"Hai!" sapa Alfa pada Ebi yang terbaring di atas ranjang pasien, "Udah baikan Na?"
Gadis itu tersenyum tipis, "Udah, kamu di sini bareng sama Alzam?"
"Iya, di kabarin sama Alzam," sahut Alfa sebelum melirik ke arah Alzam, memberikan senyuman sinis, dan kembali memperhatikan Ebi dengan senyum yang berbeda.
"Tadi kata Nera kamu berantem sama Alzam, kenapa? Masalah apa lagi?"
Alfa terkekeh, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, dan berkata, "Engga kok Na, bukan berantem yang itu. Biasa aja kok, kaya bercanda."
"Bohong Bi, aku lihat sendiri dia pegang kerah kemeja Alzam," sahut Nera dengan tatapan sinisnya.
"Fa, bener?" tanya Ebi, keningnya mulai bertaut dalam.
Alfa menghela panjang, mengangguk dengan lesu sebagai jawaban akhirnya. Apa lagi selain jujur, jika berbohong sudah pasti Ebi akan marah, dan tidak mau lagi berbicara dengannya.
"Aku gak suka kalian berantem kaya gitu, apa lagi soal masalah sepele. Jadi mendingan sekarang minta maaf!"
"Siapa?" tanya Alzam bingung.
"Alfa, kamu minta maaf ke Alzam!" perintah Ebi.
Alfa mendengus samar, ototnya terasa kaku tiba-tiba. Tidak bisa di gerakan hanya untuk meminta maaf pada cowok yang di bencinya itu. Namun, ini perintah Ebi. Teman sebangkunya yang tidak bisa di tolak untuk permintaannya yang satu ini.
Dengan sangat terpaksa tangan kanannya mulai mengambang di depan Alzam. Raut muka datar, dan tatapan tajamnya bertemu dengan manik mata Alzam. Mereka bertatap beberapa detik, sampai akhirnya jabatan tangannya di sambut baik oleh Alzam.
"Sorry, gak akan gue ulangin lagi," ucap Alfa tidak tulus.
"Santai, demi Nerta gue lupain semuanya!" sahut Alzam sebelum melepas jabatannya, dan kembali memberikan perhatian ekstra pada Ebi.
Perasaan tidak enak di rasakan Alfa. Cowok itu merasa gerah, pemandangan di ruangan itu sangat tidak enak. Terlalu banyak adegan cinta yang sangat di bencinya, apa lagi yang melakukannya adalah Alzam.
Astaga!
Alfa ingin muntah saat itu juga, tapi ia ingat ini rumah sakit. Jika dirinya benar-benar muntah, dokter bersama suster akan segera datang, dan memeriksanya. Padahal yang di butuhkan adalah ruangan sepi bersama Ebi, bukan tenaga medis.
Cowok itu mendengus kesal, duduk di sebelah Abar sambil memperhatikan gerak-gerak Ebi dengan tatapan tajamnya.
Abar yang paham dengan gelagat Alfa itu tersenyum kecil, ikut memperhatikan Ebi yang sejak tadi tertawa bersama Alzam, dan Nera.
"Lo suka sama ebi?" tanya Abar berbisik.
Alfa menggeleng.
"Kelihatan dari gerak-gerik, tatapan mata, nada bicara, dan lo sekarang ngerasa cemburu." Abar tertawa kecil, mengalihkan perhatiannya pada Nera yang sedang tertawa bersama Ebi, "Gue juga ngerasa gitu sekarang."
Alfa menoleh cepat, keningnya bertaut dalam, "Cemburu sama Alzam juga?"
Abar kembali tertawa sambil menggelengkan kepalanya, "Engga, gue cemburu sama Ebi. Hari ini Ebi bisa ketawa lepas sama Nera, jadi gue cemburu."
"Oh, gue pikir si Alzam," sahut Alfa sebelum menghela lega.
Alfa merasa senang seketika, padahal hanya jawaban singkat dari Abar. Sebarusnya itu bukan sesuatu yang harus dia takuti, karena sudah jelas dari segi ketampanan, sudah jelas Alfa yang akan menang.
"Hallo! Selamat sore," sapa dokter laki-laki yang masih muda itu.
Sontak seluruh remaja di ruangan itu menoleh ke arah dokter tampan itu. Memberikan senyuman, di sertai dengan anggukan kecil sebagai jawaban.
