Aku ingin kalian benar-benar patuh pada apa yang kuucapkan. Walau kalian kupindahkan secara divisi, aku tetap menjamin kenaikan gaji berkala kuberlakukan untuk anak buahku yang memiliki kinerja yang baik. Meski dia berada di kandang kuda sekalipun."
Semua kepala divisi menunduk. mereka tahu Tuan Kusuma, bos besarnya memiliki kebijakan yang sangat adil pada siapapun. Meski dia nampak sangat arogan pada saat berhadapan dengan orang lain, sebenarnya hati Tuan Kusuma sangat lembut. Hanya orang-orang yang paham dengan karakter Tuan Kusuma yang paham akan hal itu.
"Ok, Tuan. Kami menerima semua perubahan ini dengan lapang dada. Ikhlas karena semua kinerja kami dinilai berdasarkan loyalitas bukan berdasar pangkat yang kami duduki."
"Bagus. Sekarang aku meminta kalian untuk tetap menjaga kekompakan ini. hormati Amurwa sebagai mana kalian menghormatiku karena dia memiliki banyak kelebihan yang tidak kita miliki."
"Kami siap, Tuan."
"Pindahkan dia ke rumah utama kepala keamanan dan kau, Bryan, bawa pakaianmu dan tempati kamar kepala pelayan yang masih kosong sekarang juga. Perubahan ini tidak boleh terlalu lama karena semakin kita memperlambat akan berakibat buruk pada kita semua."
"Siap, Tuan."
Semua kepala divisi dan anak buahnya melaksanakan tugas yang baru saja diperintahkan Tuan Kusuma kepada mereka. Satu pasukan melangkah ke rumah kepala keamanan dan memindahkan semua barang Bryan menuju kamar kepala pelayan di rumah utama. Beberapa anak buah lagi melangkah menuju taman belakang dimana Amurwa menempatkan semua barangnya.
Di taman belakang, Amurwa yang kini masih berdiri di tempatnya sambil menggendong Andika segera melangkah menuju gazebo. Ia tidurkan Andika dan mengelus tubuhnya lembut membuat Andika membuka matanya.
"Uncle?"
Amurwa tersenyum mendengar panggilan Andika. Andika bangkit dan memandang Amurwa yang kini nampak sangat tampan dan perkasa. Andika menganggukkan kepalanya spontan seolah ia sedang memberi hormat kepada Amurwa.
"Uncle, apa yang terjadi? Mengapa aku ada di sini bersamamu? Mana Papi? Bukannya Papi tadi marah ya sama kita? Papi memukul Uncle, coba lihat apakah ada yang luka?" Mendengar Andika menjadi semakin cerewet, Amurwa tersenyum. ia peluk tubuh kecil yang sangat menggemaskan dengan penuh kasih sayang.
"Uncle tidak apa-apa, Sayang. Uncle hanya merasakan ada sesuatu yang aneh dengan tubuhku saat ini. Rasanya aku menjadi . . . ." Amurwa memandang tubuhnya lalu ke tangannya.
"Ada apa, Uncle? Apakah Uncle sakit?"
Amurwa menggeleng sambil terus mengelus tangannya. Ada rasa hangat yang menyusup seiring dengan elusan tangan di beberapa bagian tubuhnya yang lain. Amurwa benar-benar heran dengan perubahan tersebut.
"Yaa Tuhan, apa yang terjadi denganku saat ini?"
Andika yang melihat Amurwa sedang termenung segera bangun dan memeluk Amurwa dengan erat.
"Uncle, jangan bersikap aneh seperti itu, aku takut"
"Tidak, Sayang. Aku sama sekali tidak tahu mengapa aku sangat aneh. Menurutmu apa yang terjadi denganku sehingga hari ini rasanya tubuhku terasa ringan?"
Andika menggeleng. Ia memang tahu ada sesuatu yang berubah dari Amurwa namun Andika sama sekali tidak tahu mengapa. Ia merasa ada seseorang yang mengangkat tubuhnya dan menggendongnya di pundak. Ia ingin membuka mata namun Andika merasa ada kekuatan yang melarangnya untuk membuka matanya.
"Uncle tidak ingat apa yang terjadi tadi?"
Amurwa menggeleng. Mereka saling senyum lalu saling memeluk. Haru pada kenyataan bahwa mereka selamat dari amukan Tuan Kusuma.
"Alhamdulillah kita selamat dari amukan Papi ya, Uncle. Akhirnya kita bisa duduk seperti ini dengan tenang. Tapi Uncle, dimana Papi? Apakah Papi pergi karena telah melihat kita baik-baik saja atau . . . ."
