Chereads / The Last Memories / Chapter 6 - UANG

Chapter 6 - UANG

Gadis itu berlari dengan sekuat tenaga, langit masih berwarna gelap. Mentari pun masih belum muncul, tapi Ebi sudah mengenakan seragam lengkap dengan tas berat yang di gendongnya.

Ia terus berlari, mencari-cari bus yang mungkin akan berhenti. Namun, bus  tidak terlihat, motor atau mobil pribadi pun tidak terlihat tengah berlalu lalang.

Jam subuh membuatnya kesusahan, Ebi harus berlari menuju sekolahnya agar tiba tepat waktu.

Sepatunya yang sudah jelek bertambah jelek. Banyak bagian yang sudah robek, dan mulai menipis. Namun, Ebi masih menggunkannya, ia tidak mau membeli yang baru. Lebih baik di perbaiki, dan di tambal daripada membeli yang baru. Intinya masih bisa di gunakan dengan baik.

Langkahnya mulai berhenti tepat di depan halte. Ebi memilih untuk duduk, menormalkan deru napasnya. Dahi beserta lehernya telah penuh dengan keringat, segera di lap menggukan punggung tangan.

Tak lama kemudian salah satu bus kota berhenti, gadis itu segera beranjak dan naik. Duduk di salah satu kursi yang dekat dengan pintu keluar, memperhatikan pemandangan melalui jendela.

Senyuman tipis mulai terlihat, ia merasa lebih nyaman dengan kota sepi seperti ini. Tidak terlalalu ramai, padat, dan berisik. Tak ada lagi suara klakson beserta asap kendaraan yang menjadi musuh pejalan kaki.

Tak terasa bus mulai berhenti, Ebi segera turun dan kembali berlari menuju rooftop. Ia segera duduk, mengeluarkan berbagai buku, dan segera mengerjakan tugas yang belum selesai.

"Lo ngapain di sini?"

Suara berat itu membuat Ebi menoleh dengan cepat, kedua netranya membulat. Ia tidak kenal siapa cowok itu, tapi seragam yang di kenakannya vsangat berbeda.

"Lo ngapain?" tanyanya lagi dengan kening bertaut dalam.

Cowok itu berjalan mendekati Ebi, memperhatikan setiap soal yang telah di kerjakan sambil mengangguk-anggukan kepalanya.

"Yang ini kenapa gak di kerjain?" tanyanya tanpa menatap Ebi.

"Gak ngerti, aku gak ada ponsel buat buka google atau youtube," sahut Ebi jujur.

"Apa? Yang bener aja, jaman sekarang masih ada yang gak punya ponsel? Wah! Kok bisa?"

"Gak ada uang buat beli, sayang juga sih kalau ada uangnya. Mendingan di pake buat sesuatu yang lebih penting," jelas Ebi pelan.

Cowok asing itu menghela panjang, memperhatikan setiap inchi wajah Ebi, dan kemudian tersenyum tipis.

"Oke, karena gue baik hati dan suka menolong. Gue bantu lo hari ini, tapi hari ini aja," ucapnya.

"Hari ini aja maksudnya gimana?"

"Maksusnya ya hari ini doang, soalnya gue di sini cuman hari ini."

"Kamu bukan dari sekolah sini ya?" tanya Ebi penasaran.

"Yap! Lo bener, gue bukan dari sekolah sini, cuman iseng main ke sini. Bentar lagi juga pergi gue pas udah ada beberapa murid, atau mungkin abis bantuin lo gue pergi," jelas cowok itu panjang.

"Makasih sebelumnya, tapi ini gak ngerepotin kamu kan?"

"Gak kok, santai aja!"

Cowok itu mulai mengambil alih soal-soal milik Ebi, mengeluarkan benda pipih yang di simpan di dalam saku celananya.

Semua soal yang kosong mulai di isi dengan cepat. Terlalu cepat mendapatkan jawaban melalui ponsel membuat Ebi tercengang. Ia baru tahu jika kekuatan google secepat itu, atau mungkin dirinya yang terlalu gaptek.

"Udah selesai nih, lo bisa liat. Gue tulis juga literatur darimana, jadi lo gak perlu gagap lagi pas di tanya. Sebelum di kumpulin, lo baca dulu biar paham," ucap cowok itu dengan begitu jelas.

Ebi mengangguk mengerti, "Makasih banyak ya!"

"Hm, sama-sama. Gue pergi dulu ya!"

****

Gadis itu menghela panjang, berjalan menuju kantor guru dengan tergesah-gesah. Kedua tangannya terus mengepal dengan erat, membuat buku-buku kukunya memutih, dan berkeringat.

Rasa takut itu membuat wajah Ebi berubah pucat, ia tidak tahu harus apa lagi setelah ini.

Tanpa ia sadari, langkahnya terhenti di depan kantor guru. Tangan kanannya mulai mengetuk pintu, kemudian masuk ke dalam dengan perlahan.

"Duduk!" titah Pak Sam.

Ebi mulai duduk berseberangan dengan Pak Sam.

