Chereads / The Last Memories / Chapter 5 - SMILE

Chapter 5 - SMILE

Cowok tinggi itu berdiri di atas balkon kamarnya. Memperhatikan jalanan komplek yang sangat sepi, tak ada satu orang pun yang datang untuk berjalan kaki atau mobil yang hanya melintas.

Terlalu sepi, membuatnya sedikit takut, tapi harus ia lakukan. Ini terlalu penting baginya, bahkan jauh lebih penting ketimbang jam tidurnya yang akan kacau.

Selang beberapa menit, mobil berwarna merah itu berhenti tepat di depan pagar rumahnya. Alzam segera beranjak, memperhatikan pintu mobil yang mulai terbuka.

Menampakkan seorang wanita, dengan pria jakung yang mulai berpelukan di depan sana. Kedua tangannya mulai mengepal kuat, membuat buku-buku kuku Alzam memutih.

Ia benci pemandangan itu, tapi Alzam harus sabar hinggal mobil itu pergi menjauh. Wanita itu mulai masuk, dan Alzam segera berlari keluar. Menemui Mirliana yang berjalan dengan lunglai.

"Mama?" teriaknya panik.

Cowok itu mencoba untuk membawa Mirliana pada sofa yang tak jauh dari jangkauannya. Menatap wajah wanita yang sedang tertawa terbahak-bahak itu dengan raut muka sendunya.

"Alzam, kamu kenapa sih?" tanya Mirliana agak kesal.

"Mama bisa gak sih gak minum tiap malam? Bisa gak sih Ma, gak pulang malam setiap hari?!" teriak Alzam kesal.

Kening Mirliana bertaut dalam, ia segera beranjak meskipun merasa pusing.

"Kamu jangan ngomong pakai nada tinggi ya sama mama!!"

"Mama harusnya ngertiin aku dong Ma! Mama harusnya itu di rumah, nemenin aku di rumah Ma! Jangan keluyuran sama cowok-cowok baru setiap hari!"

"Alzam, mereka itu pacar mama, calon papa kamu!"

"Aku gak mau papa baru, aku maunya Mama!" teriak Alzam jauh  lebih keras.

Wanita itu berdecih kesal, ia mulai duduk di atas sofa dengan kedua netra yang mulai di pejamkan sesaat.

"Alzam, dengerin mama!" titahnya dengan suara yang lebih lembut.

Cowok tinggi itu mencoba untuk menormalkan deru napasnya, kemudian ikut duduk tepat pada sofa yang berseberangan dengan Mirliana.

Wanita itu mulai mengambil napas, meminum satu aqua gelas yang ada di atas meja, dan menatap putra sulungnya lamat-lamat.

"Alzam, mama gak bisa kaya orang tua yang lain. Kamu harus paham sama kondisi kita, kamu harus bisa lebih dewasa Alzam!" ucap Mirliana, "Papa kamu udah pergi, mama harus cari uang buat kita bertahan hidup. Mama gak masalah deh kalau harus pacaran aja sama mereka, tapi tolong jangan marah-marah kaya gini! Mama gak suka."

"Mama punya  usaha kan Ma? Mama punya banyak kafe, Mama punya  banyak karyawan yang bisa handle itu semua. Kenapa Mama masih cari cowok sih Ma? Kenapa Mama gak bisa ada di rumah?"

"Alzam ini kondisinya beda! Kalau papa masih ada, kalau aja papa gak pergi ninggalin kita demi perempuan itu, mama pasti ada di samping kamu kok Al!"

Alzam tertawa sinis, ia tidak percaya dengan jawaban enteng dari Marliana. Begitu enteng hingga tidak sadar jika sebenarnya kesalahan lain ada pada mamanya.

"Mama kenapa gak pernah mau ngaku sih? Mama kenapa gak pernah ngaku kalau Mama itu juga perusak Ma! Mama juga ngerusak rumah tangga orang, Mama jadi orang ketiga!" teriak Alzam yang mulai kesal, "Mama pacaran sama orang yang udah punya istri sama anak, kapan Mama mau sadar sih?"

"Alzam! Kamu bisa gak sih gak bahas itu? Kamu hargain perasaan mama sedikit aja bisa gak sih?"

"Kenapa aku harus hargain perasaan Mama? Sedangkan Mama sendiri gak pernah hargain perasaan aku sama papa dulu," sahut Alzam ketus, "Kalau aku boleh jujur Ma. Aku itu benci banget sama Mama!"

"Alzam!!" teriak Mirliana.

"Teriak aja Ma, teriak sampai tetangga denger! Teriak aja gapapa, aku juga udah gak betah tinggal di rumah ini."

"Kalau kamu gak betah kenapa gak pergi?!"

