Chereads / The Last Memories / Chapter 15 - HATI NURANI

Chapter 15 - HATI NURANI

Tiga gadis itu mulai berjalan menghampiri Ebi dengan perlahan, sambil menyinggungkan senyuman yang tidak bisa di mengerti dengan jelas. Entah apa yang mereka rencanakan, Ebi merasa takut dengan jantung yang terus berdebar kencang.

"Ta, lo kenapa pucet?" tanya Abel sambil menyapu rambut yang menutupi sebagian wajah Ebi.

"Lo kenapa dah, sakit ya?" tanya Amel tanpa memperhatikan Ebi dengan jelas.

Stella hanya tersenyum, kemudian meletakkan tas ranselnya di atas meja.

"Gak usah takut Ta, kita gak akan macem-macem kok. Cuman mau nanya doang," ucap Stella.

Ebi masih tidak percaya, tapi pikiran negatifnya segera di usir dan di gantikan dengan pikiran positif. Gadis itu mulai terlihat tenang, wajah pucatnya pun mulai tak terlihat.

"Ta, lo itu jelek, banyak jerawat, jadi hari ini kita mau ngebuat lo jadi cantik," ucap Abel dengan penuh semangat.

Ebi menggeleng dengan cepat, "Gak usah, aku gak mau buat kalian repot."

"Alah! Apaan sih Ta? Kita gak pernah ngerasa di repotin kok, apa lagi sama lo yang gak pernah ngebuat kita pusing."

"Tepatnya lo gak pernah bikin kita seneng, malah marah mulu bawaannya," sahut Amel dengan senyum sinisnya.

Ebi melirik ke arah kotak yang di bawa Stella, dengan perlahan ia mencoba untuk berjalan mundur. Namun, pergelangan tangannya segera di cekal dengan erat oleh Abel.

Abel tertawa, dan menarik Ebi untuk duduk di atas kursi beton. Tugas Amel meletakkan pisau di dekat leher, agar Ebi terus menurut tanpa melakukan pergerakan sedikit pun.

"Oke, kita mulai ya Ta!" ucap Abel bersemangat.

Gadis itu mulai mengambil alih kotak misteriusnya, mengambil dua buah guntung yang ada di dalam sana. Salah satunya di berikan kepada Stella sambil menyinggungkan senyum.

Ebi menghela, menerima semua perlakuan kasar mereka tanpa adanya perlawanan. Kepalanya terus menoleh ke  arah yang berbeda, rasa sakit terus ia rasakan ketika dua gadis itu menarik rambutnya dengan kasar.

Rambut panjang itu mulai berubah menjadi pendek, terlihat sangat jelek. Potongan tak beraturan, dan beberapa tempat yang terlihat botak.

Stella tertawa tanpa henti ketika melihat wajah Ebi, sementara Abel dan Amel sibuk bersua foto dengan senja di belakang sana.

"Udah puas?" tanya Ebi.

Stella menggeleng, "Sebenernya belum, tapi gue  kasihan sama lo. Jadi, yaudahlah stop sampai di sini aja."

"Kenapa kamu benci banget sama aku?"

"Karena lo deket sama orang yang gue cinta."

"Cinta yang bertepuk sebelah tangan  maksud kamu? Miris ya," ucap Ebi dengan senyum meremehkan.

Stella menatap Ebi dengan tatapan sinis, ia tidak suka kalimat yang barusan keluar dari bibir jelek itu.

"Kenapa? Kamu gak suka ya sama fakta itu?"

"Kalau iya?"

"Sadar Stella, alzam cuman suka sama aku, bukan sama kamu. Jangan terlalu banyak berharap sama orang yang udah gak peduli lagi sama kamu," ucap Ebi sebelum beranjak.

Tangan itu kembali mendarat dengan mulus pada pipi kanan Ebi, membuatnya tersenyum tipis, dan berjalan keluar tanpa mengatakan apa pun.

"Makin lama makin sombong tu anak," ucap Amel yang entah sejak kapan telah berdiri di samping Stella.

"Sikat aja Stella, jangan di kasih ampun!" imbuh Abel.

"Tenang aja, gue gak bakalan ngebiarin dia bahagia, dia harus ngerasain apa yang gue rasain!"

