Vespa metic berwarna hitam itu terparkir rapi di dekat mobil hitam. Memperlihatkan cowok tinggi dengan hoodie hitam itu berjalan memasuki rumahnya yang lumayan besar. Raut mukanya datar, tapi masih ada senyuman kecil yang bisa terlihat.
Tasnya segera di letakkan di atas sofa. Berjalan menuju dapur, mengambil sebotol susu, dan langsung di tegak hingga habis tak tersisa. Alzam menghela panjang, duduk di salah satu kursi meja makan sendirian.
Menatap lurus ke depan tanpa ada orang yang menemaninya. Lagi-lagia ia menghela, kemudian mengambil satu buah apel fuji. Menatap buah itu lamat-lamat sebelum akhirnya di gigit dengan pelan.
"Udah pulang Al."
Suara itu membuat Alzam menoleh, memperhatikan Mirliana yang sedang berjalan menuruni anak tangga. Wanita itu menghampiri Alzam, memberikan sebuah kotak kado berwarna hitan dengan pita merah.
"Itu hadiah dari mama, udah lama mama gak ngasih kamu hadiah," ucap Mirliana lagi sebelum akhirnya duduk berseberangan dengan putera semata wayangnya itu.
"Hadiah apa?" tanya Alzam dengan kedua mata yang mulai memicing.
"Buka aja!"
Cowok itu mulai menggeser kotak hitam itu, membuka pita merahnya secara perlahan, dan langsung membuka penutup kotak tanpa basa-basi. Keningnya bertaut dalam melihat belangkon, dengan pakaian adat sunda lengkap, beserta slop berwarna emas.
Tatapan tak percaya, dan menginginkan penjelasan itu di berikan pada wanita yang terus memberikannya senyum yang begitu lebar.
"Mama mau nikah bulan depan," ucap Mirliana senang.
Alzam terdiam, mulutnya terbuka sedikit karena tak percaya.
"Satu minggu sebelum hari pernikahan itu pertunangan, terus minggu depannya pernikan, dan besoknya pesta pernikahan," jelas Mirliana, "Mama pakai adat sunda, sama western. Keluarga kita yang ada di Belanda, sama Jepang juga bakalan dateng."
"Siapa? Siapa... siapa calonnya?"
"James, dia calon papa kamu. James itu baik, dia punya perusahaan di China, dan Korea, dia tinggal di Indonesia udah empat tahun. Negara aslinya Inggris, tapi udah ganti kewarganegaraan."
"Kenapa... kenapa Mama ingkar janji?"
Kening Mirliana bertaut dalam, ia bingung dengan pertanyaan Alzam barusan, "Al, mama ingkar janji apa sama kamu?"
"Mama ingkar janji soal Mama yang gak akan nikah lagi," jelas Alzam dengan nada kecewanya, genangan air mata sudah terlihat dengan mata merahnya, "Mama kenapa? Kenapa ingkar?"
"Alzam, gak mungkin selamanya mama itu melajang. Gak mungkin selamanya mama itu pacaran terus, mama butuh pasangan, mama butuh suami Alzam," jelas Mirliana pelan, "Maaf soal itu, mama gak pernah mikir sejauh ini dulu. Mama minta maaf ya, sekarang mama minta restu dari kamu."
Alzam menggeleng pelan, tatapannya berubah menjadi kosong. Ia bingung harus melakukan, dan berkata apa lagi. Rasanya sangat sesak, hingga tidak bisa bernapas seperti biasanya. Alzam terdiam, memejamkan kedua netranya hingga air matanya mulai berjatuhan.
"Al?" panggil Mirliana khawatir.
"Aku gak ngerti Ma, aku pusing, jangan temuin aku dulu, dan jangan bahas soal pernikahan Mama yang masih belum bisa aku terima!" ucap Alzam sebelum akhirnya beranjak.
"Al, mama gak bermaksud buat kamu jadi stres kaya gini."
"Sejak usiaku delapan tahun Ma, sejak itu Mama sama papa ngebuat aku stres, dan trauma!" teriak Alzam kesal.
"Al, perpisahan mama sama papa itu yang terbaik."
"Iya, terbaik buat Mama sama papa, bukan buat aku!" teriak Alzam sebelum berlari menaiki tangga.
"Alzam, itu semua demi kebahagiaan kamu!"
