Kelas telah selesai, guru perempuan berkacamata kotak itu mulai mengemas barang-barangnya dengan rapi. Berjalan keluar setelah berpamitan kepada anak muridnya yang ikut merapikan alat tulis mereka masing-masing.
Mereka semua mulai beranjak dari bangku masing-masing, berjalan keluar untuk mengisi perut yang mulai kosong.
"Zam, mau kemana?" tanya salah satu cowok yang memakai kemeja tidak rapi itu. Ia ikut berjalan di samping Alzam sambil merangkul bahu cowok itu.
"Kelas IPS, kenapa?" sahut Alzam datar.
"Ngapain? Kantin aja sama gue, ada stella juga di sana, yuk!"
"Lebih penting kelas IPS ketimbang stella Wil."
Wildan mendengus samar, menatap temannya itu sekilas, dan kembali menatap lurus ke depan.
"Cewek baru ya? Secakep apa?" tanyanya penasaran.
"Cakep banget, stella kalah."
"Oh ya? Gue baru tahu kalau ada yang lebih cantik dari stella," ucap Wildan dengan kening bertaut dalam.
"Udahlah, gue duluan!" Alzam melepas rangkulan Wildan, dan berlari menaiki anak tangga dengan cepat.
Sementara Wildan masih terpaku di tempatnya, memikirkan apa yang di ucapkan temannya itu. Soal siapa yang di maksud Alzam, dan secantik apa gadis yang menurutnya sangat misterius.
Wildan menggelengkan kepalanya, kemudian melenggang pergi menuju kantin yang tak jauh dari tempatnya berdiri.
****
Cowok itu berjalan dengan lamban sambil menyanyikan sebuah lagu dengan begitu lirih. Senyumnya terus mengembang sepanjang perjalanan, membuat orang yang menatapnya ikut tersenyum.
Beberapa dari mereka hanya menatap Alzam dengan kening bertaut, dan yang lainnya hanya terdiam sambil melanjutkan aktivitas yang sempat di tunda.
Langkahnya di ubah menjadi sedikit lebih cepat, membuka salah satu pintu kelas IPS itu dengan perlahan.
"Nerta ada?" tanyanya.
Para gadis yang berada di dalam ruangan itu saling bertatap tanpa percakapan. Mereka kembali menatap Alzam dengan raut muka bingung.
"Elena, ada?" tanya Alzam lagi.
"Pergi, gak tahu kemana," sahut salah satu gadis yang sibuk dengan tatanan rambutnya di ujung sana.
Alzam terdiam, kemudian menutup pintu kelas sebelum mengucapkan terima kasih.
Cowok itu kembali berjalan, menaiki anak tangga dengan cepat menuju rooftop. Namun, lagi-lagi gadis itu tidak ada. Alzam menghela panjang, ia tidak tahu kemana Ebi pergi.
Ia juga bingung dengan Ebi yang tiba-tiba berubah menjadi lebih dingin. Gadis itu juga tidak datang tadi pagi di rooftop, padahal Ebi sendiri yang memintanya untuk datang setiap pagi.
"Ta, kamu di mana?" gumamnya.
****
Gadis itu menghela panjang setelah duduk di salah satu gazebo yang berada di tepi kolam renang. Raut mukanya terlihat sangat lelah, leher beserta wajahnya di penuhi dengan keringat.
Untungnya seragam yang di kenakan tidak basah akibat keringat yang keluar.
Ebi mulai merebahkan tubuhnya, menatap awan yang terlihat sangat indah hari ini. Senyumnya mulai mengembang, menyingkirkan wajah pucat yang selalu muncul.
Tiba-tiba saja ingatannya tentang kejadian semalam kembali muncul. Raut mukanya berubah menjadi muram, Tuhan tidak memberikan izin untuk tindakannya semalam.
Ia tidak tahu kenapa Tuhan tidak memberikan izin, alasan apa yang harus membuatnya hidup hingga saat ini. Ebi akan menunggu, menunggu hingga waktu untuk kepergiannya menuju alam baka tiba.
Namun, jika di pikir lagi, Tuhan sangat mencintainya. Kegilaan yang di lakukannya semalam tidak membunuhnya. Ia masih di berikan kesempatan untuk hidup lebih lama, tidak seperti orang lain yang langsung meninggal di tempat ketika memilih untuk bunuh diri.
"Ta?"
Suara itu membuatnya terbangun, menoleh ke arah pintu keluar. Memperhatikan cowok tinggi yang sedang berlari ke arahnya.
"Ta, kamu kemana aja sih? Aku tuh nyariin kamu daritadi. Mulai dari kelas, rooftop, kantin, perpustakaan, dan sekarang di sini," ucap Alzam dengan napas yang tersengal, "Untungnya kamu ada di sini, jadi aku bisa istirahat sebentar."
Ebi hanya menatap Alzam sebentar, membiarkan cowok itu duduk di sebelahnya tanpa sepatah kata yang keluar dari bibirnya.
