Hidup memang penuh perjuangan, ketika ingin mendapatkan sesuatu harus usaha terlebih dahulu.
Sama seperti Pra, yang berkeinginan mempunyai rumah mewah, mobil sport, dan juga menikahi Devi sang pujaan hatinya.
Itu merupakan kata-kata untuk mendongkrak dan menyemangati Pra, karena Pra orangnya gampang lupa dan juga terkadang malas-malasan.
Apalagi kalo di pagi hari setelah lulus dari sekolah aktifitas Pra sangat tidak produktif. Tidur, minum kopi, bermain gitar, dan juga makan.
Hari kedua Pra masuk kerja.
Seperti yang sudah di ingatkan, kali ini Pra membawa sandal dan juga baju yang biasa. Terasa masih canggung dan sedikit malas ketika berangkat kerja, rasanya lebih baik tidur saja. Tapi, jika Pra memilih tidur maka keinginan itu hanya sebatas angan-angan saja.
"Selamat pagi" kata Pra yang memasuki laboratorium.
"Yoo, Praa" jawab Tegar yang sudah terlebih dahulu sampai.
Kemudian Pra duduk di sebuah kursi bersama Reno, karena juga sama-sama menunggu sampel yang akan di analisa.
Reno penasaran dengan latar belakang Pra seperti apa dan langsung menanyakannya, "Pra, kalo boleh tahu bapakmu kerja di mana?"
Deg, Pra bingung harus menjawab apa. Pra takut jika mengingatnya bisa membuat sedih, tapi tak apalah memang sudah kejadian kenapa harus sedih lagi?
"A-anu, bapak sudah cerai sama ibu. Jadi nggak tau gue kerja di mananya hehe" jawab Pra dengan senyuman khasnya.
"Terus ibu lu kerja?"
"Iyaa, ibu kerja di luar kota. Gue di sini tinggal bersama pak Sul yang kemarin nganter gue ke sini itu, udah sejak kecil gue tinggal sama beliau. Kenal kan pak Sul? Dia sudah bekerja di sini 20 tahun lebih"
"Iyaa kenal, siapa orang yang nggak kenal pak Sul. Orangnya baik banget, gila. Pernah semua orang di laboratorium sini di traktir makan, suruh ambil apa yang di inginkan" tukas Reno dengan menggosok-gosokkan tangan karena dinginnya ac.
"Iya gue juga di ajak kerja sama pak Sul, terus di anter ke sini" anehnya, Pra malah tak merasakan dingin seperti apa yang di rasakan Reno.
"Lulusan SMA ya, Pra?" tanya Reno.
"Iyaa" jawab Pra singkat.
"Kenapa nggak kuliah?" tanya Reno lagi, yang menganggap jika kuliah bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan juga terjamin di masa depan.
"A-anu mas Reno, bukannya nggak mau kuliah. Tapi, nggak ada biaya buat kuliah, tempat tinggal aja gue ikut sama pak Sul. Dapet uang aja nggak seberapa dari pak Sul, itu hanya cukup buat jajan. Makan juga gue ikut sama pak Sul, apalagi beliau mempunyai anak 3. Kalo ibu gue nggak mungkin biayain gue kuliah" penjelasan Pra yang sedih membuat Reno juga mengerti akan kondisi Pra saat ini serba susah dan kekurangan, untuk makan saja ia ikut orang lain bukan ibunya sendiri. Reno mengerti, karena hidup orang juga berbeda-beda bentuknya.
Tiba-tiba Tegar datang dan langsung ikut duduk di sebelah Pra, "Btw, kerjaa ibu lu di luar kota apaan?"
"A-anu mas, ibu gue hanya kayak pembantu di rumah orang yang kaya raya. Nggak seberapa juga gajinya buat gue kuliah, paling cukup buat makannya dia dan juga terkadang ngasih uang ke gue dan beliin baju baru. Makanya, gue ingin kerja karena agar bisa bantu-bantu ekonomi di ibu maupun di pak Sul. Gue nggak enak sudah dari kecil ikut pak Sul dan belum balas budi sama sekali, mungkin dengan gue bekerja bisa membantu ikut membayar listrik atau membelikan lauk" Pra terbata-bata dengan perkataannya, Reno dan Tegar pun juga ikut menundukkan kepala membayangkan seperti apa kehidupan Pra yang serba kekurangan. Apalagi di umurnya yang masih kecil, sudah di tinggalkan oleh bapaknya sendiri.
