dia yang laporin kasus pembegalan itu. Dia yang ngurus semuanya hingga biaya operasi kamu, dan mama harus ganti uang dia kalau nanti ketemu lagi. Mama pengen berterima kasih ke Greysia"
"Makasih ya ma udah percaya sama Kak Greysia"
"Kamu jangan lupa kalau mama ini seorang ibu. Dia yang diperlakukan seperti itu mama merasakan kasihan dan sakit juga gak tega. Semua masalah orang tuanya di lemparkan ke dia, kelahirannya gak pernah disambut rasa syukur dari orang-orang sekitar. Lahir dari rahim seorang ibu itu bukan pilihan apalagi mereka yang belum menginginkan kehadiran seorang anak"
"Terima kasih atas pengertiannya, ma. Aku dan kakak itu sama-sama anak tunggal, sama-sama ngerasain apa yang namanya kesepian. Tapi aku masih beruntung daripada kakak, aku masih mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuaku sedangkan dia udah di tinggal sejak dia masih kecil. Dia lebih kesepian ketimbang aku ma dan aku gak mau biarin kakak sendirian lagi"
"Kamu anak baik, Erik. Mama bersyukur kamu mempunyai pemikiran yang seperti itu, mama jauh lebih takut jika kamu seperti kami. Maafin orang tua kamu ya nak"
"Aku juga" ujar Erik.
Beralih dari pembicaraan antara ibu dan anak, pintu kamar itu sekali lagi terbuka lebar. Mereka kompak menoleh saat mendengar suara derek pintu yang mereka kira seorang perawat datang memeriksa keadaan Erik namun ternyata bukan. Sesosok laki-laki jangkung, berkulit putih, dengan balutan seragam juga jaket parasut menutupi kemeja putih seragamnya.
Dia datang masih membawa tas di punggung sedangkan di tangannya membawa sebuah parsel buah. Dia menunduk malu kemudian menyapa, disusul Elina yang berdiri menyambut kedatangan laki-laki tersebut.
"Siang tante" sapanya sembari menyerahkan parsel yang ia bawa.
Elina menerima, "Siang, aduh terima kasih ya jadi ngerepotin gini" ujarnya.
"Gapapa kok tante" balas Jayco.
"Sini-sini duduk, kalian ngobrol aja, tante ke bawah belikan minuman" kata Elina kemudian berlalu pergi.
Kali ini Erik menatap penuh tanya kearah Jayco, sesekali ia mencuri pandang ke arah pintu barang kali ada seseorang lagi yang akan datang. Namun tingkahnya terbaca jelas oleh laki-laki itu membuat Erik menggaruk tengkuknya tak gatal karena salah tingkah.
"Anu... Kak Greysia gak ikut dateng?" tanyanya.
Jayco menggeleng singkat sebagai jawaban, "Belum jam pulang dianya, udah gue ajak juga tapi gak mau. Dia merasa bersalah sama lo"
"Yah padahal gue pengen banget Kak Greysia kesini" ujar Erik sedih.
"Ngomong-ngomong keadaan lo gimana? Udah jauh lebih baik atau masih merasa pusing dan sebagainya?"
"Udah mendingan tapi masih agak pusing juga"
"Bagus deh, cepet sembuh biar bisa ngurangin rasa bersalah yang dirasain Greysia. Lain kali bakal gue usahain buat bujuk dia jenguk elo"
"Thanks, bro... Oh nama lo kemaren siapa? Jo bukan sih lupa"
"Iya panggil Jo aja"
"Kalau boleh tau, lo pacarnya Kak Grey?"
"Bukan, cuma temen. Kalau pacaran takut ngecewain soalnya banyak yang Greysia gak tahu tentang gue"
"Tapi lo suka?"
"Udah lebih dari suka. Gue cinta sama Greysia, tapi gue lebih cinta sama Tuhan"
"Beda agama?"
Dan Jayco menganggukkan kepalanya.