"Ta, kamu di sini olahraga lari apa gimana? Kenapa banyak keringat?" tanya Alzam sambil memperhatikan wajah Ebi.
"Jangan di liat terus Al!"
"Kenapa?"
"Gapapa."
"Ta, kamu kenapa jadi dingin ke aku? Aku ada salah apa sama kamu?" Kening Alzam bertaut dalam, ia baru menyadari sesuatu, "Ta, itu bibir kamu kenapa, terus pipi kamu juga kenapa?"
Ebi menghela jengah, ia mulai beranjak dari duduknya. Menatap Alzam dengan tatapan dingin, dan tajam.
"Ini terakhir kalinya aku ngomong sama kamu, terakhir kalinya kita jadi teman. Aku mau kita jadi orang asing Al, senang bisa jadi temanmu."
"Engga, aku gak mau," sahut Alzam sambil mencekal salah satu pergelangan gadis itu, "Aku gak mau jauh dari kamu. Kasih tahu siapa yang udah bikin kamu kaya gini!"
"Emang kenapa? Apa yang bakal kamu lakuin?"
"Apa pun itu, aku gak mau ada orang yang nyakitin kamu. Aku gak mau Ta, kamu harus kasih tahu sekarang!" paksa Alzam sebelum beranjak.
Ebi menatap manik mata itu lamat-lamat, melepas cekalan Alzam dengan perlahan, dan melenggang pergi tanpa menjawab pertanyaan Alzam.
"Ta, Nerta?!"
****
Gadis itu berjalan menuju salah satu bangku kosong dengan nampan berisi makanan. Ia mulai duduk, menatap semangkok mie ayamnya dengan air mineral di sebelah sana. Tatapannya terlihat kosong, sebenarnya ia tidak selera untuk makan, tapi perutnya belum terisi sejak kemarin sore.
"Hai! Nerta."
Suara itu membuat Ebi menghela napas pendek. Dua gadis duduk bersebelahan dengan Ebi, dan salah satunya tengah duduk berseberangan. Mereka bertiga menatap gadis lugu itu dengan tatapan sinis.
"Mau makan ya?" tanya Stella dengan senyum sinisnya.
"Maulah Stell, ya kali gak laper si Nerta," sahut Amel sambil membelai rambut panjang milik Ebi.
Ebi hanya terdiam, menatap mangkuk mie ayamnya dengan tatapan bingung. Ia ingin melarikan diri, tapi apa daya? Tak ada keberanian dalam dirinya untuk melawan Stella dengan kedua antek-anteknya itu.
"Gue denger nama panggilan lo itu Ebi, kenapa bisa jadi Nerta? Cerita dong!" ucap Amel, menopang dagunya sambil memperhatikan Ebi dari samping.
Gadis itu tak bergeming, ia masih betah untuk terus membisu.
"Kok gak di jawab sih? Kenapa?" tanya Abel.
"Bisu Bel, bisanya mah nangis," timpal Amel.
"Gak bisu, cuman lagi gak berani aja buat ngomong. Takut kena pukul lagi kaya kemarin, ya gak Ta?" imbuh Stella dengan tawa renyahnya.
Ketiga gadis itu tertawa dengan begitu keras, membuat pengunjung kantin menoleh untuk beberapa saat, dan kembali melanjutkan aktivitas mereka.
"Ta, tadi ada yang bilang ke gue kalau lo abis ketemuan sama alzam. Bener gak Ta?" tanya Stella.
Ebi menatap manik mata itu sekilas, dan kembali menunduk, "Iya."
"Wow! Gue gak nyangka lo berani."
"Gak nyangka banget gue malahan, nyali lo gede ih!" sahut Abel tak percaya.
"Tapi aku udah buat jarak kok, alzam yang nyariin aku tadinya," jelas Ebi sambil menatap lawan bicaranya.
"Hah? Alzam? Ya kali alzam yang nyariin, elunya aja kali yang kegatelan," ucap Amel ketus.
"Iya, gatel mah bilang aja gatel!" timpal Abel.
"Gue gak main-main ya Ta soal anceman gue waktu itu, masih inget kan?" tanya Stella sebelum beranjak.
Ebi mengangguk pelan.
"Paham gak? Jangan cuman ngangguk doang bisanya!" teriak Amel sambil menoyor Ebi berkali-kali.
"Iya," ucap Ebi pelan.
"Yang kenceng ngomongnya! Gak kedengeran tahu! Lo bisa teriak gak sih? Kesel gue lama-lama," sahut Abel.
"Iya, aku gak akan deket lagi sama alzam," ucap Ebi dengan suara yang lebih lantang.
Kening Stella bertaut dalam, detik berikutnya ia tertawa dengan sedikit keras bersama kedua temannya itu. Tatapan mereka berubah menjadi marah, dan kesal.
"Lo berani teriakin gue?!" ujar Stella dengan ketus.
"Engga La, aku gak bermaksud kaya gitu."
"Alah! Bohong tuh, udah sikat aja!" ucap Abel mengompori.
"Kasih pelajaran, biar tahu siapa kita bertiga!" imbuh Amel.
****