Chereads / Ain't About Us / Chapter 1 - Angin Musim Panas

Ain't About Us

JieRamaDhan
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 53.6k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Angin Musim Panas

Cinta, sebuah kata yang sangat luas artinya. Tentang perasaan orangtua pada anaknya, atau sebaliknya. Tentang perasaan manusia pada seekor kucing berbulu halus dengan mata bulat penuh binar, dengan teman dan saudara, keterikatan yang sangat jelas dan erat bagai jalinan benang.

Atau antara pria dan wanita yang tak mampu bersama karena kisah cinta ditengah-tengah medan perang. Perang dingin yang sudah lama dilakukan oleh kedua keluarga mereka. Pertentangan yang secara turun-temurun menjadi sejarah keluarga mereka sampai sekarang.

"JUULIEEET! Kenapa kau meninggalkanku ?!" teriak pemuda berambut pirang tepat diambang pintu ketika mengetahui kematian sang kekasih karena dipaksa menikah dengan orang lain. Romeo, nama pemuda itu menangis sesenggukan sembari menciumi tanah. Ia memohon, megadu pada Tuhan untuk mencabut namanya saja.

Tapi siapa dia? hanya seonggok manusia yang kehilangan cinta. Bukan makhluk berharga.

Dengan begitu, Romeo berpikir untuk menyusul kepergian sang kekasih dengan menembakan pistol -yang memang ia bawa- mengarah ke mulutnya. Tepat di sebelah peti Juliet. Gadis yang sangat ia cinta.

'DOORR!!'

Suara memekakkan telinga terdengar setelah letusan pistol berhasil melubangi tengkorak Romeo. Darah menyembur dan membasahi lantai altar, beberapa terciprat ke peti mati dan tubuh Juliet.

Namun tak lama kemudian (mungkin juga karena letusan senjata api), gadis di dalam peti —yang harusnya telah mati— kembali bangkit. Ternyata yang sebelumnya ia minum tak lain hanyalah obat tidur dengan dosis lumayan tinggi. Hingga melemahkan detak jantungnya. Untuk menghindari pernikahan paksa dengan lelaki yang tak ia cintai.

"RO— ROMEOOO!"

Isakan menyayat hati terdengar ketika Juliet mendapati belahan jiwanya telah meninggal tepat di sampingnya. Juliet begitu terpukul, kematian Romeo adalah akibat dari kebodohannya. Dan tentu saja karena keegoisan masing-masing pihak keluarga mereka. Maka, Juliet pikir, jika ia dan Romeo tak bisa bersama di kehidupan saat ini, setidaknya mereka bisa bersama di alam baka.

Kekal, membawa serta cinta mereka yang tak pernah padam.

###

"Akhh apa ini~ aku tak suka akhir yang tragis seperti ini," gerutu seorang pemuda yang terbaring berbantal paha seorang gadis berambut hitam panjang. Beberapa helaian rambut panjang itu melambai-lambai diterbangkan oleh semilir angin.

Rumput-rumput liar tak luput menari-nari berkat hembusan angin sepoi-sepoi. Hembusan angin membawa aroma musim panas yang hangat. Beberapa serangga seperti kumbang terlihat berterbangan lalu hinggap di dedaunan tanaman liar. Padang rumput yang cukup luas ini sangat cocok untuk menikmati pemandangan langit cerah berwarna biru, bersih tanpa ada setitik pun awan menghiasi. Tak ada tanda-tanda turun hujan sama sekali.

"Kalau begitu jangan lihat akhir dari cerita ini, lihatlah bagaimana cinta mereka begitu tulus sampai akhir hayat," jawab si gadis tersenyum lembut sembari mengelus rambut coklat pendek pemuda di bawahnya.

Sang pemuda merengut tidak setuju. "Apa gunanya itu jika mereka tetap tak bisa bersama, menyebalkan!"

"Apa yang membuatmu se-benci itu dengan cerita Romeo dan Juliet ini hm?" tanya si gadis, tak sekalipun menghentikan elusannya.

"Mereka bodoh!" si pemuda tampak emosi. "Bagaimana bisa ada sepasang kekasih yang sama-sama bodoh, tindakan mereka gegabah! Astaga! Andai aku ada di sana, akan ku bantu mereka untuk kabur tanpa mempedulikan keluarga mereka!" Dari jawaban itu, dapat ditebak jika usia si pemuda teramat lebih muda dari gadis berambut panjang di dekatnya.

"Begitu yah?" si gadis mengangguk kecil. "Kalau mereka adalah kita, apa yang akan kau lakukan?"

