Stella menatap Ebi dengan sinis, salah satu tangannya mulai memukul kepala gadis itu dengan keras. Menimbulkan suara yang menurut Ebi sangat menyakitkan, suara yang mungkin tak akan ia lupakan.
"Jangan berani buat deketin alzam lagi, jangan berani buat neriakin gue lagi!" ucap Stella pelan.
Ebi mengangguk sebagai jawabannya.
"Lo belum makan kan Ta? Sini, gue suapin!" Abel mengambil alih mangkuk mie ayam itu, tapi Ebi mencoba untuk menahannya.
Membuat pertikaian kecil antara keduanya untuk merebut mangkuk itu. Namun, mangkuk itu tetap berakhir pada tangan Abel.
Gadis itu tersenyum senang, ia mulai memasukkan delapan sendok sambal ke dalam mie ayam itu. Mencampurnya dengan rata, dan mulai mencoba untuk menyuapi Ebi.
"Ayo, Ta buka mulut!" titah Abel.
Ebi masih terdiam, tapi lagi-lagi karena paksaan dari Stella membuatnya harus membuka mulut. Memakan mie pedas itu secara perlahan.
Wajahnya telah berubah menjadi merah padam, di tambah dengan bibirnya yang ikut memerah karena rasa pedas. Ebi tak tahan, rasanya ingin meminum segelas air mineral miliknya, tapi tidak berani.
"Ayo, Ta buka mulut lagi! Ini mie ayamnya masih banyak," titah Abel dengan memaksa.
Ebi kembali membuka mulutnya lebar-lebar sambil menutup kedua netranya dengan sangat rapat. Rasa pedas dengan sensasi terbakar kembali menyapanya.
"Enak kan Ta? Gue yakin lo suka banget sama racikan bumbu yang gue buat," ucap Abel bangga.
"Pedes Bel, gak suka," sahut Ebi pelan.
"Loh! Emang pedes Ta, biar lo makin kuat!" Abel kembali memasukkan mie dengan bumbu yang lebih banyak ke dalam mulut Ebi dengan paksa.
"Enak banget gak tuh dapet suapan dari Abel," ucap Amel dengan senyum sinisnya.
"Enak dong, ya kali engga. Gue kan cantik, pasti banyak yang dambain gue."
"Ahaha! Terserah lo aja deh Bel," sahut Stella di sela gelak tawanya.
"Kenapa Ta? Mau minum gara-gara pedes ya Ta?" tanya Amel khawatir.
Ebi mengangguk sambil terbatuk, dadanya terasa sakit sekarang.
"Gue bantu Ta." Amel meraih segelas air mineral itu, tapi dengan sengaja ia menumpahkannya pada kepala Ebi.
Stella, dan Abel segera menghindar. Mereka bertiga tertawa melihat Ebi yang mulai basah, dan menahan rasa pedas. Gadis itu tersiksa.
"Ups! Ta, maaf banget kepeleset Ta. Tangan gue gak mampu buat ngasih, mampunya nuangin ke kepala," ucap Amel dengan raut muka yang di buat seolah-olah dirinya menyesal.
"Amel, lo jahat banget," sahut Abel.
"Iya Mel, lo jahat banget," imbuh Stella.
"Iya, tapi gimana dong? Udah terlanjur, tapi gue suka."
"Suka banget," sahut Abel dengan tawa renyahnya.
Ebi mencoba untuk tenang, tapi tidak bisa. Dadanya terasa sakit, tenggorokannya pun ikut tersiksa akibat air yang telah di buang secara sia-sia. Bibirnya ikut panas, ia tidak tahan, tapi tidak berani juga untuk memberontak.
"Sakit ya Ta? Udah Ta sana pergi, mumpung gue baik," ucap Stella.
Ebi menatap Stella sejenak, kemudian berlari.
****
Gadis itu berlari sambil menepuk dadanya berkali-kali. Kakinya berlari dengan lebih cepat, masuk ke dalam toilet dengan terburu-buru. Membuat beberapa gadis yang baru saja keluar menatapnya dengan kening bertaut.
Ebi segera berlutut, mencoba untuk memuntahkan mie ayamnya dengan susah payah. Namun, mie itu tak kunjung keluar, membuatnya terbatuk, dan menjadi lemas.
