Chereads / The Last Memories / Chapter 22 - SICK and TIRED

Chapter 22 - SICK and TIRED

Alzam menghela samar, langkahnya terhenti di depan trotoar. Aroma makanan dari pedagang kaki lima membuat kedua sudut bibirnya tertarik ke atas. Cowok itu kembali berjalan dengan cepat, memperhatikan jalanan malam yang begitu ramai karena klakson yang bersahut-sahutan.

Cuaca tengah indah, tanpa ada suara guntur seperti kemarin.

Langkahnya kembali terhenti, di depan toko ponsel yang sedang ramai pengunjung. Alzam berjalan masuk, menghampiri salah satu pegawai wanita yang memiliki paras cantik, dan manis di ujung sana.

"Ada yang bisa di bantu Mas?" tanya pegawai wanita itu.

"Hm, ponsel yang harga dua jutaan apa ya Mba?"

"Bisa ikut saya Mas, di sebelah sini ya!"

Wanita itu berjalan mendahului, mengantar Alzam menuju rak tinggi dengan pajangan ponsel yang beragam.

Cowok itu mulai memilih, melihat harga beserta spesifikasi dari setiap ponsel yang menurutnya bagus.

"Samsung Galaxy M21 bisa jadi pilihan Mas, coba di lihat dulu harga sama spesifikasinya!" ucap wanita itu dengan senyum menawannya.

Alzam terdiam sejenak, kemudian mengambil ponsel yang di rekomendasikan itu, "Oke, saya ambil yang ini, tolong kasih kartu perdananya juga ya Mba!"

"Silakan bayar di kasir untuk administrasinya, terus tunggu sebentar ya Mas di kursi sebelah sana! Ponselnya saya aktifin dulu."

Alzam mengangguk, melenggang menuju kasir sambil mengeluarkan dompet yang tersimpan di dalam saku celananya. Cowok itu segera melunasi administrasinya, dan mulai menunggu di salah satu kursi.

Kedua sudut bibirnya mulai terangkat, kemudian ia menggeleng kecil. Rasanya senang, apa lagi senyuman manis milik Ebi teringat jelas hingga sekarang.

Kepalanya terus berisi wajah Ebi yang cantik itu. Membuatnya tak bisa melupakan gadis polos itu sedetik saja, bahkan ketika tidur pun rasanya ingin memimpikan Ebi. Namun, mimpinya selalu tidak datang, tak ada gadis itu, dan tidak ada pemandangan indah yang menghiasi mimpinya.

Alzam menghela panjang, memperhatikan sekelilingnya. Banyak orang yang datang dengan pasangannya, sedang membicarakan tentang ponsel apa yang hendak mereka beli. Sayang sekali, Alzam datang sendirian, tanpa Ebi yang menjadi teman diskusinya.

Namun, jika Ebi ikut datang, sudah pasti gadis itu ingin langsung pulang karena merasa tidak enak, padahal Alzam tmerasa  tidak di repotkan, malah ia senang jika Ebi meminta bantuannya untuk semua kesulitan yang di alami gadis itu.

"Atas nama Alzam untuk ponsel Samsung Galaxy M21!"

Panggilan itu membuat Alzam beranjak, mengambil ponselnya.

"Struk pembayarannya Mas?" pinta cowok yang seumuran dengan Alzam itu.

Alzam segera memberikan kertas kecil yang di dapat dari kasir tadi. Di ceknya struk itu, dan senyuman manis kembali di berikan untuk Alzam malam itu.

"Lunas ya Mas, ini ponselnya!" ucapnya ramah sambil memberikan bungkusan berisi ponsel baru.

Alzam mengangguk ramah, "Terima kasih," sahutnya sebelum akhirnya pergi meninggalkan toko dengan senyum yang terus merekah.

Cowok itu berjalan dengan pelan, melintasi jalanan besar yang penuh dengan pedagang kaki lima beserta pembeli yang terus saja antri.

"Tahu gini bawa motor gue tadi," gerutunya kesal karena kakinya yang mulai terasa pegal.

Cowok itu menghela, berhenti sejenak di dekat perempatan lampu merah sambil memperhatikan mobil yang lewat dengan laju kencang.

Perasaan sakit kembali di rasakan, Alzam benci melihat satu keluarga bahagia yang lewat di depannya. Apa lagi ketika melihat laki-laki berkumis tipis, dengan kemeja hitam. Mengingatkannya pada  keluarga kecil yang sudah tidak  utuh lagi.

