"Siapa Ra?"
"Mama Bi, ya ampun mama aku telepon! Udah lama banget gak denger suara mama, dan akhirnya aku bisa denger Bi. Selama dua belas tahun gak ketemu," jelas Nera dengan begitu bahagia.
Ebi tersenyum, ikut merasakan kebahagiaan Nera. Namun, hati kecilnya merasa sedih. Ia juga ingin bertemu dengan sosok ibu yang telah meninggalkannya tujuh belas tahun yang lalu.
Begitu tega meninggalkan bayi yang baru saja lahir pada kerabat jauhnya. Takdirnya terlalu kejam, menuntut untuk selalu bersikap dewasa di semua masalah yang datang.
"Mama juga nitip salam buat kamu Bi, katanya juga bulan depan mau dateng. Kalau mama aku dateng, kamu main ke rumah sering-sering ya!"
"Kenapa Ra?"
"Mama aku suka sama kamu."
"Kok bisa tahu aku?"
"Aku ceritain soal kamu ke mama, aku juga cerita soal kamu ke papa setiap hari. Selalu Bi, aku selalu bagiin kisah kita ke semua orang, bahkan abar sekali pun," jelas Nera dengan begitu bersemangat.
"Ra, kamu kenapa cerita ke semua orang?"
"Emangnya kenapa?"
"Aku gak suka jadi orang terkenal, jangan Ra! Udah cukup cuman keluarga kamu sama orang di sekitar sini yang tahu aku," ujar Ebi khawatir.
Nera tertawa terbahak-bahak, temannya yang satu ini benar-benar aneh. Apa salahnya menjadi terkenal? Padahal jika terkenal, akan banyak orang yang mengenalnya. Akan ada banyak kemungkinan-kemungkinan kecil ataupun besar yang datang secara tiba-tiba.
Bisa saja sesuatu yang di inginkan sebelumnya terwujud satu per satu. Nera sangat percaya dengan keajaiban, bagaimana jika semua keajaiban itu benar-benar ada?
"Bi, gimana kalau mama kamu juga ikutan tahu? Maksud aku, orang yang aku ceritain juga nyeritain kamu ke mama kamu. Mungkin saja beliau akan datang, memberikan pelukan hangan beserta kasih sayang yang selama ini kamu mau," ucap Nera dengan penuh keyakinan.
Ebi terdiam sejenak, posisi duduknya di ubah menjadi lebih tegap sekarang.
"Aku gak tahu, tapi aku juga gak mau berharap berlebihan. Jika itu mungkin bisa terjadi, aku harap mama nemuin aku secepatnya."
"Aku yakin kok Bi, mama kamu bakalan datang."
"Tapi kemungkinan itu cuman sedikit Ra, aku juga gak mau berharap berlebihan. Terlalu banyak harapanku yang cuman jadi angan, terlalu banyak permintaanku yang di abaikan oleh Tuhan."
"Eh! Kamu gak boleh bilang kaya gitu! Bisa jadi apa yang kamu mau itu gak baik buat kamu, makanya Tuhan gak ngabulin. Aku percaya kok, semua yang Tuhan kasih buat kamu ini yang terbaik buat kamu Bi," jelas Nera.
"Kehidupan yang kacau ini bagus buat aku Ra?"
Gadis itu menggeleng cepat, bukan itu maksud dari kalimatnya.
"Bukan Ebi, aku pikir bukan itu. Tapi coba kamu inget, kamu punya aku. Kamu punya orang yang bisa di percaya, kamu punya orang yang bisa di ajak cerita kisah kamu. Kamu punya aku Ebi, dan aku bakalan tetap jadi sahabat kamu."
"Aku bingung Ra. Aku bingung harus senang atau sedih, aku bingung harus berekspresi seperti apa. Hidupku sudah hancur Ra, sudah kacau."
"Gak ada hidup yang kacau Bi. Kehidupan kamu ini layak, kehidupan kamu ini yang terbaik buat kamu," sahut Nera pelan, "Coba kamu pikir, gimana jadinya kalau kamu hidup di jalanan? Tanpa sekolah, dan tanpa rumah. Kamu harus bekerja setiap jam, kamu harus nyari tempat tinggal yang harganya saja tidak murah."
Ebi membisu, apa yang di katakan Nera memang benar. Namun, ia masih tidak bisa menerima takdir yang begitu menyeramkan ini.
"Kamu hari ini masih bisa makan di rumahku, masih bisa tidur di atas kasur empuk, dan masih bisa tertawa bersamaku Bi. Coba kalau kamu tinggal di jalanan, mungkin kamu gak akan kenal sama aku."
"Terus aku harus apa Ra?"
