Sebuah kotak obat diletakkan tepat di depan Erik yang kemudian laki-laki itu menatap Greysia yang tengah mengambil duduk tepat di sampingnya. Raut wajah yang tak bisa di bilang santai tak membalas tatapan laki-laki tersebut sedangkan tangannya sibuk mengambil obat-obatan yang ada didalam kotak.
Dia menuangkan dua tetes betadine ke sebuah cotton bud lalu menotolnya pada luka pada sudut alis Erik yang robek. Laki-laki itu sedikit meringis keperihan namun tetap diam saja saat kakaknya mengobati lukanya.
"Lain kali jangan cari masalah disini apalagi sama anak kelas gue" ucap Greysia datar.
Erik tertunduk lesu, "Maaf, Kak... Aku gak akan ulangin lagi" sendunya.
"Nanti kalo orang tua lo dateng jangan pernah sebut nama gue, jangan singgung apa-apa tentang gue. Cuma itu yang harus lo lakuin kalau memang ngerasa bersalah"
"Emang kenapa Grey gak boleh sebut nama lo?" sahut Ikhsan memotong obrolan dua insan tersebut.
"Nyamber aja heran" sarkas gadis itu lalu kembali menatap Erik, "Paham gak lo?" tanyanya.
Erik mengangguk, "Iya gak akan aku singgung apa-apa soal kakak" ujarnya.
"Lo kok sopan banget sama abu-abu? Suka lo sama dia?" tanya Ikhsan dengan tatapan penuh curiga.
"Gimana gak sopan orang kakak gue" gumam Erik pelan agar tak terdengar oleh Ikhsan ataupun Greysia.
Namun sekecil apapun suaranya, Ikhsan dapat mendengar apa yang adik kelasnya bicaranya. Bahkan laki-laki itu sudah maju ingin mengetahui lebih jelas apa yang Erik katakan. Sedangkan Greysia, dia menabok lengan atas Erik dengan sangat kencang.
"Ap—apa lo bilang? coba ulangin?" suruh Ikhsan.
"Ouhh si kampret mulutnya lamis banget" cibir gadis itu.
Erik segera menggeleng, "Enggak... bukan apa-apa, maksudnya tuh Kak Greysia kakak kelas gue...iya itu doang" elaknya.
"Apaan enggak... Lo bilang apa tadi, Greysia kakak lo? Lo adiknya dia? Si Greysia?" ulang Ikhsan.
"Enggak.. .Iya... Enggak, cuma adik kelas sama kakak kelas, senior junior aja" bantah Erik.
Greysia mendorong jauh Ikhsan agar kembali ke tempatnya tadi, "Udah ah lo gacor aja dibilang enggak-enggak" sembur gadis itu.
"Ye sans kali" ucap Ikhsan dengan wajah sebal.
Greysia membereskan barang-barangnya, dia menghela napas sembari menatap kedua laki-laki di hadapannya itu bergantian. "Kalian tunggu disini aja jangan ke mana-mana, gue balik ke kelas dulu tapi nanti gue mampir ke kantin beliin minum buat kalian" ucapnya.
Lalu menoleh pada Ikhsan, "Nanti gue izinin ke guru jadi tenang aja, terus yang bakal temenin lo ke BK biar Septian kalau misal emang di perluin sih" katanya dan Ikhsan mengacungkan tanda oke sebagai jawaban.
Bergantilah ke Erik, "Dan lo. Jangan sebut nama gue didepan orang tua lo, inget" ujarnya.
"Iya" jawab Erik.
"Kenapa sih Grey?" sahut Ikhsan masih penasaran.
"Bacot lo" sarkas gadis itu menutup kencang pintu lemari kecil yang tertempel di dinding.
Tanpa basa-basi dia meninggalkan UKS dan tak menoleh sedikit hanya pergi seperti angin lalu. Membiarkan Ikhsan yang diam-diam mengusik Erik agar memberi tahu hal apa yang telah terjadi antara Greysia dan laki-laki dihadapannya kini namun tetap saja tak mendapatkan jawaban apa-apa.
——
Desember memang bulan yang dipenuhi dengan hujan. Meski belum termasuk puncaknya namun hujan selalu turun disetiap waktu bahkan tak jarang lagi masyarakat melihat langit yang sangat mendung di pagi hari.
Sudah sejak empat jam yang lalu hujan turun tak kunjung mereda. Tak deras namun cukup membuat genangan dimana-mana dan itu cukup merepotkan bagi pengendara motor atau pejalan kaki yang berusaha menghindari cipratan air agar tak mengenal kaki atau pakaian mereka.
Sekarang sekitar pukul sepuluh malam dan jalanan terlihat lebih sepi daripada saat langit terang. Bahkan hampir tak mendapati pengendara motor yang melintas di jalanan malam. Saat itu Erik baru saja pulang setelah bermain dengan teman-temannya. Laki-laki itu pulang mengendarai motornya sendirian.
