Ajeng menghela napas ketika melihat serangkaian bunga yang ada di depan pintu rumahnya. Kejadian ini sudah mulai dari seminggu yang lalu.
Ajeng mengira bahwa ini adalah ulah Leo, kekasihnya. Karena kekasihnya sedang berada di luar kota, Ajeng berpikir kalau Leo lah yang memberinya kejutan. Namun di luar dugaan, Leo malah menuduhnya berselingkuh.
Ajeng menjelaskan semuanya tentang Bunga itu kepada Leo, agar tak terjadi salah paham nantinya terhadap hubungan mereka. Leo pun dengan entengnya menjawab.
'Mungkin Bunga itu salah kirim kali.'
Ajeng semula berpikir seperti itu, namun ini sudah seminggu berturut-turut, apakah masih bisa disebut salah kirim?
"Cie, yang dikasih kejutan sama pacarnya," ucap Rani yang kini sedang main di rumah Ajeng.
Ajeng mendengkus kesal, "bukan dari dia," jawabnya singkat.
"Lah terus dari siapa, jangan-jangan kamu selingkuh ya?" tanya Rani curiga.
Ajeng mendelik tajam, "apaan sih, enak aja kalau ngomong. Nih ya, udah seminggu bunga ini nangkring terus di depan rumahku, aku kira ini kejutan dari Leo, ternyata bukan," keluh Ajeng.
"Lah, kalau bukan Leo terus siapa dong," gumam Rani.
Ajeng mengedikkan bahunya, "nggak tau, mungkin nggak sih kalau orang itu salah kirim?" tanya Ajeng ragu.
Rani mengetuk-ngetuk jari didagunya seraya berpikir, "kalau sesekali sih mungkin, tapi kalau seminggu berturut-turut, masa iya salah kirim," ucap Rani. "Memangnya dibunga itu nggak ada nama pengirimnya siapa?" tanya Rani.
Ajeng melihat kembali Bunga itu, dengan malas dia pun mengambilnya.
"Nih isi suratnya, kamu baca sendiri. Sama aja kayak pertama kali bunga itu ada di situ," kata Ajeng seraya menyodorkan surat itu.
Rani mengambilnya dengan cepat, kemudian dibacanya surat itu dengan teliti.
'Hai, aku datang lagi. Meskipun bukan jiwaku yang datang, tapi percayalah bahwa ragaku menempel pada Bunga ini. Semoga kamu menyukainya Baby.'
Begitulah isi surat tersebut.
"Ini Baby nama orang atau nama panggilan kesayangan?" tanya Rani tiba-tiba.
"Mana aku tau," jawab Ajeng cuek.
"Leo kalau panggil kamu apa?"
"Sayang, tapi dia sering panggil aku Rayna sih," jawab Ajeng.
"Terus, di komplek perumahan sini, ada yang namanya Baby?"
Ajeng terdiam seraya berpikir, "setahuku sih nggak ada, tapi siapa tau ada orang baru," gumam Ajeng.
Ajeng memijat pelipisnya dengan pelan melihat sikap Rani.
"Kamu ini udah seperti detektif aja, bisa nyelesain nggak, bikin pusing iya," cibir Ajeng.
Rani menggetok kepala Ajeng pelan, "kamu ini, aku juga lagi berusaha," bela Rani tak terima.
"Ya, ya, ya. Terserah kamu aja. Kamu masih mau diam di sini apa mau masuk?"
"Ya masuklah, aku haus pengen minum," jawab Rani sewot.
Ajeng terkekeh geli mendengarnya, "baru memecahkan misteri seperti itu aja udah haus," celetuk Ajeng.
Rani mendelik, "aku bukan Detektif, kampret!" maki Rani.
Ajeng kembali terbahak, lucu sekali rasanya mengerjai sahabatnya ini.
"Besok kayaknya aku nggak kerja," ucap Ajeng tiba-tiba.
"Kenapa?"
"Sekali-kali ambil cuti, lagian Leo juga larang aku jangan terlalu capek-capek."
Rani menatap Ajeng dengan sinis, "dengan Leo ngomong kayak gitu, terus kamu turutin gitu? Ih, aku mah ogah."
"Kenapa? Wajar dong. Lagian aku juga merasa gitu kok, kita sering banget lembur. Jadi, sekali-kali cuti lah," kata Ajeng sambil menaik-turunkan alisnya. "Memangnya kamu nggak kepengen punya waktu sama pacarmu?" goda Ajeng.
Mata Rani melotot, "oke, besok aku juga cuti," jawab Rani cepat.
Ajeng kembali tertawa, dan kali ini misinya berhasil untuk mengajak Rani cuti, jika besok dia dimarahi oleh Atasannya, setidaknya dia ada teman.