Alzam kesal, padahal perasaan itu tidak boleh ada. Harus di buang, dan berganti menjadi ikhlas untuk semua yang Tuhan berikan. Namun, Alzam masih belum bisa, ia merasa belum sanggup untuk mengikhlaskan apa yang terjadi di masa lalu.

***

Alzam tersenyum lebar sambil memperhatikan ponsel yang baru di belinya. Namun, secara tiba-tiba langkahnya terhenti, senyumnya mulai memudar. Kedua alisnya bertaut dalam, cowok itu terdiam. Menatap dua orang yang sedang bercumbu di depan rumahnya.

Ini sudah malam, jam dua belas kurang lima belas menit. Namun, dua orang dewasa itu tidak memiliki urat malu, bercumbu di depan rumah dengan cahaya yang minim.

Alzam menddengus, mempercepat langkahnya untuk mendekati dua orang dewasa itu.

"Gak malu gitu ciuman di tempat umum?" tanya Alzam ketus, "Atau urat malu emang udah putus?"

Mirliana menatap putra semata wayangnya dengan tatapan tajam. Memberikan kode untuk masuk ke dalam, tapi Alzam hanya tertawa renyah.

"Ma, udah jam segini, gak pantes buat perempuan lagi ciuman di depan rumah. Mana cahayanya dikit, ada banyak tetangga, kalau udah gak tahan itu booking hotel!" jelas Alzam dengan senyum sinisnya.

Laki-laki tua itu menghela panjang, menatap Alzam sekilas, dan kembali menatap wanitanya, "Sayang, aku harus pulang ya!"

"Gak mau mampir dulu Mas? Nanti aku buatin kopi, atau makanan ringan," sahut Mirliana.

"Gak enak sama  anak kamu, yang Alzam bilang juga bener kok. Gak pantes buat perempuan secantik kamu di luar rumah, sekarang masuk ya!"

Percakapan aneh itu membuat Alzam mual, terasa menjijikan ketika di dengar. Apa lagi suara manja dari mamanya membuat geli. Alzam menggeleng, kemudian berjalan meninggalkan dua orang dewasa itu tanpa mengatakan sepatah kata pun.

"Alzam?!"

Suara tegas itu membuat Alzam menghela panjang, ia terus berjalan menaiki anak tanggga, mencoba untuk tuli, tapi panggilan dari Mirliana tidak bisa di hiraukan.

"Alzam, kalau di panggil itu nyahut, jangan jadi tuli!" teriak Mirliana kesal.

Wanita itu menatap Alzam dengan kening bertaut, kepalanya mulai mendongak lebih.

Alzam terdiam, menatap mamanya dari atas sana dengan datar, "Kenapa sih Ma? Mau ngobrol sama aku ya?"

"Al, pak retno itu temen bisnis mama. Jangan kaya gitu lagi sikap kamu kalau ketemu sama beliau ya!" titahnya dengan nada yang masih kesal.

"Rekan bisnis kok harus panggil sayang sama ciuman sih Ma? Rekan bisnis apa sih Ma? Bilang aja dia pacar Mama, apa susahnya sih?"

"Alzam!"

"Oh bukan pacar ya Ma? Terus Mama kok mau ciuman sama dia?" tanya Alzam lagi dengan senyum kecewanya.

Wanita itu membisu, tidak bisa menjawab apa yang di tanyakan Alzam.

"Gak bisa jawab kan Ma? Yaudah deh Ma, aku paham kok. Mendingan Mama sekarang istirahat, nanti lagi ngobrol sama aku, aku juga udah bosen kok berantem sama Mama terus," ucap Alzam setelah menghela panjang, "Aku juga sebenernya pengen tinggal sendiri, tapi aku tahu Mama gak akan gasih izin. Mama kalau tahu, aku di sini tertekan, stres, depresi."

"Al, mama gak pernah bermaksud buat anak mama jadi stres."

"Kalau gak mau, Mama di rumah dong! Kasih perhatian, kasih figur orang tua ke aku, jangan cuman main sama cowok-cowok di luar sana! Aku malu Ma, malu banget!"

"Al, mama-"

"Udah ah Ma, aku capek, mau istirahat!" potong Alzam sebelum akhirnya masuk ke dalam kamarnya.

***