"Nah! Itu makin seru, jangan lupa ajak kita berdua!" ucap Abel dengan penuh semangat.

****

"Ebi, siapa orangnya? Kasih tahu aku, biar aku sama abar  yang nyari dia!" teriak Nera dengan raut muka kesalnya.

"Udahlah Ra, jangan di pikirin, nanti jadi beban!"

Ebi kembali melanjutkan langkahnya, dan Nera ikut berjalan di sampingnya. Gadis itu terus mengomel dengan logat batak yang tidak bisa Ebi mengerti, tapi Ebi tahu jika  Nera tengah mengomeli gadis-gadis yang sudah membuat rambutnya menjadi tidak berbentuk lagi.

"Kamu harus lapor ke kepsek Bi, aku gak mau tahu! Ini itu tindak kejahatan, anak-anak itu harus di kasih pelajaran!" titah Nera.

"Nera, jangan emosi!" ucap Ebi lembut.

"Ini  udah aku tahan Bi, udah aku tahan demi kamu. Cuman aku gak bisa gak ngomel, aku tuh marah Ebi!"

Ebi tersenyum kecil, ia merasa lebih baik sekarang. Padahal sebelum ini, perasaannya terasa sangat kacau, membuat jantungnya berdegub lebih cepat dari biasanya. Ebi bersyukur, sangat bersyukur memiliki Nera yang sangat peduli dengan dirinya.

"Kok kamu malah senyum sih Bi, apanya yang lucu?" tanya Nera dengan kening bertaut dalam.

"Bukan lucu Ra, aku bahagia bisa punya kamu, aku ngerasa lebih baik sekarang," jelas Ebi, "Makasih udah ada ya Ra, makasih banyak."

"Ebi, bahagia punya aku itu emang harus, tapi bukan berarti kamu bisa  ngerasa  baik secepat ini! Aku minta kamu lapor, kasih tahu mereka kalau ada yang bully kamu!"

Ebi menghela panjang, menggenggam dengan erat tali ranselnya, dan berkata, "Gimana  kalau gak di dengerin Ra? Atau bisa saja mereka memberikan suap supaya bebas dari hukum. Aku gak bisa ngelakuin apa pun Ra, mereka sangat berkuasa."

Nera terdiam, perasan marah, dan kesal itu semakin bertambah. Ia tidak bisa berpikir seperti orang-orang yang memiliki kekuasaan, entah kenapa mereka semua menggunakan uang sebagai alat penyingkir kebenaran.

Menggunakan uang sebagai alat suap yang sangat ampuh, dan menggunakan kekuasaan ketika orang-orang yang tidak patuh di singkirkan dengan begitu mudahnya.

"Orang yang memiliki kekuasaan tidak pernah memiliki hati nurani," ucap Nera yang semakin di buat kesal.

Wajah gadis itu berubah menjadi merah, kedua tangannya mulai mengepal dengan kuat. Membuat buku-buku kukunya berubah menjadi putih.

"Hati nurani itu pasti punya Ra, cuman beda kapasitasnya aja. Terus juga orang tanpa kekuasaan juga ada loh yang  dikit hati nuraninya," sahut Ebi, mencoba untuk membuat Nera lebih sabar lagi.

"Aku tahu Bi, tapi mereka semua berlebihan, selalu mendukung yang salah, dan menginjak yang benar. Buta akan kebenaran itu gak baik Bi," jelas Nera.

Ebi mengangguk setuju, "Lalu apa? Apa rencana kamu sekarang?"

"Lapor Bi, tetep harus lapor!"

"Apa gunanya bersuara kalau gak di dengerin sih Ra? Apa gunanya bersuara kalau mereka ngebungkam pake cara apa pun?"

Nera terdiam membenarkan, tapi tindakan salah itu tak membuat otaknya berhenti untuk berpikir.

"Lapor ke Komnas HAM, perlindungan anak, sama Komnas Perempuan Bi. Aku bakalan ngedukung apa yang kamu ambil."

"Nera, semua bakalan di dengar kalau punya kekuasaan. Kalau gak punya bisa apa? Aku udah capek buat berharap Ra, lebih baik aku melawan mereka dengan rasa sabar, dan tersenyum."

"Kamu terlalu bodoh untuk menjadi manusia Bi."

****