'Sorry, Rani,' gumam Ajeng dalam hati.
"Heh! Kok bengong. Mana minumanku, tamu kok nggak dikasih minum sih," celetuk Rani.
"Eh, iya. Tunggu sebentar," ucap Ajeng seraya bergegas menuju dapurnya.
***
"Bagaimana? Apa dia suka dengan hadiahnya?" tanya Kenzo pada anak buahnya yang bernama Aldo.
Aldo menundukkan kepalanya, tak berani menjawab. Tidak mendapat jawaban, Kenzo pun menatap Aldo.
"Kenapa tidak dijawab?" tanya Kenzo.
"Anu ... Tuan, Nona kembali membuangnya," jawab Aldo takut-takut.
Brak!
Kenzo menggebrak meja dengan keras, membuat Aldo terlonjak kaget.
"Kenapa selalu saja dia tolak, dan kamu ... apa tidak ada cara lain selain yang kamu beri itu? Apa kamu tidak tahu kesukaan para wanita, hah!" bentak Kenzo.
Lagi-lagi Aldo menunduk. Melihat akan hal itu membuat Kenzo semakin murka.
"Kamu tuli, hah?!"
"Tidak, Tuan."
"Lalu kenapa kamu diam saja, berpikirlah. Hadiah apa yang banyak disukai banyak wanita!"
"Sebenarnya semua wanita menyukai apa yang diberi oleh pasangannya, Tuan," kata Aldo pelan.
Kenzo mendongak, menatap Aldo dengan bingung.
"Lalu kenapa dia menolak?" tanya Kenzo.
"Mungkin, karena nama Tuan tak ada dihatinya."
Kenzo menatap Aldo bengis, "kenapa harus kamu jelaskan, sialan!" umpat Kenzo.
Aldo menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
'Lah, bukannya tadi dia tanya, kenapa jadi marah-marah tidak jelas,' batin Aldo bingung.
Kenzo mengepalkan tangannya, jawaban Aldo kini memenuhi isi kepalanya. Memang benar apa yang dikatakan Aldo. Kenzo tidak pernah ada dihati Ajeng, bahkan mengingat nama Kenzo juga rasanya Ajeng tidak sempat. Lalu, apa salah kalau Kenzo berharap?
"Aku harus bagaimana supaya dia mau denganku," gumam Kenzo lirih.
Ternyata gumaman itu masih didengar oleh Aldo.
"Tuan menyukainya?" tanya Aldo.
"Ya, dari SMA," jawab Kenzo acuh.
Aldo terkejut mendengarnya, "tapi setahu saya, Nona Ajeng sudah mempunyai kekasih."
"Heh! sudah kubilang, tidak usah dijelaskan. Apa kamu tuli?"
"Maaf, Tuan."
Kenzo memijit pelipisnya pelan seraya berpikir.
"Kamu ada ide untukku?" tanya Kenzo tiba-tiba.
"Ide?" beo Aldo.
"Ya, ide. Agar Ajeng mau menjadi kekasihku."
"Saya tidak bisa, Tuan. Itu masalah hati. Kalaupun Tuan tetap ngotot agar Nona Ajeng menjadi milik Tuan, lalu bagaimana dengan perasaan Nona Ajeng? Perasaan tidak bisa dipaksakan, Tuan," tutur Aldo panjang lebar.
"Tapi aku mau dia, Aldo!" geram Kenzo, "bagaimana pun caranya, dia harus menjadi milikku," tandasnya kemudian.
"Bukankah itu terlalu memaksa?"
"Tutup mulutmu, sialan. Aku tidak ingin memdengarmu berbicara lagi. Dia itu milikku. Hanya milikku!" bentak Kenzo.
Aldo menganggukkan kepalanya.
'Padahal banyak sekali yang ingin bersanding dengannya, kenapa dia malah menyukai yang jelas-jelas sudah dimiliki orang lain. Kehidupan orang kaya memang begitu rumit,' keluh Aldo dalam hati.
"Bagaimana kalau Tuan menjadi teman dekatnya, hitung-hitung pendekatan," usul Aldo.
"Teman dekat katamu, heh! Berdekatan denganku saja dia takut," ujar Kenzo sinis.
'Wajar saja, wajah Tuan terlihat sangar. Siapa yang berani mendekat.'
Tiba-tiba saja ide muncul dikepala Aldo, membuat sudut bibirnya tertarik.
"Bagaimana kalau Tuan hamilin dia, supaya dia selalu terikat dengan Tuan. Gimana, Tuan, ide saya bagus kan."
Mata Kenzo melotot, "Aldo sialan! Enyah kau dari hadapanku!"
Suara Kenzo begitu menggelegar, Aldo langsung lari terbirit-birit.
Bersambung.