"Bahagia Bi, berdamai sama kehidupan kamu. Berdamai dengan Tuhan, dan lebih bersyukur untuk semua yang Tuhan kasih. Aku yakin, suatu saat nanti, Tuhan pasti ngasih hadiah besar buat kamu."
"Hadiah besar?"
Nera mengangguk yakin, "Sesuatu yang gak akan kamu sangka Bi, sesuatu yang ngebuat kamu makin percaya sama yang namanya keajaiban."
****
Sinar mentari merambat melalui celah jendela. Mendarat tepat pada kedua mata sipit yang mulai terbuka secara perlahan. Memperhatikan langit-langit kamarnya tanpa bersuara untuk beberapa saat.
Gadis itu mulai bangun, berjalan dengan perlahan menuju toilet yang ada di luar kamarnya.
Selesai dengan persiapannya, ia segera memakan makanan sisa semalam untuk sarapan sebelum pergi ke sekolah.
Ebi berjalan dengan semangat menuju sekolahnya. Senyumannya terus terukir, tak pernah ia merasakan rasa sebahagia ini. Mungkin karena ini hari kamis, atau bisa saja karena mata pelajaran yang tidak begitu berat.
Gadis itu masih tersenyum lebar ketika memasuki pagar sekolah. Berlari kecil menuju tangga yang akan membawanya menuju kelas.
"Ebi?"
Suara itu membuatnya menoleh dengan langkah yang telah terhenti.
"Nanti ada presentasi, jangan lupa loh ya!" peringat gadis berambut ikal itu.
"Ah! Iya, aku inget kok Na."
"Oke, nanti tugas lo cuman duduk di depan komputer. Jangan ngacau ya! Gue gak mau lo ikutan di depan," titah Nana dengan tatapan sinisnya.
Ebi masih tersenyum sambil mengangguk-anggukan kepalanya sampai gadis bernama Nana itu pergi.
Meskipun hanya pengganti slide, tapi Ebi senang. Senang karena bisa maju bersama kelompoknya yang lain, senang bisa ikut berkontribusi. Jika dulu, dia harus sendirian dan bersusah payah mengganti slide sendirian.
Tak ada yang mau satu kelompok dengannya. Banyak yang bilang Ebi terlalu pendiam, ada pula yang mengatakan jika Ebi bau. Padahal Ebi selalu menggunakan parfum sebelum pergi menuju sekolah, dan selalu mandi agar badannya tidak bau.
****
"Elena Brigta?" panggil pria paruh baya itu.
Seluruh siswa menatap ke arah Ebi, dan membuat gadis itu beranjak dari duduknya.
"Kamu ya?" tanya pria paruh baya itu.
Ebi mengangguk sebagai jawabannya.
"Ikut saya ke kantor!" titahnya sebelum melenggang pergi.
Ebi segera berjalan, meminta izin kepada Bu Lastri untuk pergi ke ruang guru sebentar. Setelah mendapatkan izin, ia segera berlari keluar, menyusul Pak Sam yang sudah jauh dari kelasnya.
Memasuki ruang guru yang begitu sunyi membuatnya deg-degan. Pasalnya Ebi tak pernah membuat kesalahan, ia selalu rajin, dan datang tepat waktu.
"Duduk!" titah Pak Sam yang sudah duduk di tempatnya.
Gadis itu mengangguk, duduk di depan Pak Sam sambil memindahkan sedikit buku yang menutupi wajah Pam Sam di meja itu.
"Kamu tahu kenapa saya panggil?" tanya Pak Sam tanpa menatap Ebi.
"Maaf Pak, tapi saya tidak tahu."
Pria paruh baya itu menghembuskan napas panjang, mengambil salah satu amplop berwarna putih yang ada di dalam laci.
"Elena Brigta Inerta, nama kamu kan?" tanya Pak Sam sebelum memberikan amplop itu.
Ebi mengangguk ragu.
"Kenapa ragu sih? Bener gak itu nama kamu?" tanya Pak Sam lebih tegas dengan kening yang bertaut dalam.
Ebi mengangguk secepat mungkin, dan mengambil amplop miliknya dengan pelan.
"Buka, baca, pahami!"
"Iya Pak!"
Gadis itu mulai membuka amplopnya, membaca surat edaran berwarna putih itu dengan kening yang bertaut dalam.
Ia segera menatap Pak Sam, dan Pak Sam pun ikut menatapnya dengan begitu tenang.
"Pak, saya gak pernah buat kesalahan. Saya rasa ini ada yang salah," ucap Ebi sambil memberikan suratnya.
"Apa yang salah? Apa yang kamu baca? Coba isinya apa, jelasin ke saya!"
****