Si pemuda mengernyitkan dahi sembari menggigit bibir bawahnya. "Aku akan membawa Kak Rachelle ke tempat yang sangat jauh, dimana hanya kita berdua saja, membangun pondok sederhana, lalu aku akan pergi berburu sedangkan Kakak tinggal di rumah saja~" jawab pemuda itu menggebu-gebu.

Rachelle -gadis berambut panjang- terkekeh kecil, nyaris tanpa suara. "Memangnya kau bisa berburu, Theo?"

Mendengar pertanyaan itu, Theo lantas bangkit dari posisi berbaring, memandang ke arah Rachelle dengan raut wajah berapi-api. Sepertinya dia tampak tak terima dengan pertanyaan yang seolah meremehkannya itu. "Tentu saja bisa! Aku bisa menangkap ikan, memanah rusa dan burung, aku bisa melakukan apa saja untuk Kak Rachelle!"

"Bagaimana kalau ada beruang? Kau tidak takut?" tanya Rachelle, tersenyum jahil.

Wajah Theo yang tadi sangat bersemangat langsung berubah 180 derajat, sekarang malah tampak seperti bunga layu. "A-aku bisa berlatih dulu hingga kuat agar bisa melawan beruang!" Theo menepuk dadanya dengan bangga. Kali ini dia tak membiarkan dirinya diremehkan lagi.

"Baiklah.. baiklah.." Rachelle menepuk-nepuk pucuk kepala Theo dengan sayang sambil tersenyum hingga kedua matanya membentuk bulan sabit.

Theo terkesiap, pipinya langsung memerah padam ketika melihat wajah gadis di depannya yang luar biasa cantik hingga membuat dadanya berdebar tak karuan. Tangannya terulur, menangkup pipi kiri Rachelle, membuat si gadis ikut terkejut.

"Kak, bolehkah aku.." Entah apa itu bisa disebut pertanyaan meminta ijin atau bukan, karena sebelum Rachelle menjawab, wajah Theo sudah lebih dulu mendekat.

Perlahan menghapus jarak di antara mereka. Rachelle sudah menutup mata saat hidung mereka saling bersentuhan. Theo merasa ia telah sepenuhnya mendapatkan ijin untuk menyentuh bibir ranum berwarna merah muda dengan bibirnya. Nafas Rachelle beraroma strawberry manis, berkat hasil memakan buah strawberry merah ranum yang masih tersisa beberapa di dalam keranjang anyaman di sebelah mereka.

Mengawali dengan kecupan lembut, saling menempel lama, menikmati kehangatan satu sama lain. Lalu perlahan Theo mulai menggerakan bibirnya, memagut bibir Rachelle. Pelan namun pasti. Hisapan demi hisapan saling mereka berikan. Kecupan manis kini berubah menjadi ciuman basah dengan mengikut sertakan lidah. Benda kenyal tak bertulang itu saling membelai, tak ada kata yang bisa menjelaskan bagaimana mereka begitu mencinta satu sama lainnya. Ciuman dalam mengisyaratkan perasaan dari cinta murni antar keduanya.

Hati Theo berteriak, betapa dia sangat mencintai kekasihnya ini. Meski usia mereka terpaut lumayan jauh, sekitar enam tahun tak akan membuat perasaannya pudar. Beribu kalimat tak dapat terucap hanya dengan kata-kata saja, beribu doa tak akan cukup dipanjatkan, beribu pujian tak mampu menggambarkan bagaimana rasa syukur atas pertemuannya dengan gadis berambut hitam panjang ini.

Theo berjanji pada dirinya sendiri, sekuat tenaga tak akan membiarkan hubungan mereka memiliki akhir tragis seperti dalam cerita yang baru saja dibacakan oleh Rachelle.

Dia tak ingin menjadi orang bodoh yang tak bisa melindungi kekasih hatinya. Bagaimanapun caranya akan dia lakukan demi membuat Rachelle tetap berada di sisinya. Sampai kapanpun, dalam keadaan apapun, ia tak rela dan tak akan pernah terpikirkan untuk melepaskan Rachelle. Tanpa terkecuali oleh maut. Dia akan membawa serta perasaannya dalam kematian, tak ingin berpisah dengan Rachelle meski dunia mereka berbeda.

Namun tak ada yang bisa menentukan takdir mereka sendiri bukan?

Theo mungkin tak akan terlalu gegabah dengan keputusannya sekarang. Kisah cinta mereka mungkin tak akan sama dengan tokoh fiksi Romeo dan Juliet, tapi siapa sangka jika bukan hanya pertentangan yang bisa memisahkan sepasang kekasih, namun juga sebuah hutang budi.

'Romeo dan Juliet dipisahkan oleh pertentangan keluarga. Sedangkan kita tak bisa bersama karena hutang budi yang mengikat.' —Theodore J. Anderson.