Chereads / The Last Memories / Chapter 3 - SALAH

Chapter 3 - SALAH

"Ini surat peringatan beasiswa saya, dan saya rasa nilai-nilai saya selalu bagus di semester ini," jelas Ebi.

"Kamu yakin?"

"Sangat yakin Pak."

Pak Sam tersenyum kecil, memberikan buku rekap nilai yang ada di atas mejanya pada Ebi. Gadis itu segera memeriksanya, sesekali dahinya bertaut, dan kembali seperti semula.

Namun, ketika dirinya membuka halaman terakhirnya. Kerutan dahinya semakin dalam, kedua netranya ikut terbelalak. Ia tidak percaya dengan semua nilai yang tertulis di atas kertas putih itu.

Ebi selalu belajar, selalu mengerjakan tugas, dan selalu ikut ujian harian yang di adakan. Namun, semua nilainya tidak ada yang pas KKM atau di atas. Semuanya di bawah, dan kebanyakan terdapat angka enam.

"Pak, kenapa nilai saya jelek semua?" tanya Ebi tak percaya.

"Saya tidak tahu, coba kamu intropeksi diri! Saya yakin akan ada jawaban yang sesuai, kamu pasti melakukan kesalahan," sahut Pak Sam.

"Tapi saya yakin Pak, saya gak pernah telat untuk mengerjakan tugas. Saya selalu tepat waktu, dan selalu bisa mengerjakan semua tugas dengan benar."

"Bisa saja waktu ujian kamu banyak yang salah, jangan tanya saya. Tanya dengan semua guru yang memegang mata pelajaran itu, tanya kenapa nilai kamu enam!" titah Pak Sam agak kesal.

Ebi menghela, meletakkan buku besar itu di atas meja Pak Sam kembali.

"Ini masih saya pegang Na, kamu masih bisa belajar lebih giat supaya nilai kamu naik lagi. Ini peringatan awal, kamu masih punya dua peringatan lagi sampai beasiswa kamu benar-benar di cabut," ucap Pak Sam.

Ebi hanya mengangguk tanpa membantah apa yang di katakan Pak Sam. Ia rasa, ada kesalahan dalam cara belajarnya, atau mungkin karena terlalu banyak pekerjaan rumah yang harus ia selesaikan.

"Surat edarannya kasih ke walimu ya Na, nanti biar walimu gak kaget kalau tiba-tiba kamu harus bayar uang sekolahnya."

"Pak ini baru peringatan awal, kenapa saya ngerasa ini seperti peringatan terakhir? Seakan-akan saya memang tidak boleh memiliki beasiswa," sahut Ebi tak percaya.

"Hanya perintah Na, sistemnya memang seperti ini."

"Tapi waktu saya masih duduk di kelas sebelas tidak seperti ini Pak."

"Sistemnya berubah Na kalau di kelas tiga, kamu harus terima sistem barunya. Jangan ngebantah terus, lebih baik kamu pake waktu longgar ini buat belajar!" titah Pak Sam kesal.

Ebi mengangguk sebelum menghela samar.

"Oke, kamu bisa keluar sekarang!"

"Baik Pak, terima kasih," ucap Ebi sebelum melenggang pergi.

****

Ebi kembali ke dalam kelas, duduk di atas kursi yang paling nyaman baginya.

Kali ini ia kembali merasa gundah sekaligus takut. Ia takut ketika Bu Jihan tidak mau menjadi walinya lagi seperti dulu, dan Bu Jihan mengusirnya dari rumah karena biaya sekolah miliknya tidaklah murah.

Sekolah elite yang di masuki orang miskin seperti dirinya tidaklah murah, dan mudah.

"Elena?" panggil Pak Dikta sebelum beranjak dari duduknya, "Elena Brigta?" panggilnya lagi dengan suara yang lebih keras.

Gadis itu masih terus melamun, menatap langit melalui jendela dengan tatapan kosongnya.

"Elena?" panggil Pak Dikta lebih keras.

"Woy! El di panggil!" teriak cowok berkacamata yang duduk di belakang Ebi.

Ebi segera menoleh, wajah menyesal ia berikan kepada Pak Dikta karena melamun sejak tadi.

"Maaf Pak Dikta saya tadi melamun, saya minta maaf," ucap Ebi pelan.

Pria paruh baya itu menghela samar, berjalan menuju bangku Ebi dengan perlahan.

"Kamu kenapa ngelamun? Saya daritadi berdiri buat jelasin kalkulus, kamu pikir saya gak capek?" ujar Pak Dikta kesal.

Ebi menundukkan kepalanya menyesal, jujur dirinya tidak ingin Pak Dikta marah. Ia tidak berpikir sejauh itu, dan tidak ada niatan membuat harinya tidak menyenangkan.

"Maaf Pak, saya menyesal."

"Harus, memang kamu harus menyesal!" ucap pria paruh baya itu dengan tatapan sinisnya, "Saya kalau gak peduli sama kamu Na, gak akan saya tegur hari ini. Itu ngebuat kamu ngerasa malu karena saya tegur di depan banyak teman kelas."

