Chereads / Sang Amurwa Bhumi / Chapter 3 - 3. Aku Bukan Pebinor

Chapter 3 - 3. Aku Bukan Pebinor

Padmasari yang sudah terbiasa melihat sikap kasar suaminya hanya dapat terisak mendengar bentakan Kusuma dan menyaksikan kepingan benda mahal yang selalu ingin ia miliki. Selama ini, Kusuma selalu memakai barang mewah namun ia tak pernah memberikan hak yang sama pada istrinya.

"Apakah aku selama ini selalu menyakitimu sehingga kau masih berani mengatakan kalau aku yang membunuh kekasihmu? Ingat Padmasari, di sini kau hanyalah wanita yang menikmati segala hasil jerih payahku tanpa mau berusaha seperti aku bekerja selama ini."

"Kau yang melarangku."

Plak

Sebuah tamparan mendarat di wajah mulus Padmasari membuat ia menjerit dan memegang bekas tamparan sambil berlari meninggalkan Kusuma di tempatnya. Bukan kamarnya yang ia tuju tapi kamar Andika yang berada di sebelah kamar utama. Semua pelayan yang menyaksikan kekejaman Tuan Kusuma hanya bisa diam sambil memendam rasa kasihan pada istri majikan tanpa bisa berbuat apa-apa.

"Mommy."

Andika yang berada dalam pelukan Minah menjerit memanggil Padmasari. Ia mencoba melepaskan diri dari Minah, namun Minah melarang. Ia pandang Andika sesaat.

"Kita ke Uncle Amurwa yuk. Siapa tahu sekarang giliran Uncle melatih Jeremy dan Cintya di lapangan. Nanti Tuan Muda bisa ikut naik sama Unlce"

"Aku maunya sama Mommy."

Minah menutup bibirnya dengan telunjuk membuat Andika paham mengapa dia berbuat seperti itu.

"Jangan mendekat ke Mommy karena Papi sedang marah. Nanti Tuan Muda juga bisa dimarahi sama Papi."

Andika mengangguk. sebenarnya ia ingin menyelamatkan ibunya dari amukan ayahnya namun ia membenarkan ucapan Minah. Beberapa kali ia pernah mencoba mendekati ibunya ketika sedang dimarahi ayahnya, namun ia selalu mendapatkan siksaan yang sama dengan apa yang diterima oleh ibunya.

"Kita ke Uncle sekarang."

"Aku maunya Uncle Murwa jadi Papi Andika."

"Iya, nanti Tuan Muda bisa memanggil Uncle dengan Papi. Tapi jangan sekarang ya, nanyi Papi marah Uncle Andika diusir dari rumah ini. Tuan Muda mau kalau Uncle Amurwa diusir?"

Andika menggeleng. ia segera mendahului Minah menuju kandang Jeremy memandang Amurwa yang sedang mengendarai Jeremy dengan gagahnya, membuat ia terpesona. Amurwa yang melihat Andika datang segera memperlambat pacu kudanya dan mengarahkan hewan berwarna hitam ke arah anak kecil yang sedang memandangnya dengan senyum merekah lebar.

"Mau naik sama Uncle?"

Andika mengangguk. Amurwa segera turun dan mengangkat tubuh Andika ke punggung Jeremy lalu ia menyusul duduk di belakang Andika. Perlahan ia melanjutkan pacuannya sambil melatih Andika agar ia bisa menyesuaikan dirinya.

"Uncle, kapan Andika boleh panggil Uncle dengan Papi?"

"Apa?"

"Kapan aku boleh panggil Uncle dengan Papi?"

"Kapan ya? Uncle takut Papi Tuan Muda marah. Sebenarnya kalau Uncle tidak masalah mau dipanggil apapun tapi itu tadi, Unlce takut Papi marah.'

"Terus kalau marah Uncle diapain?"

"Diapain ya? Ha ha ha, diusir kali."

Dengan ringan Amurwa menjawab pertanyaan Andika, namun jawaban yang semau sendiri itu membuat Andika diam. Ia sudah mendengar semua dari Minah tentang pengusiran yang akan dilakukan oleh papinya kalau dirinya memanggil Amurwa dengan sebutan yang sama dengan papinya.

"Aku tidak mau Uncle diusir. Biarlah aku panggil Uncle saja."

"Bagus kalau begitu, Tuan Muda. Uncle senang."

"Kapan Uncle akan mengajari Andika memanah lagi? Andika sudah tidak sabar ingin memanah Papi."

"Sstt, tidak boleh begitu, Tuan Muda. Durhaka namanya. Dosa. Seorang anak tidak boleh membunuh orang tuanya sendiri."

