"Baik, kelas saya tutup untuk hari ini. Bab selanjutnya saya mau untuk uji kompetensi satu kalian kerjakan, cari literatur atau pembahasan untuk yang tidak di mengerti melalui youtube atau berita lain yang bisa di percaya ya!" ucap Bu Susan sebelum meletakkan spidol hitam di atas mejanya.
"Uji kompetensi satu untuk bagan satu saja atau satu, dua, dan tiga Bu?" tanya Boby, pemilik jabatan ketua kelas, dan OSIS.
"Iya, semua bagan harus di kerjakan. Jangan lupa untuk mencantumkan literaturnya!" tegas Bu Susan.
"Baik Bu!!" sahut seluruh siswa kelas.
"Oke, saya tutup sampai di sini ya!" Wanita itu mengambil tas, beserta buku-bukunya, "Selamat siang!"
"Siang!!"
Bu Susan berjalan keluar, sementara siswa XII IPS1 itu mulai membereskan alat tulisnya, dan berjalan keluar bersama-sama.
Berbeda dengan gadis cantik di sana. Ia masih duduk sambil melamun di dalam kelasnya, memperhatikan dua burung dara yang terlihat tengah berdiri di salah satu dahan pohon mangga.
Sudut bibirnya terangkat sebelah, begitu sedikit, tapi masih terlihat dengan sangat jelas. Ia ingin memiliki teman, hanya satu saja yang bisa membuatnya bahagia ketika di sekolah.
Bosan rasanya jika terus sendirian, apa lagi banyak yang tidak menyukainya karena miskin, dan tidak terlalu pintar. Nilai pas adalah nilai yang paling bagus untuknya, itupun di dapat dengan susah payah.
Ebi menghela panjang, ia mulai membuka beberapa lembar LKS bahasa Inggrisnya. Membaca satu persatu kalimat yang ada di dalam sana.
Semua soal terlihat sedikit mudah, tapi ada pula yang terlihat mudah. Ebi tidak bisa mendapatkan jawabannya, ia tidak mengerti, bahkan pada materinya pun tidak ada yang bisa digunakan sebagai jawaban.
"Ini gimana sih? Ya ampun! Kenapa sesusah ini? Aku juga gak ngerti harus gimana, siapa yang bisa di mintain tolong?" ucapnya begitu putus asa.
Gadis itu menghela panjang, menyandarkan tubuhnya pada punggung kursi. Rasa sedih itu kembali datang menyelimuti hatinya, rasa kesepian itu masih ada di sana.
Ebi bingung, ia tidak mengerti dengan situasi yang ada di dalam hidupnya ini. Takdir selalu kejam pada orang miskin, kehidupan terlalu berat untuk orang yang tidak memiliki uang.
Setiap hari meratapi nasib tidak membuatnya bosan. Ebi malah senang, karena tidak ada lagi yang bisa di lakukannya. Mungkin hanya tertawa seperti orang gila agar semua bebannya menghilang sejenak, dan kemudian kembali lagi membuat punggungnya berat.
"Aku bosan," gumamnya sebelum akhirnya membereskan seluruh alat tulisnya.
****
Ebi tersenyum lebar, ia tidak pernah merasakan sebahagia ini. Padahal hanya anak tangga yang akan membawanya menuju rooftop sekolah. Tempat ternyaman, dan paling sunyi yang pernah ia kunjungi.
Hari ini ruangan ini pun masih sepi, hanya ada suara angin yang berhembus dengan kencang. Membuat rambut panjangnya yang terurai menjadi kusut.
Gadis itu berjalan menuju pagar pembatas, memperhatikan pemandangan kota yang terlihat begitu indah. Banyak rumah mewah, dan gedung bertingkat yang masih di lihat dari atas sana.
Ebi mulai memejamkan kedua netranya dengan perlahan. Mencoba untuk merasakan sentuhan angin yang terus menerpa wajahnya.
Beberapa detik kemudian, kedua netranya kembali terbuka. Ia mencoba untuk naik, berdiri di atas pagar dengan kedua tangan yang di rentangkan.
Pemandangan di bawah sana terlihat sangat menakutkan, kakinya terasa sedikit bergetar, tapi Ebi menghiraukannya. Ia kembali untuk mencoba menutup kedua netranya dengan perlahan, merasakan kembali angin yang menerpa wajahnya.
Udara dingin itu membuatnya tersenyum kecil, ini suasana yang sangat berbeda. Membuatnya ingin terus berdiam diri di atas sana sampai bel pulang berbunyi.
Namun, secara tiba-tiba seseorang menarik bahunya ke belakang. Membuatnya harus terjatuh ke belakang, bertemu dengan lantai dingin yang terasa menyakitkan.
Punggungnya sakit, dan bokongnya pun ikut merasakan sakit yang luar biasa. Ia tidak tahu siapa yang menariknya, Ebi menoleh. Menatap cowok yang kini menatapnya dengan kening bertaut dalam.
"Lo gila ya?!" teriaknya kesal.
Ebi yang tidak tahu apa-apa itu hanya membisu, mencoba untuk berdiri, dan kembali duduk agar sejajar dengan cowok asing itu.
"Gue lagi ngomong sama lo, lo gak denger apa gimana sih?" tanyanya lagi dengan nada yang lebih ketus.
Kali ini bukan rasa sakit, Ebi diam karena memperhatikan wajah tampan cowok itu. Mata yang sipit, bibir tebal berwarna pink, dengan hidung mancung, dan kulit berwarna putih.
"Hey!" cowok itu kembali berbicara, mencoba untuk menyentuh bahu Ebi, tapi gadis itu segera membuat jarak dengannya.