"Apa yang Mama sama papa lakuin itu ngebunuh aku!"
***
Suara isakan terdengar begitu lirih di dalam ruangan gelap itu. Terlihat samar seseorang tengah duduk di sudut kamarnya. Menatap langit gelap dengan tatapan kosongnya.
Cowok itu menghela, beranjak dari duduknya untuk mengambil jaket berwarna hitam besar, dan memakai sweater. Alzam bergegas keluar, mengendap-ngendap agar orang rumah tidak mendengar langkah kakinya.
Berlari setelah keluar melalui pagar rumahnya. Netranya terlihat sembap dengan bola mata yang memerah. Cowok itu kembali menghela panjang, memperhatikan jalanan rumahnya yang sepi, dan segera mempercepat langkah kakinya.
"Hallo! Kenapa Al?" sahut gadis di seberang sana.
Alzam terdiam, langkahnya berubah menjadi pelan ketika sampai di trotoar, "Kamu di mana Ta?"
"Di jalan mawar, kenapa?"
"Aku butuh kamu Ta."
"Kamu kenapa Al? Suara kamu beda, kamu kenapa?" tanya Ebi khawatir.
"Di atap sekolah ya Ta, aku tunggu di sana," sahut Alzam sebelum memutuskan sambungan teleponnya.
****
Ebi menghela panjang, menatap langit, dan kemudian jam pada ponselnya. Ia segera berlari, menelusuri jalanan dengan tergesah-gesah. Membuat orang di sekitarnya menoleh dengan dahi bertaut dalam.
Perjalanan jauh itu membuat jantungnya terus berdegub dengan cepat. Ia khawatir dengan Alzam sekarang, takut sesuatu terjadi pada cowok malang itu. Apa lagi Alzam tidak memiliki keluarga selain mamanya yang acuh.
"Al, jangan ngelakuin hal konyol!" gumam Ebi sambil berlari.
Gadis itu semakin mempercepat langkahnya, membuka pagar sekolah besar itu dengan dorongan sekuat tenaga, dan kembali berlari.
Menaiki anak tangga dengan tergesah-gesah hingga membuat kakinya lemas. Langkahnya terhenti, dengan napas yang tak karuan. Ebi terdiam, menatap jam yang ada pada layar ponselnya, dan kembali berlari.
"Alzam?!" panggilnya dengan nada tinggi.
Ebi menoleh ke arah kanan dan kiri, mencari-cari sosok laki-laki yang selalu menjaganya sepanjang hari.
"Alzam?" teriaknya sebelum berlari, menghampiri Alzam yang sedang duduk meringkuk di sudut sana, "Alzam, kamu kenapa? Cerita sama aku!"
Cowok itu mendongak, menatap Ebi dengan tatapan sedihnya, dan langsung memeluk gadis itu erat. Seakan-akan ia tidak mau kehilangan gadis yang di sayanginya itu. Pelukan yang begitu erat membuat Ebi terdiam, tanpa di sadari ia ikut memeluk Alzam. Memberikan tepukan pelan agar cowok itu merasa lebih baik, dan nyaman.
"Ta, jangan di lepas, aku cuman minta sebentar aja," ucap Alzam pelan.
"Aku paham Al, peluk sampai kamu ngerasa baikan ya, kalau perlu nangis juga keluarin aja air matanya!"
"Gapapa aku nangis Ta?"
Gadis itu tersenyum, membelai rambut Alzam dengan pelan, "Gapapa Al, kamu manusia. Semua manusianya itu berhak menangis, bukan cuman perempuan aja."
Cowok itu terdiam, menatap lantai dengan tatapan datarnya, hingga akhirnya air mata itu kembali mengalir dengan deras. Pelukannya kembali di pererat.
"Ta, mama mau nikah lagi Ta. Aku harus gimana?" adu Alzam bak anak kecil.
"Menurut kamu gimana?"
"Aku gak mau, aku gak mau maka nikah lagi," sahutnya sambil menggelengkan kepala.
"Alzam, aku bukan memihak mama kamu, tapi Al ini mungkin kebaikan mama kamu. Mungkin Tuhan yang udah ngatur, lagi pula mama kamu juga berhak buat melepas status jandanya," jelas Ebi.
Cowok itu terdiam, melepas pelukannya, dan menatap Ebi dengan tatapan tak percaya, "Ta, kenapa aku harus mengalah lagi?"