Gadis itu terdiam, kembali beranjak menuju wastafel. Air yang keluar di gunakan untuk membersihkan mulutnya yang terasa terbakar.
Gadis-gadis itu sangat keterlaluan, tapi ia juga tidak memiliki keberanian untuk melawan. Andai saja Ebi berani, pasti mereka tidak akan berani mengulangi perbuatan yang tidak terpuji itu.
Genangan air matanya mulai terkumpul, mengalir dengan pelan membasahi pipi mulusnya itu. Ebi menatap dirinya di depan cermin, terlihat jelek, dan menjijikan. Ia tak tahan, tidak bisa untuk menahan isakannya yang mulai terdengar lebih jelas.
****
Gadis itu berjalan menuju loker dengan tatapan kosong, orang-orang yang berada di sekitarnya terus menatap Ebi dengan kening bertaut dalam. Mereka menatap bingung sekaligus heran, karena tak biasanya gadis itu berjalan dengan gontai seperti itu.
Ebi membuka pintu lokernya. Bibirnya terbuka sedikit, bau menyengat langsung menyapanya dengan ruangan yang berantakan.
Banyak sampah yang di masukkan ke dalam sana, seragam barunya pun penuh dengan kecap beserta pecahan telur. Tak ada yang bagus, ini sangat menyakitkan baginya. Apa lagi tulisan bodoh yang terpampang pada pintu lokernya bagian dalam. Tulisan yang di tulis dengan spidol berwarna merah itu tak layak untuk di baca, sangat kotor dan menjijikan.
Ebi menghela panjang, air matanya kembali menetes. Isakannya kembali terdengar, ia sudah muak dengan semua perundungan ini. Ebi ingin ini semua berakhir dengan dirinya yang bangun dari tempat tidur. Hanya mimpi buruk yang di inginkan, bukan kehidupan buruk yang harus di alaminya di lingkup sekolah.
Tak ada yang mendengarkan, itu sudah di pastikan. Tuhan pun begitu, doanya untuk mati saja tidak di kabulkan, apa lagi hidup dengan tenang bersama semua mimpi yang ia miliki.
"Wah! Lo abis ngapain sampai kena rundung kaya gini?" tanya cowok berkacamata bulat yang berdiri di dekat Ebi.
Gadis itu menoleh, dan menggelengkan kepalanya dengan cepat.
"Oke, gue harap lo gak kabur dari masalah yang lo hadapi ya!" ucapnya sebelum melenggang pergi meninggalkan Ebi.
Ebi terdiam sambil memperhatikan punggung itu hingga menghilang. Helaan napas kembali di keluarkan dengan begitu panjang, ia tidak tahu lagi harus melakukan apa. Seragamnya basah, rambutnya basah, dan seragam barunya yang akan di kenakan sebagai pengganti pun ikut kotor kali ini.
Namun, kalimat yang di lontarkan cowok tadi mampu membuatnya sedikit lebih lega. Setidaknya ada orang yang mau memberikan wejangan lebih layak daripada kematian.
****
Alzam berlarian ke sana ke mari mencari Ebi yang meninggalkannya dengan begitu saja. Ia tidak tahu harus mencari kemana, tapi kedua kaki itu mengajaknya pergi menuju kantin.
Pusat perhatiannya tertuju pada tiga gadis yang sedang duduk di salah satu meja ujung sambil tertawa terbahak-bahak. Alzam segera menghampiri mereka, memberikan tatapan menusuk yang di jawab dengan senyuman oleh Stella.
"Hai! Sayang, kangen sama aku ya?" tanya Stella dengan nada genit.
"Gak usah panggil gue sayang Stell, lo gak cocok buat nyebut panggilan itu," sahut Alzam ketus.
"Ya ampun! Alzam, pagi-pagi udah marah-marah aja sama Stella. Lo kenapa sih? Kurang makan apa salah makan?" tanya Abel bingung.
"Kayanya dia salah makan deh Bel, makanya mood pagi ini kacau," balas Amel.
"Zam, mau tahu sesuatu gak?"
Pertanyaan Abel itu membuatnya menoleh, "Apa? Penting gak?"
"Gak penting sih, tapi ini menarik, dan lo pasti bakalan suka."
****