Masih belum ada tanda-tanda operasi selesai, sekarang telah memasuki waktu satu jam lamanya namun pintu itu masih tertutup dengan tenang sedangkan orang yang menunggu kian cemas mengharapkan kabar baik yang di sampaikan oleh sang dokter.
Kaki Greysia sedari tadi tak bisa diam terus mengetuk-ngetuk lantai lorong rumah sakit. Mulutnya tak berhenti merapalkan doa untuk keselamatan Erik. Sedangkan Jayco masih setia menemani temannya dan memberikan ketenangan untuk tidak memikirkan hal negatif akan terjadi.
Larut dalam rasa cemas mereka berdua tak sadar jika kedua orang tua Erik pun telah tiba dan berdiri tepat di depan dua remaja tersebut. Kedua orang itu sama-sama terlihat cemas bahkan pipi si wanita terlihat lembab dengan mata yang merah berair.
"Gimana keadaan anak kami?" tanya seorang pria tinggi mengenakan kemeja navy.
Greysia dan Jayco kompak mendongak namun lagi-lagi hal mengejutkan dialami oleh Greysia dan kedua pasangan suami istri tersebut. Mereka sama-sama tak menyangka akan dipertemukan oleh gadis itu di tempat dan situasi seperti ini hingga membuat suasana canggung dan tegang bercampur menjadi satu.
"Kamu—" sebut Rian menatap tajam Greysia.
Greysia pun berdiri disusul Jayco setelahnya. Mereka saling berhadapan, menatap satu sama lain dengan intens. Terlihat rahang Rian mengeras lalu istrinya merangkul lengan suaminya agar tak bertindak terlalu jauh nanti. Hal yang sama dilakukan oleh Jayco, dia bisa membaca situasi dengan cepat terlebih sikap Greysia yang seakan gugup dan gemetar.
Rian melangkah lebih dekat, pria itu menampar Greysia amat keras hingga nyaring bunyinya. Emosinya terlihat meluap dengan perlakuan yang terus mendorong Greysia beberapa kali dengan kilatan amarah terlihat dari pancaran bola matanya.
"Kamu! Bener-bener anak pembawa sial! Lihat apa yang sudah kamu lakukan kepada Erik, kalau dia tidak bertemu dengan kamu gak akan terjadi hal seperti ini! Ini semua gara-gara kamu!!" bentak pria itu meninggikan suaranya.
Greysia hanya bisa diam di maki oleh ayahnya, "Dasar pembawa sial! Udah berapa kali kamu ngehancurin keluarga saya, semenjak ada kamu, hidup saya jadi kacau! Dari dulu sampai sekarang selalu seperti itu, kali ini kamu nyelakain anak saya iya?!" amuk Rian lagi.
"Mas udah mas jangan marah-marah" cegah Elina menarik tangan suaminya.
Jayco menengahi dua orang itu, "Om tenang dulu... Greysia gak salah apa-apa, dia gak ada sangkut pautnya atas kecelakaan yang dialami Erik" ujarnya.
"Iya mas tenang dulu, ini di rumah sakit loh gak enak sama pasien lain bisa ganggu mereka" kata Elina lagi.
"Sekarang kamu pergi dari sini dan jangan sekali-sekali berurusan dengan keluarga saya! Pergi!" usir Rian begitu saja.
Air mata Greysia yang semenjak tadi terbendung akhirnya pecah juga, tangis yang sekuat tenaga ia pertahanan pada akhirnya merembes keluar. Dia menatap ayahnya dengan penuh kekecewaan, gadis itu melengos pergi dan berlari dengan perasaan yang hancur berkeping-keping.
Bukan rahasia umum lagi jika rasa sakit paling menyakitkan adalah rasa yang berasal dari keluarganya sendiri. Ia tak apa jika tak memiliki teman, ia tak apa jika selalu mendapatkan perilakuan tak enak di dunia luar akan tetapi tolong kecuali keluarganya. Kecualikan orang tuanya.
Bagaimana dia bisa hidup tenang jika dia selalu di buang seperti ini. Tidak cukup dengan semua caci maki yang keluar dari mulut ayahnya namun ini juga kekerasan fisik ia terima. Terlalu sering rasa sakit menghujani hidupnya, yang seharusnya ia terbiasa tapi ini tidak. Sakitnya semakin bertambah seringnya waktu.
Jayco meraih pergelangan tangan Greysia, laki-laki itu membawa Greysia kedalam pelukannya dan membiarkan dia menumpahkan kesedihannya disana. Gadis itu mencengkeram kuat pundak Jayco, tangisnya terdengar pilu. Punggungnya dielus ditenangkan, bahkan laki-laki itu berani meletakkan dagunya keatas puncak kepala Greysia.