Perkelahian yang terjadi tadi siang membuat dirinya harus mendapatkan libur selama tiga hari sebagai hukuman dari pihak sekolah. Dengan mengenakan jaket double dan helm yang terpasang rapat di kepalanya, dia menerabas hujan saat telah sedikit mereda.
Dia melajukan motornya dengan hati-hati, dari kejauhan terlihat seperti seseorang sedang melambai di pinggir jalan meminta tumpangan. Melihat itu rasa ingin menolong begitu besar pun muncul, laki-laki itu mulai memelankan laju motornya dan berhenti tepat di depan orang tadi.
"Mau kemana pak?" tanyanya ramah.
Namun bukannya mendapat jawaban pria dengan baju sedikit basah itu mendorong Erik hingga terjatuh ke aspal dan motor yang ia tumpangi pun menimpa kaki kirinya. Seseorang lagi datang seperti satu komplotan dengan pria yang mendorongnya. Pada saat itulah ia sadar jika dia telah di jebak, mereka berdua adalah seorang begal.
Erik mengerang kesakitan memegangi kaki kirinya. Pria dengan tubuh lebih berotot memberdirikan motornya lalu menumpangi sedangkan satunya lagi terlihat mengambil sebuah senjata tajam dari saku dan mengayunkan ke bagian perut Erik namun dengan sigap dia berhasil menghindari tapi tetap saja melukai perut bagian kanannya.
Dia meneriaki para begal yang lari membawa kabur motornya. Dia menekan pinggangnya yang luka agar darah tak mengalir dengan cepat. Semua barangnya ikut di rampas baik handphone maupun uang. Dia menatap sekeliling tapi tak ada seorang pun yang melintas dan dia berusaha sekuat tenaga untuk berdiri setidaknya dia harus pergi mencari bantuan.
Sepuluh menit lamanya dia berjalan tanpa arah ditemani hujan yang kembali deras semakin membuat lukanya terasa perih. Kulitnya bahkan terlihat lebih pucat ketimbang tadi, helmnya entah kemana sudah tak ia perdulikan lagi. Dia mendapati sebuah minimarket dan daerah yang tak asing baginya. Erik tahu dimana ia sekarang dan dia berjalan sedikit lebih cepat menuju suatu tempat.
Dia mengunjungi sebuah rumah putih yang terletak di pinggir jalan. Rumah tertutup rapat bahkan tak ada celah sedikit pun untuk mengintip di jendela. Laki-laki itu terduduk di teras rumah bersandar pada dinding dengan mata yang kian menyayu. Badannya sudah lemas seakan mati rasa, semuanya dingin terlebih bajunya yang telah basah kuyup.
Dalam beberapa detik kemudian kesadarannya telah dirampas menyisakan pandangan hitam dan dia jatuh pingsan tergeletak di lantai yang dingin. Laki-laki itu pingsan bahkan sebelum ia sempat mengetuk pintu agar si pemilik rumah membukan dan memberikan pertolongan.
Entah takdir ataupun kebetulan, Greysia si pemilik rumah pun keluar dengan payung di tangannya. Dia berencana untuk ke minimarket depan untuk membeli sebuah mie instan dan beberapa snack seperti biasa. Dia kaget setengah mati saat melihat seseorang tergeletak di ubin teras dengan bersimbah darah. Reflek dia melempar payungnya dan segera memeriksa kesadaran orang itu yang ternyata dia Erik.
"Erik... Er, lo masih sadarkan? Erik" panggil Greysia menepuk-nepuk pipi laki-laki itu.
Dia menyingkap jaket yang dikenakan Erik dan darah masih merembes keluar. Dia menekan kuat luka itu dengan tangan kiri sedangkan tangan satunya ia gunakan untuk menelpon Jayco agar laki-laki itu segera datang membantunya.
"Lo kenapa sih, Er" ucapnya cemas.
Dan sambungan terhubung, "Halo... Cobe lo dimana? Kesini cepetan dong bawa mobil lo, Erik luka disini darahnya banyak banget. Gue udah cek nadinya masih normal tapi kalau kelamaan nanti bisa lemah, mukanya udah pucet. Buruan ya tolong" ujarnya.
"Seriously? Ok wait, i'm there now" lalu panggil terputus.
Lalu, Greysia kembali menaruh perhatian kepada Erik.
"Er tahan sebentar lagi ya, kita bakal bawa lo ke rumah sakit"
"Baru aja siang tadi gue bilang jangan bikin masalah, sekarang malah lebih parah. Kalo gini cara lo cari perhatian ke gue, malah gue yang merasa bersalah bego"
"Cobe lama banget lagi sial"
"Tahan, Er, tahan sebentar lagi"
Lalu tak lama kemudian sinar lampu menerangi teras rumah itu dan Jayco berlari keluar dari mobil menghampiri Greysia dan segera menggotong Erik masuk kedalam mobil agar cepat dibawa ke rumah sakit.