"Gimana mau pergi kalau Mama ngasih rantai berkunci?! Gimana caranya aku bisa pergi kalau Mama ngebuat aku jadi boneka hidup di dalam rumah?! Coba jelasin Ma!!"

"Alzam, kamu gak bisa selalu marah sama Mama. Mama ini mama kamu, mama mau yang terbaik buat kamu sayang," ucap Mirliana dengan isak tangisnya.

"Yang terbaik kan Ma? Kalau emang itu, stop Ma. Jangan cari cowok lagi, Mama ada di rumah, ngabisin waktu sama aku. Itu aja Ma, sesimple itu."

"Mama gak bisa Al, maafin mama," sahut Mirliana sebelum akhirnya beranjak dari duduknya, melenggang pergi meninggalkan Alzam yang hanya bisa menahan sesak pada dadanya.

****

"Mau pulang Ta?"

Gadis itu menoleh sebelum menghentikan langkahnya tepat di depan anak tangga pertama. Kedua sudut bibirnya tertarik keatas, memperlihatkan deretan giginya yang begitu rapi.

"Iya, kan udah waktunya pulang Al," sahut Ebi.

Alzam tersenyum canggung, berjalan mendekati Ebi, dan ikut menuruni anak tangga dengan perlahan.

"Jangan langsung pulang yuk Ta! Main bentar aja Ta, gak akan lama kok," ajaknya dengan wajah memelas.

"Kemana?"

"Gak kemana-mana, cuman ikutin jalanan aja sampe jam lima sore."

Ebi terdiam sejenak, kemudian menatap lawan bicaranya sambil memberikan anggukan kepalanya sebagai tanda setuju.

"Boleh deh, tapi jangan jam lima ya! Aku ada pekerjaan rumah yang harus di selesain sebelum jam tujuh malam."

"Emangnya jam tujuh malam mau ngapain sih Ta? Kamu mau pergi keluar ada janji sama orang?" tanya Alzam.

"Engga, itu waktunya buat istirahat sama belajar."

"Oke, ayo!" Alzam menggandeng lengan kanan Ebi, membuat gadis itu terus memperhatikan lengannya yang di gandeng sebelum akhirnya menatap wajah cowok tampan itu.

Ini kali pertamanya Ebi memiliki teman, kali pertamanya seseorang tidak merasa jijik, dan membencinya. Tuhan begitu baik, memberikan sosok Nera, dan Alzam yang mau berteman baik dengannya.

Setidaknya rasa kesepian itu mulai memudar, di gantikan dengan rasa bahagia yang selama ini di dambakan Ebi.

Kini mereka berdua berjalan menyusuri trotoar, memperhatikan pedagang kaki lima keliling yang berdiam di dekat trotoar. Wangi batagor, dengan kuah cilok tercium dengan begitu kuat.

Ebi menginginkannya, tapi di urungkan karena uangnya tidak cukup. Sayang jika harus membeli jajanan, lebih baik di tabung untuk membeli kebutuhan sekolahnya.

"Kamu anak tunggal Ta?" tanya Alzam setelah lama membisu.

"Iya."

"Terus kamu tinggal di mana? Sama siapa?"

"Di rumah, sama bibi. Adik ibuku, ayah udah lama meninggal, sedangkan ibu pergi gak tahu kemana. Kata bibi, ibu pergi karena mengejar mimpi, dan ingin menikah dengan sosok yang di idamkan sejak dulu," jelas Ebi sambil berjalan di atas rel kereta.

Alzam terdiam, memperhatikan wajah cantik dengan rambut hitam yang indah itu. Ia tidak tahu jika di balik wajah cerianya Ebi, ada hati yang hancur. Terlalu rapuh jika ingin di genggam dengan perlahan.

"Kamu baik-baik aja kan Ta?" tanya Alzam khawatir.

"Iya, aku baik-baik aja kok. Kamu gak usah khawatir, aku bisa jaga diri kok!"

"Ta, kalau ada apa-apa jangan sungkan-sungkan cerita sama aku ya!"

Ebi menoleh, memberikan senyuman manisnya sambil mengangguk.

"Ta, besok beli jam yuk!"

"Buat apa Al?"

"Buat putar waktu, aku ingin mengulang semuanya Ta. Mengulang kebersamaan kita, dan mengulang setiap kali kamu tersenyum," jelas Alzam.

Ebi tertawa kecil, "Aku bisa kok terus kasih senyuman ke kamu, gak usah beli jam juga!"

"Kayanya beda deh Ta."

"Kenapa beda Al?"

"Soalnya kalau setiap hari, nanti kamu malah ngerasa beban Ta. Terus senyumnya malah gak ikhlas."

"Kalau gitu buat aku terus tersenyum Al!"

****