"Maaf Yang Mulia. Kami diutus Tuan untuk meminta Yang Mulia meninggalkan rumah kecil itu dan pindah ke rumah di belakang mansion."
Seorang laki-laki datang sambil menundukkan tubuhnya pada Amurwa dengan penuh hormat. Amurwa dan Andika saling pandang lalu saling mengedikkan bahunya.
"Ada apa denganmu? Mengapa kau bertindak seperti itu? Siapa yang kau panggil Yang Mulia?"
Laki-laki di hadapan Amurwa menunduk takut pada Amurwa yang masih bingung dengan suasana baru yang ia dapatkan setelah sadar dar pingsannya.
"Em, ampun Yang Mulia, mari saya antar Yang Mulia ke rumah Yang Mulia. Tuan Kusuma sudah menunggu Yang Mulia di sana."
Amurwa memandang Andika yang sedang tersenyum melihat Andika yang kebingungan. Amurwa tahu, diantar ke Tuan Kusuma berarti dia akan mendapatkan murka dari tuannya. ia tahu dia sudah melawan tuannya dan melanggar urusan pribadi Tuan Kusuma karena sudah campur tangan urusan Andika dan ayahnya.
"Ayo, Uncle, aku antar Uncle menghadap Papi."
Amurwa mengangguk. Ia segera menuntun Andika dan melangkah mengikuti para bodyguard yang mengawalnya di depan dan belakang. Amurwa memandang sekelilng. Jalan yang kini ia lewati penuh dengan bodyguard yang menundukkan badannya seolah memberi hormat.
"Selamat datang, Yang Mulia"
Andika memandang wajah Amurwa yang nampak tegang. Kini Andika tahu mengapa ayahnya memanggil Amurwa. Melihat banyak yang menyambut mereka, Andika tahu kalau ayahnya tidak lagi marah kepada mereka.
"Silakan duduk di sini, Yang Mulia."
"ehm."
Amurwa yang kini sudah berubah menjadi Sri Rajasa mendehem. Suaranya yang berat membuat semua anak buah Tuan Kusuma menunduk seolah menunggu perintah dari Tuannya untuk melaksanakan tugas baru.
"Apa yang kalian tunggu?"
Anak buah Tuan Kusuma mengawal Amurwa ke rumah dinasnya yang baru. Amurwa yang masih menuntun Andika hanya mengikuti mereka dari belakang. Sepanjang jalan, Andika takjub memandang beberapa lapangan luas yang penuh dengan prajurit yang sedang berdiri membentuk pagar betis seolah menyambut pimpinan baru.
Setelah Amurwa masuk, semua pasukan kembali melanjutan latihan. Andika takjub. Berkali-kali ia berdecak kagum dengan banyaknya pasukan di rumahnya yang selama ini luput dari jangkauannya. Ia selalu berpikir bahwa hidup nyaman adalah hidup bersama Amurwa di kandang kudanya. Memberi makan dan melatih Jeremy serta Cintya. kini Andika memiliki keinginan untuk mencoba arena baru berupa lapangan tembak dan arena untuk bergulat.
Senyum Andika yang masih mengembang membuat Amurwa memandang anak kecil yang sangat dicintainya dengan senyum lebar. Tuan Kusuma yang melihat kelakuan anaknya hanya dapat memandangnya dengan sorot mata tajam. Ia benar-benar benci karena kenakalan anaknya telah membangkitkan jiwa yang tenang yag bersemayam di tubuh Amurwa.
"Apa yang kau pikirkan pada anakmu, Kusuma?'
"E-a-ampun, Yang Mulia, hamba hanya . . . ."
"Jangan sekali-kali kau membenci anakmu sendiri karena suatu hari nanti dia yang akan menjadi bentengmu. Dia akan menyelamatkanmu dari beberapa musibah yang akan kau hadapi dalam kehidupanmu."
"I-iya, Yang Mulia. Hamba mohon maaf."
Tuan Kusuma membungkukkan badannya memberi hormat dan meminta maaf atas kelancangannya telah membuat anak laki-lakinya sakit dan terluka karena tindakan brutalnya.
"Apakah kau masih tetap ingin di sini?"
"E-ti-tidak, Yang Mulia, tidak. Kami harus undur diri dari sini. Selamat siang"
"Selamat siang. O iya, buat jalan tembus menuju kandang Jeremy karena aku akan tetap di sana sepanjang aku tak memiliki tugas menjaga istri dan anakmu saat mereka keluar!"