Gadis itu merebahkan tubuhnya yang masih mengenakan sragam sekolah di atas kasur. Menatap langit-langit kamar yang mulai kotor dengan tatapan datarnya. Perasaannya kacau hari ini, meskipun pekerjaan rumahnya sudah beres, tapi tetap saja Ebi merasa tidak nyaman.
Ia terus berpikir, memikirkan cara agar Bu Jihan mau menerima pekerjaan paruh waktunya untuk membayar tagihan sekolahnya yang tidak murah. Kalau bukan Ebi, siapa lagi yang akan menanggung semua biayanya? Bu Jihan tidak akan mau, wanita itu selalu perhitungan, dan sudah di pastikan uangnya tidak cukup untuk membayar tagihan sekolahnya.
Ebi merubah posisi tidurnya menjadi menyamping, tapi masih merasa tidak nyaman. Di rubahnya lagi menjadi terlentang, dan masih tidak nyaman. Ia segera bangun, duduk di pinggir kasur sambil menperhatikan pintu kamarnya yang menutup rapat.
Hanya satu orang yang lewat dalam pikirannya. Ebi segera bangkit, berjalan keluar dengan langkah cepat. Ia berjalan dengan terburu-buru menuju rumah Nera.
"Nera?" panggilnya sambil mengetuk pintu.
Gagang pintunya mulai memutar, menimbulkan suara dencitan ketika pintu kayu itu mulai terbuka dengan perlahan.
"Kenapa Bi?" tanya Nera.
"Mau cerita, bentar aja kok."
"Lama juga gapapa kok, ayo masuk!"
Gadis itu menarik Ebi untuk duduk di salah satu kursi tamunya. Memberikan makanan ringan, beserta air mineral dengan tambahan es batu di dalamnya.
"Mau cerita apa? Aku dengerin semuanya tanpa ada emosi," ucap Nera.
"Ini soal uang Ra. Aku butuh uang, jadi aku nyari kerja paruh waktu. Uangnya mau aku buat bayar sekolah, soalnya beasiswa yang aku dapetin mau di cabut gara-gara nilai yang sering turun," jelas Ebi.
"Terus udah dapet?"
"Udah."
"Bagus dong, masalahnya apa yang bikin kamu jadi sedih kaya gini Bi? Kasih tahu aku, nanti aku bantu!"
"Masalahnya bu jihan Ra. Bu jihan gak mau, takut kalau pekerjaan rumahnya gak bisa selesai gara-gara aku kerja," jelas Ebi sedih.
Nera berdecih kesal, kedua tangannya mulai mengepal dengan kening yang bertaut dalam.
"Orang itu punya masalah apa sih Bi? Emangnya dia sendiri gak bisa apa ya ngerjain? Kenapa harus kamu sih? Kenapa harus kamu yang ngerjain, dan kenapa takut kalau kamu gak kerjain itu semua?" omel Nera kesal, "Emangnya dia mau bayar uang sekolah kamu? Udah jelas engga!"
Ebi termenung dengan raut sedih. Apa yang di katakan Nera benar, Bu Jihan tak akan mau membayar biaya sekolahnya yang sangat mahal itu.
"Kamu udah jelasin detai buat semuanya?" tanya Nera, dan di jawab anggukan oleh Ebi.
"Udah Ra, bu jihan udah paham semuanya, tapi masih ngelarang."
"Ih! Apa sih maunya? Kok bisa sih Bi kamu punya bibi kaya gitu? Jahat banget!"
"Ra, jangan marah-marah, mendingan cari solusinya!"
Gadis itu mengambil napas dalam, dan menghembuskannya dengan perlahan, "Oke mendingan gini, kamu sekarang pulang, jelasin lagi!"
"Yang lain?" tanya Ebi.
"Kamu sayang sama uangnya?"
"Kenapa Ra?"
"Kalau engga, kamu bisa beliin bu jihan mesin cuci atau yang lain biar bisa ngurangin beban."
***
Gadis itu berlari dengan cepat menuju rumahnya. Masuk ke dalam sambil memanggil Bu Jihan dengan pelan, tapi wanita itu tak kunjung menyahut. Ebi kembali memanggil, memeriksa dapur, kamar, ruang televisi, dan ruang santai yang biasa di gunakan Bu Jihan bersama Jona. Namun, tetap saja tidak ada.
