Chereads / The Last Memories / Chapter 18 - PENOLAKAN

Chapter 18 - PENOLAKAN

Mau kemana?" tanya orang itu sambil mencoba untuk menormalkan napas.

"Kamu Alzam?" tanya Ebi dengan kening yang masih bertaut dalam.

Cowok itu mengangguk sambil berkacak pinggang, perhatiannya mulai ke arah langit. Kemudian tanpa mengatakan apa pun, Alzam segera menarik lengan kecil milik Ebi, dan mengajak gadis itu untuk berlari.

Ebi hanya membisu sambil memperhatikan wajah Alzam dari belakang sana. Wajahnya masih terlihat tampan meskipun hanya dari belakang, dan di tambah dengan adanya masker yang menutupi.

Ebi tersenyum tipis, kemudian kembali memperhatikan jalanan yang di laluinya agar tidak terjatuh.

Langkah kedua remaja itu berhenti di depan toko roti, Alzam dan Ebi berjalan masuk ke dalam. Mencari kursi setelah membeli beberapa roti beserta minuman soda.

"Kenapa lari Al?" tanya Ebi setelah duduk.

"Hujan." Alzam menunjuk ke arah jendela.

Ebi ikut menoleh, dan apa yang di ucapkan cowok itu memang benar. Air hujan tengah mengguyur kota dengan begitu deras, padahal mereka baru saja masuk tanpa merasakan air yang jatuh.

"Wow! Kamu hebat, gimana caranya bisa tahu?"

"Ta, langit udah mendung, suara guntur juga udah mulai kedengeran, apalagi tadi aku liat ada kilap. Masa kamu gak tahu sih?"

Ebi menggeleng tak mengerti, "Aku gak tahu, gak denger juga."

"Kamu sih gak fokus, emang kenapa sih kok bisa sampai gak fokus gitu?"

"Um! Aku lagi pusing nyari kerja paruh waktu, udah ada sepuluh toko yang aku masukin, hasilnya gak ada. Semua pada nolak, mana beasiswanya udah mau di cabut, aku bingung," jelas Ebi sedih.

Kening Alzam bertaut setelah menggigit roti isi kejunya, "Kok bisa? Kamu kan udah belajar sama aku."

"Iya, anehnya beasiswa itu gak mau nilai tujuh sama delapan. Mintanya sembilan, terus juga di kelas dua belas ini aku harus punya uang buat bayar bimbel, buku, sama try out yang bakalan di gelar nanti."

Alzam menghela pelan, mencoba untuk membantu Ebi berpikir agar bisa menemukan jalan keluar.

"Aku bingung sampai sekarang, ngerasa gak enak juga sama bibi kalau minta uang ke bibi," ucap Ebi sambil memakan roti cokelat kacang miliknya.

"Ta, kalau di kafe gimana? Mau? Jadi pelayan kafe, nanti aku yang urus," sahut Alzam.

"Beneran?" sorot matanya terlihat berbinar, gadis itu tengah merasa bahagia, "Gapapa, aku mau kok, di mana tempatnya?"

"Kafe punya mama aku, surat lamarannya mana? Aku bawa, biar nanti aku yang ngomong ke mama."

Ebi segera memberikan surat lamarannya kepada Alzam, "Minta tolong ya Al."

"Iya, jangan khawatir soal gaji ya!"

"Berapa aja aku mau kok Al, pokoknya bisa buat bayar tanggungan sekolah," sahut Ebi.

"Gak bisa gitu Ta, kamu tetep harus dapet gaji sesuai. Gak bisa mentang-mentang masih pelajar, terus di kasih uang yang rata sama karyawan lain, itu gak boleh."

"Terus gimana?"

"Udah tenang aja, gak usah di pikirin! Urusan ini biar aku yang urus."

***

Ebi berjalan dengan kedua sudut bibir yang tertarik ke atas dengan begitu lebar. Deretan giginya yang rapi terlihat jelas meskipun lampu yang menerangi jalanan sudah mulai redup.

Suasana hatinya sangat senang malam, pekerjaan yang di inginkannya mulai di dapatkan dengan cepat, dan cowok baik itu juga mengantarnya pulang sambil menggenggam erat tangannya yang mulai terasa bergetar karena gugup.

Ebi merasa canggung, dan malu. Namun, ia tidak mau melepas genggamannya, rasanya pasti akan aneh jika tiba-tiba genggaman tangan Alzam di lepas dengan perlahan.

"Mana rumah kamu Ta?" tanya Alzam.

"Ada di ujung sana Al, bentar lagi."

Alzam memperhatikan jalanan bebatuan krikil, dan beberapa genangan air yang harus di hindarinya.