"It's okay, tangisin aja jangan di tahan lagi" ucapnya lembut.
Setelah beberapa saat tangis mulai mereda, Jayco mengajak Greysia untuk menuju mobilnya, hingga disana Greysia diberi minum dan tisu. Laki-laki itu terus menatap Greysia dengan tatapan sendu, lagi-lagi ia dikhawatirkan dengan keadaan gadis disampingnya ini.
"Udah mendingan?" tanyanya.
Greysia mengangguk, "Maaf gue jadi lemah gini kalo sama lo"
"Enggak, gapapa kok... Kamu gak perlu selalu kuat, gapapa kamu capek. Gapapa kamu lelah, jangan maksain diri buat baik-baik aja. Sesekali ngeluh juga gak bikin harga diri kamu turun"
"Thanks Jacob"
"Bukan apa-apa, aku harap kamu bisa lebih tenang aja jangan terus berpikir kalau kamu baik-baik aja. Memang luar kamu gapapa, tapi mental kamu kasihan"
"Lama-lama bisa gila gue ya"
"Enggak dong, aku yang jamin kalau kamu gak akan kenapa-kenapa"
"Tapi, Jacob... Gue gak marah sama sekali tentang apa yang ayah bilang tadi, itu semua bener. Orang tua gue yang sering berantem, cerai, di buang, terus anaknya bokap sama istri satunya. Kalau aja Erik gak pernah ketemu sama gue pasti gak akan kejadian kek gini. Gue tuh sial banget, dan sekarang gue takutnya elo kena imbasnya juga"
"Hei, gak boleh ngomong gitu. Jangan merendahkan diri sendiri, jangan di masukin hati omongan ayah kamu. Gak ada yang namanya anak sial, kehadiran anak di dunia itu adalah berkah. Dan tentang Erik, musibah gak ada yang tahu kapan datangnya, Greysia. Dia selamat setelah kena begal itu udah mukjizat, dan kamu juga berperan penting atas keselamatan dia. Kamu yang bawa dia ke rumah sakit agar diselamatkan oleh dokter, coba kalau dia pingsan di jalanan hujan-hujan gak ada yang lihat gak tahu deh dia masih ada atau enggak. Dia selamat berkat usahanya dia dan juga kamu"
"Kamu udah laporin kasus ini ke polisi dan mereka akan usut pelaku sampai dapat jadi jangan mikir aneh-aneh. Erik bakal baik-baik aja dan aku juga berharapnya kamu juga. Kita pulang ya aku anterin ke rumah, kamu istirahat dan besok kita curi waktu buat jengukin Erik di rumah sakit"
Gadis itu mengangguk dengan tenang. Dia melemaskan pundaknya dan menatap lurus ke depan sedangkan Jayco mulai mengemudikan mobil yang ia kendarai. Di jalanan malam setelah hujan dan jam yang kian menuju tengah malam, mereka larut dalam keheningan hingga rumah kediaman Greysia.
Tak ada basa-basi apapun hanya sekedar ucapan selamat malan dan sampai jumpa besok juga sebuah beberapa kalimat pengingat untuk ucapan perpisahan mereka. Kemudian Jayco melanjutkan kembali pulang menuju rumah untuk istirahat.
Melihat tak ada sambutan untuknya saat pulang ia terlupa jika dia tinggal sendirian dan seperti ia harus pulang ke rumah mamanya sesekali. Jayco melepas sepasang sepatu yang ia kenakan lalu ia letakkan pada rak sepatu yang berada di dekat pintu. Kemudian dia berjalan menuju kamar mandi namun dua langkah kakinya ia gerakkan kepalanya terasa amat pusing hingga membuat tubuhnya terhuyung ke tembok.
Rasa amis mengenai bibirnya saat ia sentuh cairan kental berwarna merah mengalir keluar dari hidungnya. Buru-buru ia mendongakkan kepala lalu berlari kecil menuju kamar mandi. Dibasuhkan air hangat namun darah terus saja mengalir tak kunjung berhenti hingga beberapa saat membuat badannya sedikit lemas.
Wajahnya basah semua dia menyangga badannya pada pinggiran wastafel. Jayco menatap mukanya sendiri yang terpantul pada cermin dengan sedikit raut bingung namun setelahnya ia memilih tak memikirkan hal negatif dan kembali ke kamarnya untuk segera beristirahat juga.
Malam yang menegangkan telah berlalu dan sangat membantu jantungnya untuk berpacu. Ia tak sangka akan dikabari oleh Greysia saat menuju tengah malam karena keadaan kritis seseorang. Jika di ingat-ingat kembali ia teringat kepada sosok saudara kembarnya yang telah tiada. Bagaimana ini, ia tiba-tiba merindukan sosok tersebut.
"Good night my little bro" bisiknya dengan mata yang telah tertutup.