Ebi bingung, ia mulai berjalan menuju ruang belakang rumahnya. Beruntungnya Bu Jihan tengah menyuapi Jona yang sedang asyik bermain bersama teman sebayanya.
"Bu Jihan, ada yang mau aku omongin," ucap Ebi pelan.
Wanita itu mendengus kesal, meletakkan piring makanan Jona di atas kursi, "Sayang, makanannya di atas kursi ya, bisa makan sendiri?"
Jona hanya mengangguk sambil memberikan acungan jempolnya.
Bu Jihan segera melenggang pergi, dan Ebi segera mengikutinya dari belakang. Mereka berdua mulai duduk di sofa tamu, Bu Jihan mulai menatap Ebi kesal, padahal pembicaraan belum juga di buka.
"Bu, nanti pekerjaan rumah tetep aku yang ngerjain. Aku bakalan bangun lebih pagi buat ngerjain semuanya, jadi nanti waktu pulang kerja semuanya udah beres," jelas Ebi panjang lebar.
Wanita itu hanya menatap Ebi tanpa mengeluarkan sepatah atau dua kata. Tatapan itu tidak bisa di baca Ebi, tapi tetap terasa menusuk, dan mengintimidasi.
"Nanti di gaji pertama buat beli mesin cuci, jadi gak susah lagi buat cuci bajunya Bu. Terus di gaji kedua aku pakai buat beli mesin cuci piring, mesin-mesin ini bakalan ngebantu banget kok Bu. Ibu cuman pencet aja mesinnya, nanti piringnya bersih sendiri tanpa harus ngotorin tangan," jelas Ebi lagi.
"Listrik, gimana sama listrik?" tanya Bu Jihan setelah terdiam beberapa lama.
"Aku udah pikirin juga kok, jadi nanti aku juga ikut iuran buat beli listriknya."
Wanita itu terdiam sejenak, memikirkan sesuatu yang masih membuatnya ragu. Entah apa yang di takutkan, padahal kegiatan yang akan di lakukan Ebi nantinya sangat positif, di tambah ada bayaran setiap bulannya yang akan di dapatkan.
Ebi terus berdoa kepada Tuhan agar wanita di depannya ini memberikannya izin untuk bekerja.
"Soal kebersihan lantai, nanti aku juga beli alatnya kok Bu. Ada kok alatnya yang bisa nyapu sendiri tanpa ada yang pegangin, cuman aku lupa namanya," ucap Ebi lagi.
"Kamu beneran pengen kerja di sana?" tanya Bu Jihan dengan nada yang sudah tidak ketus lagi.
Ebi mengangguk cepat, "Kalau gak kerja, darimana lagi aku dapetin uang Bu? Ibu aku udah pergi, ayah juga udah meninggal, gak ada yang bisa aku andelin buat biaya sekolah yang gak murah itu."
"Kamu yakin bisa bayar sekolahnya? Sekolahmu itu mahal."
"Makanya aku cari sekarang uangnya Bu, mumpung beasiswa itu belum di cabut."
Bu Jihan menghela panjang, memperhatikan pintu rumah kemudian jam dinding rumahnya, dan kembali menatap Ebi tajam. Namun, kali ini tatapannya sedikit berbeda, tidak seperti tadi yang terlalu menusuk.
"Oke, kamu saya kasih ijin, tapi kamu harus tepatin janji kamu itu!" ucap Bu Jihan akhirnya.
Ebi membisu dengan ekspresi wajah bahagianya, ia tersenyum senang, dan berkata, "Makasih banyak Bu Jihan, aku bakalan kerja keras, rajin belajar, dan gak akan ngelupain janji yang aku kasih ke Bu Jihan."
"Hm, saya pergi, nemenin jona lagi," ucap Bu Jihan sebelum beranjak dari duduknya.
Ebi hanya menganggukkan kepalanya dengan senyuman yang masih mengembang dengan deretan gigi rapinya. Ia sangat senang hari ini, doa yang di panjatkan langsung di kabulkan oleh Tuhan. Tuhan sangat baik, tidak perlu menunggu lama, hanya beberapa menit, dan doa itu telah di kabulkan dengan jeda waktu yang sangat cepat.
***