"Nggak ingin tahu bapak lu sekarang kira-kira berada di mana atau kerja di mana?" tanya Tegar yang membuat Reno juga melihat ke arah Pra. Seperti apa yang akan di katakan oleh Pra.
"Enggak mas, kalo dia sayang sama gue dan emang di akui sebagai anak harusnya dia juga sudah sadar dan memberikanku uang atau apapun itu. Tapi ini enggak, buat apa gue nyari-nyari dia yang enggak sayang sama anaknya sendiri? Mendingan gue urus ibu saja mas" jawab Pra dengan mengelap air matanya, dengan bercerita ke orang lain seperti ini membuat Pra menjadi semakin membaik akan masalah ini.
Sebelumnya Pra tidak pernah menceritakan masalahnya ke orang lain siapapun itu, bahkan pas masih SMA Pra tidak pernah menceritakan masalahnya ini. Ketika di tanyai teman-temannya, Pra selalu menjawab kalau bapaknya sedang kerja di luar kota yang jauh dan jarang pulang. Hati Pra menjadi sakit jika ada temannya yang bertanya seperti itu, apalagi saat foto hari raya. Pra hanya berfoto dengan ibunya dan di upload di sosial medianya, malah menjadi pertanyaan untuk Pra. 'Kenapa pas moment penting malah bapak nggak ada, Pra?' selalu begitu nadanya, seolah teman-teman Pra penasaran kerja seperti apa bapaknya.
Meskipun dengan hati yang sakit, Pra selalu bisa tersenyum ketika mendapatkan pertanyaan seperti itu. Semua yang terjadi di masa lalu nggak bisa di rubah lagi, Pra.
Pra sangat membenci bapaknya, sampai ketika ia berbicara dengan pak Sul kemudian pak Sul menanyakan, "Bagaimana kalo bapakmu nyari, Pra? Apa yang akan kamu lakukan?" kata pak Sul waktu itu.
"Mungkin saya akan pergi, udah nggak mau lagi lihat wajahnya. Di foto saja enggan, apalagi bertemu langsung. Sudah terlalu kecewa saya pak Sul, umur Pra juga sudah lama dan buktinya bapak juga nggak ada tuh nyari-nyari saya atau apapun. Jangankan nyari, memberi uang saja enggak" jawab Pra dengan tegas dan lancar, karena sudah sangat kecewa.
"Yang sabar aja, Pra. Di ambil hikmahnya saja ya, kalo bisa kamu maafkan dia. Gitu juga dia yang rawat kamu dan nyiptain kamu" ledek pak Sul, tapi Pra tidak rubah dengan apa keyakinannya. Ketika sudah benci ya benci, sudah terlalu kelewatan.
Reno menepuk pundak Pra dengan pelan, "Semangat ya, jangan gampang menyerah. Buktikan aja ke bapak, kalo lu bisa sukses dan buat dia menyesal ninggalin lu dan ibu lu, okay?"
Tegar juga ikut memberikan motivasinya, "Nah, benar apa kata Reno. Tunjukkin aja kalo lu emang mampu hidup tanpa dia, jangan terus merasa sedih ketika mengingat. Ambil hikmahnya saja, buat bangga ibu lu juga itu hukumnya wajib. Bahagian dia, karena saat ini lu hanya punya Ibu. Oh iya sama bahagian pak Sul dan keluarganya, beliau juga ikut berperan dalam prosesmu sampai sekarang. Bayangkan jika pak Sul tidak mau menerimamu waktu itu, pahamin ya!"
Pra mengangguk mengerti, kini Pra menjadi lebih baik dari sebelumnya. Pra menjadi lelaki yang sudah kuat mentalnya ketika bercerita tentang orang tuanya. Karena tujuan Pra saat inj adalah ingin sukses.