Dia berucap, "Sebelumnya sorry kalau misal tersinggung, gue gak tau maksud lo baik apa enggak dengan mendekatkan diri dengan Greysia setelah sekian lama gak pernah ada obrolan sama sekali. Gue bersyukur kalau lo beneran punya niat baik karena dia juga kakak lo kan. Tapi kalau misal ada maksud jelek mending lo berhenti dari sekarang, stop selama gue masih baik-baik sama lo. Gue tau sehancur apa dia jadi tolong lo jangan nambahin rasa sakit untuk dia" ucapnya.
Jayco melanjutkan, "Greysia gak punya siapa-siapa yang bakal support dia. Dia menjadi perempuan kuat karena keadaan yang memaksa dia seperti itu. Dia juga orang yang sangat berharga bagi seseorang dan gue harus bener-bener ngelindungin dia. Jujur gue ragu sama lo, sekarang banyak orang yang di depan baik tapi nusuk di belakang. Jadi maaf aja kalau keraguan gue dalam menilai lo malah membuat perasaan lo tersinggung"
Helaan napas yang teramat berat terdengar, senyum pahit merekah di wajah Erik yang masih terlihat sedikit pucat. Memang tidak ada yang salah dari semua prasangka yang di ucapkan Jayco ini, jika dia jadi laki-laki itu mungkin pikiran kurang lebih sama.
Sesuatu akan nampak aneh bagi orang yang dekat dengan Greysia jika orang yang katanya 'adik' tiba-tiba menyapa untuk pertama kalinya setelah selama belasan tahun lama tak saling mengenal satu sama lain. Bukan hal yang salah jika Jayco mencurigainya. Bukan juga rasa tersinggung melainkan perasaan lega karena ada orang yang sangat peduli dengan kakaknya.
"Gue tahu kok, bang. Seneng lo ada di sisi kakak. Gue emang gak pernah bertegur sapa dengan kakak, pertemuan pertama aja kakak gak kenal siapa gue. Mengumpulkan nyali untuk mengambil keputusan ini bukan hal yang mudah terlebih adanya konflik antara orang tua kita. Gue butuh selama empat tahun ngumpulin segala macam informasi soal kakak dan kita di pertemuan dengan tidak sengaja selama dua kali" ujarnya.
Erik mengimbuhi, "dua tahun terakhir gue harus ngadepin papa karena ketahuan diem-diem ketemu sama Kak Greysia. Selama dua tahun itu gue gak nyerah sampai akhirnya gue nekat masuk ke sekolah yang sama dengan kakak. Gue emang pengen banget deket sama kakak selayaknya saudara lainnya. Gue gak ada niat terselubung yang akan ngerugiin kakak, gue tulus"
"Kalian sama-sama melewati masa yang sulit dan gue harap omongan lo bisa di pegang. Jadi laki-laki yang bisa nepatin janjinya, jangan jadi pengecut yang suatu saat nanti ngejilat ludahnya sendiri"
"Enggak akan. Gue selalu di pihak Kak Greysia, janji. Tapi, tolong ya, bang, bantu gue buat deket sama Kak Grey"
"Bakal gue bantu sebisanya. Perasaan orang yang udah terluka dari lama itu jauh lebih susah karena mereka udah terlanjur jatuh kedalam kesedihan itu. Jadi tolong ngertiin kalau nanti gak sesuai dengan harapan lo, tapi misal hasilnya jauh lebih baik jangan di sia-siain. Ntar nyesel"
"Oke! Aku yakin" seru Erik semangat namun kemudian mengaduh kesakitan saat luka jahitnya bergesekan dengan kain perban, "Aduh...duh...aw"
"Hati-hati dong. Seneng boleh tapi perhatiin juga luka lo. Kalau robek lagi nanti lo gak sembuh-sebuh"
"Iya maaf"
"Awas aja bikin khawatir" ucapnya memperingati.