Gadis itu masuk ke dalam rumah dengan perasaan tak nyamannya. Ia masuk dengan perlahan, sesekali melirik ke arah dapur, memastikan jika Bu Jihan bersama puterinya tidak melihatnya, dan memang benar. Keluarga kecil itu sibuk memperhatikan makanan mereka tanpa merasa terusik.
Ebi berjalan dengan cepat menuju kamarnya, ia segera mengganti seragamnya dengan pakaian santai. Berjalan keluar menuju dapur untuk membersihkan piring kotor yang sudah menumpuk sejak tadi.
Mencuci piring kotor itu membuatnya tersenyum dengan sangat tipis. Ia ingin sekali hidup seperti piring-piring itu. Meskipun mereka memiliki kotoran sebanyak mungkin, masih ada seseorang yang mau membersihkannya hingga terlihat sangat cantik.
Piring kotor itu kembali bersih, terlihat seperti tidak pernah ada noda yang menempel pada dindingnya. Tanpa ada bekas, atau noda yang tertinggal sedikit pun.
Ebi ingin hidup seperti itu, sayangnya kehidupan yang Tuhan berikan terlalu menyeramkan. Terlalu jahat untuk di katakan menyenangkan, terlalu suram untuk di katakan berwarna.
Hidupnya sudah kacau, tak ada lagi celah untuk kabur. Membuat kehidupan baru yang lebih layak, dan lebih berwarna dari ini.
Gadis itu kembali menangis sesenggukan, sesekali punggung tangannya di bersihkan dengan air agar bisa menghapus jejak air matanya pada pipi mulus itu.
"Gak usah lebay, bersihin aja piringnya!" ucap Bu Jihan sambil meletakkan piring kotornya, "Gak akan ada orang yang nolongin kamu di rumah ini, gak akan ada orang yang ngebuat pekerjaan kamu jadi ringan. Gak usah nangis!"
Ebi hanya membisu sambil menatap piring berbusa itu dengan tatapan kosong.
"Cepet berserin, masih ada cucian baju yang nungguin kamu!" ucapnya sebelum melenggang meninggalkan dapur bersama anak perempuannya.
Ebi menahan isakannya dengan mengepalkan kedua tangannya. Ia mencoba untuk sabar, memaklumi setiap cemooh yang di keluarkan dari Bu Jihan itu memang tidak mudah, tapi harus di lakukan untuk menghindari pertikaian.
🍐
Cahaya bulan masuk melalui jendela kamar. Menerangi ruangan gelap yang di huni gadis cantik itu. Samar-samar ia terlihat tengah menatap menatap ke arah jendela, memperhatikan bulan bersama bintang yang berpencar memenuhi langit.
Tatapannya terlihat begitu kosong. Tak ada senyuman pada wajah cantiknya itu, hanya raut muka murung dengan mata sembab berwarna merah.
Helaan napas keluar dari bibir mungilnya, ia kembali memperhatikan ke arah kaca. Memberikan salep pada ujung bibirnya yang luka.
Rasa perih mulai menyebar, Ebi mencoba untuk menahannya. Membiarkan rasa itu datang dengan sedikit lama, karena dirinya yakin jika sebentar lagi rasa perih itu akan lenyap dengan perlahan.
Air matanya kembali menggenang, turun secara perlahan melewati pipi tirus itu.
Tak ada lagi artinya hidup lebih lama. Tak ada lagi rasa ingin bertahan di dunia yang kejam, Ebi ingin mati. Berakhir bersama bayangannya yang selalu menghilang setiap malam.
Kehidupannya sudah tidak sebagus itu, tak ada lagi harapan untuknya hidup lebih lama. Tak ada lagi yang bisa membuatnya tersenyum, hidupnya terlalu kacau.
Ia merasa Tuhan sangat tidak adil, memberikan masalah yang tidak pernah ada putusnya. Selalu saja besar, seperti bola yang tidak mau berubah mengecil.
Ebi menghela panjang, beranjak dari duduknya, dan beralih duduk di atas ubin lantai yang dingin. Ia menatap ke arah jendela, membiarkan wajahnya tersorot cahaya bulan yang lumayan terang.
Air matanya keluar semakin banyak, tanpa ada suara isakan yang malam itu.
Ebi kembali menghela untuk yang ke sekian kalinya. Rasanya masih tidak percaya, dan tidak puas untuk terus menangisi takdir yang tak ada ujungnya. Rasanya sudah lelah untuk terus bertahan pada kehidupan yang selalu mempermainkannya.
"Aku mau mati," ucapnya pelan.
Air matanya telah berhenti mengalir, senyuman tipis mulai muncul. Membuat wajah pucat itu terlihat lebih cantik.
Ebi kembali beranjak, berjalan menuju nakas yang tak jauh dari tempatnya duduk. Membuka salah satu laci di sana, mengambil sejumlah obat yang ia simpan sebagai cadangan.
Ia mulai duduk di tepi ranjang, membuka satu per satu bungkusan obat itu. Ada dua puluh obat berwarna putih, dengan satu gelas air putih yang menjadi temannya malam ini.