"Nerta, kondisinya sudah stabil?"
Ebi mengangguk, "Sudah Dok, apa saya boleh pulang sekarang?"
Laki-laki itu tersenyum seraya menggeleng, "Belum, harus di sini dulu ya selama beberapa hari. Kami harus memastikan jahitannya sudah kering, kondisi kamu yang memang sudah sembuh, dan semua obat di minum secara teratur."
Kening Ebi bertaut dalam, "Saya minum obat secara teratur Dokter, dan saya bisa istirahat di rumah sampai saya benar-benar sembuh."
"Tidak bisa Nerta, kamu harus di rawat. Jangan menolak ya, hari ini kita pindah ruangan di kamar VIP," jelas Dokter sebelum perawat laki-laki datang.
Perawat laki-laki itu mulai membawa Ebi bersama kursi roda yang di bawanya tadi. Sebenarnya Ebi menolak, tapi Nera mencoba untuk memberikan nasihan, dan membuatnya mau untuk duduk di atas kursi roda.
Ebi segera di bawa keluar, bersama dengan Nera, Abar, dan juga perawat laki-laki itu. Sementara Alfa, ia berjalan menuju ruang administrasi. Membayar semua biaya yang di perlukan Ebi selama masa pemulihan untuk beberapa hari.
"Fa?" panggil Alzam.
Cowok itu menoleh, memberikan isyarat tunggu sampai akhirnya menghampiri Alzam yang kini tengah menunggu di luar rumah sakit.
"Kenapa?" tanya Alfa bingung.
"Lo bayar biaya rumah sakit pakai uangnya siapa?"
"Stella, dia yang nanggung semua biayanya. Tenang aja, ini suka rela karena dia ngerasa bersalah," jelas Alfa santai.
"Gue gak keberatan kalau itu, tapi yang ngebuat gue bingung itu kenapa nerta harus di rawat?"
"Lo gak tahu apa gimana sih? Elena pingsan, masih ngerjain tugas rumah yang gak ngotak, dia baru selesai operasi, terus obat yang gue bawa juga gak mau di minum sama dia," jelas Alfa sedikit meninggikan nada suaranya karena kesal.
"Tapi ini di luar keinginan pasien, sama aja pemaksaan!"
"Gak ada pemaksaan tadi, dokter ngasih tau baik-baik, nera ngebantuin edukasi ke elena, terus elena mau tanpa ngerasa beban," sahut Alfa tenang, "Kenapa lo yang ngerasa beban? Kenapa lo yang gak sakit malah marah-marah? Lo gak mau elena sehat?"
Alzam menghela panjang, menahan emosinya yang sejak tadi sudah memuncak, "Gue mikirin soal nerta, dan gue juga mikirin psikis nerta!"
"Psikis ya? Gampang, nanti gue panggilin psikiater atau psikolog buat periksa keadaan elena. Lo gak usah khawatir berlebihan!" Alfa mendengus, menatap langit mendung sejenak, dan kembali menatap Alzam, "Gue gak akan ngelarang lo buat jenguk elena, tenang aja!"
Alzam terdiam, menatap Alfa dengan tatapan datarnya. Ia merasa risih, tidak suka dengan kehadiran Alfa yang secara tiba-tiba, dan bisa langsung akrab dengan Ebi. Padahal mereka baru mengenal beberapa hari, dan cowok di depannya itu sudah seperti mengenal Ebi dengan sangat baik.
Memberikan apa yang Ebi butuhkan tanpa harus bertanya terlebih dahulu. Memberikan banyak perhatian tanpa harus di perlihatkan, tapi bisa di lihat oleh Alzam.
"Lo siapa sih sebenernya? Kenapa harus dateng ke kehidupan nerta secara tiba-tiba?" tanya Alzam penasaran.
Alfa tertawa mendengar pertanyaan aneh dari Alzam, ia tidak tahu jika cowok itu bisa berpikir sampai sejauh itu, "Gue manusia, temennya elena yang baru beberapa hari. Takdir yang ngebuat kita bertemu, kenapa lo gak suka? Takut jadi saingan gue?"
"Gue gak suka sama cara lo perlakuin nerta, perlakuan yang beda. Gue yakin ada sesuatu yang lo sembunyiin."
Lagi-lagi Alfa tertawa, tapi kali ini hanya tawa singkat, "Gue suka sama elena."