"Elena, saya sudah memberi peringatan kemarin. Baru juga masuk semester satu di ujian harian, kenapa turun lagi?" tanya Pak Sam yang mulai lelah.

"Maaf Pak, saya kurang untuk persiapan belajar."

"Itu bukan alasan Na, itu cuman malas. Kamu malas buat belajar, kamu malas buat dapat nilai bagus. Kalau kaya gini lagi, saya gak bisa memastikan beasiswa kamu besok."

"Pak, saya  janji akan menaikkan nilai-nilai saya  Pak. Saya janji tidak akan malas lagi Pak, saya janji."

"Saya gak mau janji Na, saya mau pembuktian! Tolong buktikan besok, karena ini sudah panggilan kedua."

Ebi terdiam dengan kepala yang menunduk. Sungguh, ia tidak mau beasiswanya di cabut. Jika beasiswa itu di cabut, dan Ebi tidak memiliki yang yang cukup untuk membayar, bagaimana dengan nasibnya nanti?

Gadis itu mencoba untuk terus berpikir positif, meninggalkan pikiran-pikiran negatif yang sejak tadi memenuhi isi kepalanya.

Pertanyaan-pertanyaan soal beasiswa pun terus keluar. Ia tidak tahu lagi harus berbuat apa, harus melakukan apa, dan harus belajar seperti apa. Ebi tidak tahu lagi.

Ia berharap pada Tuhan agar memberikan jalan keluar dengan mudah.

"Ini sekolah swasta Na, susah buat dapet beasiswa. Emang benar-benar di pilih dengan baik untuk siswa yang membutuhkan. Saya minta jangan di sia-siakan, nanti kamu menyesal," ucap Pak Sam sambil memainkan seutas benang dengan buku catatan.

"Iya, Pak saya mengerti."

Pria itu menghela samar, menatap Ebi dengan sekilas, dan berkata, "Kamu boleh pergi, belajar yang rajin ya Na!"

"Terima kasih Pak, saya akan belajar, dan mengingat semua yang Pak Sam katakan hari ini," sahut Ebi dengan semangat.

Gadis itu mulai beranjak, berjalan keluar dengan perlahan.

****

Gadis itu duduk bersandar pada dinding pembatas rooftop. Mensejajarkan kakinya sambil menatap lurus ke depan. Tatapannya kosong, di tambah dengan ekspresi sedih yang terpapar dengan jelas.

Takdir kembali mempermainkannya, jalannya takdir yang tidak indah membuatnya harus bertahan dengan isak tangis. Tak ada jalan keluar, tapi mungkin ada dengan cara yang berbeda.

Ebi menghela jengah, tidak tahu harus berbuat apa. Tidak ada figur ayah beserta ibu yang bisa membiayai sekolahnya. Jangankan sekolah, kasih sayang pun tak pernah di dapatkan.

"Kamu kenapa Ta?"

Suara berat itu membuat Ebi menoleh, senyumnya mulai merekah dengan begitu lebar.

"Lagi mikir Al," sahutnya ketika Alzam ikut duduk di sebelahnya.

"Mikir apa sih Ta? Kamu ada masalah apa? Cerita sama aku ya! Mungkin aja aku bisa bantu kamu, atau aku bisa ngasih solusi meskipun hasil memuaskannya sekitar tujuh puluh atau delapan puluh persen Ta," ucap Alzam panjang lebar.

Ebi tersenyum tipis, menarik kedua kakinya untuk menyembunyikan tubuh mungilnya itu. Ia merasa bingung harus mulai darimana, di tambah lagi masalah ini tidak begitu penting untuk anak sekaya Alzam.

"Ini soal uang Al," ucap Ebi setelah membisu beberapa saat.

"Uang? Maksudnya tunggakan sekolah ya Ta?"

"Lima puluh persen bener Al, tapi aku dapet beasiswa. Terus makin ke sini nilainya makin turun, aku udah dapet dua panggilan di semester ini. Satu panggilan lagi, beasiswanya bakalan di cabut," jelas Ebi dengan sorot mata sedih.

Alzam terdiam, melirik Ebi sekilas sebelum akhirnya menghela samar.

"Buat belajar aku bisa bantu kok Ta, tapi kamu mau belajar apa aja? Soalnya gak semua mata pelajaran aku kuasai."

Gadis itu segera menoleh ke samping, raut muka muramnya berubah menjadi begitu ceria.

"Beneran Al?"

"Iya Ta, beneran."

"Pelajaran angka Al, semuanya aku dapet minus. Bahasa asing, sama ekonomi. Itu aja yang  minus, kamu bisa semua?" tanya Ebi.

"Aku anak IPA, tapi aku bisa ngajarin matematika, bahasa asing, buat ekonomi aku gak ambil pelajaran itu buat kelas tambahannya."

"Gapapa deh, nanti aku belajar sendiri."

"Aku minta nomor kamu ya biar kita bisa bikin janji belajarnya," ucap Alzam sembari mengeluarkan benda pipih dari dalam saku celananya.

****