"Aku gak gila kok, maaf udah buat kamu jadi kesal ya!" sahut Ebi pelan dengan senyuman manisnya.
Cowok asing itu menghela panjang, "Terus kalau gak gila lo ngapain berdiri di sana? Mau bunuh diri? Lo pikir dengan bunuh diri bisa selesai semua masalah yang lo punya? Lo pikir bunuh diri adalah jalan terbaiknya?"
Ebi menggeleng sebagai jawabannya.
"Nah! Lo tahu, tapi kenapa masih berdiri coba? Jangan berpikiran pendek, jangan lagi berdiri di sana, bahaya! Ngerti?"
"Aku tahu semua itu kok, aku tahu itu bahaya. Tapi kamu gak bisa nyimpulin semua orang yang berdiri di sana mau bunuh diri!" sahut Ebi dengan tenang, "Aku cuman berdiri, ngerasain angin. Jangan berlebihan untuk semua yang kamu lihat!"
Cowok itu terdiam, ia baru sadar jika dirinya terlalu tergesah-gesah.
"Maaf, gue gak bermaksud kaya gitu. Maaf karena udah narik lo, dan udah ngomong pake nada tinggi," ujarnya menyesal.
Ebi tersenyum ramah, "Gapapa kok."
"Elena Brigta, nama lo bagus."
Ebi kembali tersenyum, "Makasih."
"Elena dong di panggilnya?"
Gadis itu menggeleng.
"Terus apa?"
"Ebi."
Kening cowok itu bertaut dalam, "Kok Ebi sih?"
"Singkatan dari namaku, kamu ambil aja satu huruf paling depan untuk di rangkai menjadi kata Ebi," jelasnya.
"Ah! Engga deh, gue mau panggil lo yang lain aja!" ucap cowok itu dengan tersenyum, "Gue panggil lo Nerta aja ya!"
"Kenapa nerta?"
"Bagus aja, gue suka bagian itu daripasa Elena. Terlalu pasaran buat cewek sebaik lo."
Ebi hanya tertawa kecil dengan anggukan kepala.
"Gue Alzam."
"Alzam aja?" tanya Ebi.
"Ya engga, ada panjangannya."
"Apa?"
"Alzam Dinn Ningrat."
"Nama kamu bagus."
"Bagus aja?"
"Emang kamu maunya gimana selain cuman bagus aja?" tanya Ebi bingung.
"Ganteng gak namanya? Gue kan ganteng, nama gue ganteng juga gak?"
Gadis itu tertawa, cowok asing itu sangat lucu. Pemilik kepercayaan diri yang sangat tinggi bisa saja di berikan kepada Alzam.
"Iya kamu ganteng, ganteng banget. Nama kamu bagus, artinya sesuai sama wajah ganteng kamu," sahut Ebi sebelum berhenti tertawa.
"Kenapa ketawa?"
"Gapapa, kamu lucu, aku suka."
"Suka sama gue? Ah! Yang bener, masa iya baru ketemu udah langsung suka sih? Jangan kaya gitu, nanti lo bisa di culik."
"Kok di culik?"
"Iya soalnya lo bilang suka, cowonya langsung baper terus pengen culik. Ya pokoknya gitu deh, kalau gak paham jangan di pahamin!" sahut Alzam cepat sebelum beranjak dari duduknya.
Ebi ikut berdiri, berjalan menghampiri Alzam yang sedang bersandar pada pagar pembatas rooftop.
"Kenapa jangan di pahamin Al?"
"Jangan pokoknya jangan!"
"Oke."
"Ta, lo emang kaya gini ya?"
"Gini gimana?"
"Panggilnya pake aku - kamu. Kenapa? Dari kecil atau gimana?"
"Kebiasaan, lebih enak aja sih. Kalau pake yang kamu pake, aku ngerasa gak enak, kaya asing aja gitu," jelas Ebi.
"Gue pake juga boleh gak? Tapi cuman sama lo doang sih."
****
Gadis itu berjalan dengan cepat menuju dapur. Mencuci setumpuk piring kotor yang sudah menunggunya sejak pagi tadi, tapi sebelum di cuci. Ebi menemukan satu pisang goreng yang tergeletak di atas piring kotor itu.
Ia memperhatikan sekitar, tidak ada seorang pun yang melihatnya, dengan cepat Ebi melahap pisang goreng kecil itu, dan mengunyahnya dengan cepat.
Rasanya sangat manis, dan lezat. Ini kali pertamanya ia memakan pisang goreng yang masih utuh, biasanya sudah di gigit atau di potong. Namun, Ebi tidak merasa jijik, rasa lapar membuatnya tak mau berpikir soal jijik.
Dua jam lamanya Ebi menyelesaikan pekerjaannya. Setelah selesai, ia segera bergegas pergi menuju kamar. Mengganti pakaiannya agar lebih bagus sedikit dan pergi menuju ruang makan.
"Bu, aku mau pergi buat ketemu sama nera," ucap Ebi meminta izin.
"Sama siapa aja?" tanya Bu Jihan tanpa menatap Ebi di sana.
"Sama nera aja Bu, gak ada yang lain. Aku janji buat pulang sebelum isya, gak akan kemaleman."
Wanita itu masih saja tidak menatap Ebi, ia sibuk memotong daging sapinya dengan pisau, dan garpu.
"Bu?" panggil Ebi.
"Nyokap gue udah diem, itu artinya iya. Lo sekarang pergi deh, jangan ngerusak suasana!" ketus Jona dengan tatapan tak sukanya.
Ebi tersenyum kecut ketika menatap gadis kecil yang tidak memiliki sopan santun itu.
"Terima kasih Bu Jihan, aku pergi dulu," ucap Ebi sebelum melenggang pergi.
****