"Saya tahu Pak, saya minta maaf. Saya tidak akan melakukan hal yang sama untuk hari berikutnya."

"Bukan hari berikutnya saja, tapi seterusnya!"

"Iya Pak, saya mengerti."

Pak Dikta menghela panjang, perasaannya masih terasa jengkel pada muridnya yang satu ini.

"Nilai matematika kamu selalu turun, belajar lebih rajin lagi! Jangan melamun, pahami apa yang saya jelaskan!" titah Pak Dikta sebelum melenggang pergi.

Secara perlahan Ebi mendongak, menatap punggung pria paruh baya itu dengan tatapan datarnya.

****

is itu berjalan dengan perlahan menuju kamar utama itu. Tangan kanannya mulai terangkat, mencoba untuk mengetuk beberapa kali. Namun, tak ada jawaban dari dalam, bahkan knop pintunya tidak berputar sedikit pun.

Ebi menghela, ia mencoba kembali, dan tidak ada jawaban dari dalam sana. Ia mulai melangkah pergi, menuju ruang dapur yang lumayan jauh dari kamar utama.

Netranya masih menatap nanar pada surat yang di genggamnya sejak tadi. Ebi sangat takut, jantungnya terus berdegub sangat kencang.

Langkahnya terhenti di depan pintu dapur, Ebi tak melihat siapa pun di dalam sana. Bibinya, Bu Jihan masih tidak terlihat, dan anaknya pun ikut tidak terlihat.

Jarum jam telah menunjukkan pukul enam pagi, Ebi kembali menghela. Pergi menuju kamar untuk mengambil ranselnya, dan pergi menuju sekolah.

Gadis itu berjalan dengan perlahan menyusuri gang kumuh rumahnya sendirian. Terlalu pagi untuk pergi, tapi terlalu jauh pula jika pergi pada pukul enam tiga puluh.

"Ebi!"

Suara itu membuat Ebi menoleh, memberikan senyuman tipisnya, dan kembali menatap lurus ke depan.

Cowok itu ikut berjalan di samping Ebi, mencoba untuk menyamakan langkah Ebi yang terbilang sedikit cepat.

"Pagi banget Bi, mau ke sekolah beneran kan?" tanya cowok itu.

"Iya ke sekolah, ada yang mau aku kerjain Bar. Kamu sendiri gak sekolah? Kok pake pakaian bebas gini," sahut Ebi bingung.

"Sekolah kok, buktinya bawa tas nih!" Abar memperlihatkan tas punggungnya pada Ebi sekilas, "Emang di suruh baju ini Bi, gak ada kelas hari ini. Jadi bebas."

"Kamu gak berangkat sama nera? Tumben banget."

"Nera kelas siang, aku kelas pagi. Jadi nanti pas aku pulang, nera baru berangkat," jelas Abar tanpa menatap lawan bicaranya, "Kadang aku juga sendirian perginya, gak selalu sama nera."

"Aku pikir kamu selalu sama nera," sahut Ebi, "Oh iya! Motor kamu kemana? Kenapa gak di pake?"

"Ada, tapi macet. Aku males bawa ke bengkel, apa lagi macetnya baru hari ini. Kemarin bisa, tapi emang suka macet sih."

"Gak di benerin Bar?"

"Gak ah! Sayang uangnya, nanti kalau uangku abis di motor, tapi motornya masih rusak gimana? Kan rugi."

"Terus enaknya gimana Bar?" tanya Ebi yang masih mencoba sabar dengan teman cowoknya yang satu ini.

"Di tabung dong Bi, buat beli motor baru. Aku juga udah bosen sama motor yang ini soalnya, udah butut. Aku mau motor yang bagus, yang kaya punya teman-temanku di sekolah," jelas Abar panjang.

Ebi hanya menganggukkan kepalanya sebagai tanda mengerti.

"Kamu ke sekolah jalan kaki apa naik bus Bi?" tanya Abar sebelum langkahnya berhenti di dekat halte bus.

Ebi ikut berhenti, duduk pada kursi halte yang lumayan bersih sambil menatap wajah Abar datar.

"Kenapa Bi? Kenapa liat aku kaya gitu?"

"Gapapa, cuman liat aja. Gak boleh ya Bar?" tanya Ebi.

"Gapapa kok sebenernya, cuman... cuman tuh gak enak aja rasanya. Kamu natapnya kaya apa ya Bi? Dingin gitu ih pokoknya. Susah juga aku jelasinnya gimana, pokoknya gitu."

Ebi tertawa kecil sambil menggelengkan kepalanya, "Aku emang suka gini kok Bar, jangan kaget! Kamu lucu kalau lagi kaget ya ternyata."

"Eh! Masa iya sih Bi? Aduh! Jadi malu," sahut Abar yang mulai salah tingkah.

Cowok itu tersipu malu, menggaruk tengkuknya yang mulai terasa agak gatal sambil memainkan kakinya.

"Bi busnya udah deket, jangan duduk terus!" titah Abar yang masih salah tingkah.

"Oke!"

****