Tanpa berpikir panjang, Ebi langsung menelan semua obat itu bersama satu gelas air putihnya. Meletakkan gelas berwarna hijau itu di atas nakas, dan kembali menatap ubin lantai dengan tatapan datarnya.
Ia terus berkedip, kedua matanya terasa berat, jauh lebih berat dari yang tadi. Kepalanya pun ikut terasa pusing, dan nyeri. Ini kali pertamanya Ebi merasakan pusing di sertai nyeri, dengan adanya mata yang terasa berat.
Gadis itu menghela panjang, sebelum akhirnya terjatuh di atas lantai dengan mata yang mulai terpejam secara perlahan.
🍐
Mobil berwarna hitam itu berhenti di depan pagar berwarna hitam. Seorang wanita dengan heels warna merahnya turun dengan perlahan, di bantu oleh salah seorang pria yang juga turun dari dalam.
Mereka berdua mulai berpelukan, dan pria itu mulai mengecup kening wanitanya sedikit lama sebelum akhirnya mereka berpisah.
Wanita itu berjalan memasuki pekarangan rumahnya dengan gaya. Kedua sudut bibirnya terus tertarik ke atas, wajahnya mampak begitu ceria, dan bahagia.
Tangan kanannya mulai mendorong pintu rumahnya. Ruang tamunya terlihat gelap, tapi tiba-tiba saja berubah menjadi terang. Membuat Mirliana kaget dengan ke dua mata yang membulat.
"Pacar Mama yang baru ya?" tanya Alzam yang berdiri di dekat dinding.
Mirliana menghela pelan, menutup pintunya sebelum berjalan, dan duduk pada salah satu sofa.
"Engga, yang lama. Udah satu tahun mama ngejalin hubungan sama reman," sahut Mirliana dengan tenang.
"Terus yang kemarin?"
"Yang kemarin juga udah lama, namanya bima, udah empat bulan ngejalin hubungan sama mama."
Alzam menghela panjang, ia sudah muak dengan wanita yang tengah duduk sambil menatapnya datar.
"Ma, kita udah bicarain ini loh Ma. Tolong dong Ma, jangan buat aku makin marah, jangan buat aku makin muak sama Mama!" teriak Alzam kesal.
Cowok itu mulai emosi dengan wanita yang menjadi ibu kandungnya itu.
"Aku tuh malu Ma, malu setiap kali ada yang bilang kalau Mama lagi jalan sama cowok yang beda setiap harinya. Aku malu tahu Ma, malu waktu mereka ngeliat Mama masuk hotel sambil gandeng cowok," jelas Alzam yang kali ini berdiri di dekat sofa single.
"Ya terus kenapa sih? Mama gak malu, mama juga gak pernah mikirin apa yang mereka omongin. Jangan di bawa terlalu serius! Biarin aja mereka mau ngomong apa, toh mama gak ngelakuin sesuatu yang ngerugiin mereka," sahut Mirliana dengan begitu santai.
Alzam tertawa hambar, ia baru tahu jika mamanya sangat berbeda. Terlalu bodo amat dengan perasaan, dan mental anaknya yang semakin hari semakin tidak baik.
"Ma, kalau gak mau mikirin mereka, Mama pikirin aku aja! Aku ini anak Mama, pikirin dong Ma soal mental aku!"
"Al, mama capek, pengen istirahat. Mama males berantem terus sama kamu, mama pengen tidur."
"Mama gak pernah ngertiin perasaan aku, Mama juga emang gak pernah pengen aku ini ada kan? Kenapa gak pernah mau bunuh aku sih Ma? Kenapa Mama masih ngerawat aku sampai sebesar ini sih?"
"Mama itu sayang sama kamu, apa yang mama lakuin juga demi kebaikan kamu!"
"Tapi buktinya apa sih Ma? Mama gak pernah ada di rumah, selalu pergi, ninggalin aku sendirian. Kita juga jarang ngobrol, ngobrol pas aku negur Mama terus jadi berantem."
"Itu karena kamu yang emosian, mama tenang kok."
"Aku emosi karena aku marah sama Mama!"
"Terus mau kamu apa?"
"Kasih aku waktu buat sama Mama, sehari atau dua hari Ma. Mental aku ini udah gak baik, tolong dong Ma turutin permintaan aku!" pinta Alzam dengan raut muka melasnya.
Mirliana terdiam sejenak, ia merasa gagal menjadi Ibu. Namun, ia juga harus bekerja, susah untuk mengatur waktu padatnya untuk Alzam.
"Mama gak bisa, jadwal terlalu padat Al," ucap Mirliana setelah terdiam beberapa saat.
Alzam mendengus, dan berdecih kesal, "Giliran buat cowok-cowok itu aja ada, buat anak sendiri gak pernah ada!"
"Gak gitu Al!"
"Udah jelas kok Ma, udah jelas juga kalau Mama gak pernah mau aku ada di dunia ini."
"Al, Mama bilang gak gitu!"
Alzam menatap Mirliana sejenak dengan tatapan menusuknya, kemudian ia melenggang pergi menaiki tangga menuju kamarnya.
"Al, dengerin mama!!"
🍐