Amurwa yang sama sekali tidak tahu mengapa Andika berniat memanah ayahnya akhirnya hanya diam. Ia penasaran dengan apa yang terjadi di dalam rumah. Beberapa menit lalu ia mendengar tuan Kusuma membentak namun Amurwa sama sekali tidak tahu apa yang sebanarnya terjadi. Ia ingin mengorek keterangan dari Andika namun ia takut anak kecil itu akan mengadukan pertanyaannya pada Minah.

"Uncle"

Amurwa yang sedang merenung menjadi terkejut ketika Andika memanggilnya sehingga ia lupa kalau sedang berada di atas punggung Jeremy. Ia menarik tali kekang kudanya sehingga Jeremy yang tersentak akhirnya berlari lebih kencang. Amurwa terkejut dengan tindakan yang sangat membahayakan nyawa Tuan Mudanya.

"Uncle aku takut."

Andika mengeratkan pegangannya pada pelana. Amurwa melingkarkan satu tangannya ke perut Andika sedang tangan yang lain tetap pada tali kekang kuda.

"Maafkan Uncle ya Tuan Muda. Tadi sempat terkejut mendengar Tuan Muda ingin memanah papi."

"Tidak apa-apa, Uncle. Habisnya aku marah sama Papi yang selalu membuat Mami menangis. Tadi saja Papi memukul mami dan membanting ponselnya. Papi selalu kejam sama Mami, Uncle."

Amurwa diam. Hatinya merasa sangat terluka mendengar Andika mengatakan Tuan Kusuma sering memukul istrinya. Bagi Amurwa, Padmasari adalah mutiara dalam sangkar emas. Bisa dipandang namun tidak bisa diambil kecuali oleh orang yang memiliki kelebihan harta.

Amurwa sebenarnya merasa kasihan setiap kali melihat wajah cantik Padmasari yang seolah selalu tertutup kabut. Hidup bergelimang harta namun ia seolah tidak bisa menikmatinya.

"Apa yang sedang Uncle pikirkan sekarang? Apakah Uncle tidak ingin menolong Mami agar tidak selalu dipukul sama Papi?"

"Bukan tidak mau menolong, Tuan Muda. Uncle hanya bingung bagaimana mau menolong Mami kalau posisi Uncle saja hanya sebagai pelayan seperti ini. tiap hari memberi makan Cintya dan Jeremy tanpa bisa melihat dunia luar."

"Uncle bisa menabung dari sekarang. Uncle harus punya banyak uang agar bisa menyelamatkan Mami. Jangan mau jadi orang yang tidak punya apapun karena kalau hanya duduk dan menerima perintah, kapan Uncle akan menjadi diri sendiri?"

What?

Amurwa mencium puncak kepala Tuan Mudanya. Ia benar-benar kagum dengan kecerdasan Andika, anak kecil berusia lima tahun yang kini sedang duduk membelakanginya nampak percaya diri dan tidak memiliki rasa gentar sama sekali.

"Tolong Mamiku Uncle. Bebaskan Mami dari papi yang jahat. Aku maunya Uncle yang jadi papi Andika. Bukan Papi Kusuma karena Papi Kusuma sama sekali tidak tahu bagaimana memperlakukan Mami."

Amurwa mengangguk. dalam hati ia berjanji akan melaksanakan perintah Andika. Ia tersenyum membayangkan kalimat Andika yang seolah menasihatinya. Ia memang harus memiliki banyak uang dan ia harus memiliki segalanya dulu baru bisa bersaing dengan Tuan Kusuma.

"Kalau melihat Mami yang sekarang menderita karena Papi, aku yakin kalau Mami tidak butuh harta sebenarnya Uncle. Mami hanya butuh cinta yang tulus dari orang yang bisa menghargainya sebagai wanita dan aku yakin itu cinta dari Uncle Amurwa."

"Mengapa kau begitu yakin, Tuan Muda?"

Andika terpana mendengar pertanyaan Amurwa.

"Aku sering melihat Mami membuka jendela dan duduk di balkon sambil memandang Uncle. Sesekali Mami tersenyum lalu menggelengkan kepalanya, Seolah menolak rasa yang ada dalam hatinya. Aku yakin kalau Mamiku juga jatuh cinta kepadamu, Uncle. Please, jangan ragu. Mulai sekarang jadilah pria kuat yang bisa menjadi pelindung bagi wanita seperti Mami.'

"Sudahlah, Tuan Muda. Uncle sama sekali tidak mau menjadi pebinor. Itu bukan tipeku sama sekali."