Cowok itu merasa tempat tinggal Ebi tidak layak, terlalu kumuh. Mulai dari jalanan, gang, hingga rumah yang terlihat pun sangat kumuh. Hanya ada beberapa yang terlihat bagus, dan terawat, mungkin karena pemiliknya orang kaya atau memang menyukai kebersihan.

"Ta?" panggilnya ragu.

"Kenapa Al?"

"Kenapa di sini kumuh ya?"

"Maklum Al, orang gak punya semua. Mereka semua pendatang, gak punya cukup uang buat beli rumah bagus atau nyewa rumah bagus di tempat yang layak," jelas Ebi dengan senyuman palsunya, "Harus mau tinggal di sini, harus nerima kalau nanti banjir, atau ngerasa gak nyaman. Kalau gak mau, ya harus pulang ke kampung masing-masing."

Alzam terdiam, ia merasa kasihan, tapi tidak bisa melakukan apa pun untuk penghuni tempat ini. Rumah susun mahal, seharusnya ada rumah susun yang di bangun dengan harga murah. Agar para pendatang bisa menyewa, dan tinggal dengan layak di kota ini.

"Hampir sampai Al," ucap Ebi.

"Oh, bentar lagi ya Ta?"

"Iya."

"Oh iya Ta, terus rumah-rumah bagus itu pasti punya penghuni kan? Kenapa mereka mau tinggal di sini?" tanya Alzam yang kembali merasa tidak nyaman.

"Oh itu, mereka ngerasa nyaman. Gak tahu tuh kenapa nyaman, padahal mereka bisa pergi ke tempat yang lebih bagus ya," jelas Ebi dengan tawa renyahnya.

"Maaf ya Ta aku nanya kaya gitu, bukan maksud nyinggung atau gimana-gimana. Aku cuman penasaran sama tempat tinggal kamu."

"Gapapa, santai aja sama aku! Aku gak pernah mikir yang aneh-aneh soal kamu kok Al, jangan khawatir!"

Alzam tersenyum tipis sebelum akhirnya langkahnya berhenti di depan rumah kecil yang ada di ujung.

"Ini rumah bibiku, aku numpang di sini. Maaf ya Al, aku gak bisa ngajak kamu masuk, ini udah malem, maaf ya!" ucap Ebi tidak enak.

"Eh! Gapapa Ta, aku paham kok Ta. Kamu masuk gih, aku tunggu di sini," sahut Alzam.

"Kenapa di tunggu?"

"Gapapa, aku mau tahu kamu masuk ke dalam rumah dengan aman tanpa ada gangguan sedikit pun."

Kalimat itu membuat Ebi tersenyum, memberikan lambaian tangan, "Hati-hati ya pulangnya!"

Alzam mengangguk, "Yang nyenyak ya tidurnya!"

Gadis itu kembali tertawa kecil, kemudian berjalan masuk, dan menutup pintu rumahnya sambil memberikan lambaian tangan dengan senyum.

"Siapa?"

Suara itu membuat Ebi menoleh dengan cepat, menghampiri Bu Jihan setelah mengunci pintu rumah.

Wanita itu duduk di salah satu sofa single sambil membaca salah satu artikel lama yang keluar di tahun 2008.

"Bu, ada yang mau aku omongin sama Ibu," ucap Ebi sedikit takut.

"Penting gak?"

"Penting kok Bu."

"Duduk!" titah Bu Jihan tanpa menatap lawan bicaranya.

"Beasiswa yang aku dapetin udah mau di cabut, jadi aku harus kerja. Tadi temen aku nawarin buat kerja di kafe punya mamanya, aku udah kasih surat lamarannya, sekarang tinggal minta persetujuan Bu Jihan," jelas Ebi tanpa berani menatap wanita itu.

Bu Jihan menghela, menutup, dan meletakkan artikelnya dengan sangat kasar. Tatapannya sangat tajam ketika melihat Ebi yang mulai ketakutan.

"Terus siapa yang ngerjain pekerjaan rumah kalau kamu kerja? Siapa coba saya tanya!" tanyanya dengan begitu ketus.

"Meskipun aku kerja, nanti pekerjaan rumah tetep aku yang kerjain Bu Jihan."

"Gimana caranya? Kamu pagi sekolah, pulang sekolah kerja, pulang kerja udah jelas tidur!"

"Bu, kalau aku gak kerja, nanti siapa yang bayar uang sekolahku?" Kali ini Ebi berani menatap sorot mata tajam itu meskipun masih merasa ketakutan.

"Saya bilang engga, jangan maksa!" ketus Bu Jihan sebelum melenggang pergi menuju kamarnya.

***