Pengunjung Rumah Makan Cinta langsung menatap Kenzo dengan heran.
"Apa lihat-lihat!" bentak Kenzo, orang-orang yang tadi menatapnya pun langsung beralih menatap ke arah lain.
"Maaf, Pak. Tolong jangan membuat keributan di sini, pelanggan yang lain terganggu," ujar pemilik rumah makan tersebut.
Kenzo tak menjawab, dia menatap pemilik rumah makan tersebut dengan tatapan nyalang. Rahangnya mengeras, serta tangannya terkepal erat.
Aldo yang sedari tadi berdiam diri di dalam mobil pun langsung turun karena melihat Bosnya tengah berbuat ulah.
Sebelum terjadi apa-apa, Aldo harus segera bertindak. Kenzo suka meluapkan emosinya di mana saja, jangan sampai pemilik rumah makan itu yang akan menjadi sasaran empuk Kenzo.
"Sekarang ulah apa lagi yang diperbuat?" gumam Aldo sambil berjalan cepat.
"Tuan, mari kita pergi," kata Aldo yang kini tengah berada di depan Kenzo.
Tanpa menjawab, Kenzo berlalu begitu saja. Aldo tersenyum tak enak pada para pengunjung dan pemilik rumah makan tersebut.
"Maaf telah membuat keributan, silahkan dilanjutkan kembali," ucap Aldo sambil membungkukkan badannya. Setelah itu dia pun menyusul Kenzo.
"Tuan tidak apa-apa?" tanya Aldo pelan, saat ini posisi mereka sedang berada di dalam mobil.
"Jalan," perintah Kenzo.
Aldo mengangguk, dia tak ingin lagi bertanya. Aldo sudah menduga bahwa suasana hati Kenzo sedang kacau. Jika dia banyak bertanya, pasti akan ada sesuatu yang tak terduga yang akan terjadi.
Tak ada obrolan, hanya terdengar suara deru mesin mobil. Diam-diam Aldo melirik kaca untuk melihat keadaan Kenzo, dilihatnya Kenzo sedang memijit pelipisnya seraya memejamkan matanya.
"Ya Tuhan," desis Kenzo, Aldo kembali mengintip melalui kaca spionnya.
'Pasti lelah karena mengejar cinta selama bertahun-tahun, kenapa nggak nyari yang lain aja sih, pusing sendiri kan jadinya,' gumam Aldo dalam hati.
Namun begitu, jauh di dalam lubuk hati Aldo, dia merasa iba melihat Bosnya seperti itu. Bosnya memiliki segalanya. Harta, tahta, semua serba ada. Hanya satu yang tak dia punya, yaitu cinta. Sungguh miris.
Aldo mendesah lelah, kehidupan tak ada habisnya dengan yang namanya masalah. Semua orang yang hidup pasti memiliki masalah, hanya berbeda letak kecil dan besarnya saja.
Mobil itu kini berhenti di depan Rumah Kenzo. Kenzo menghela napas berat, kemudian turun dari mobilnya tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Aldo melongo karena melihat tingkah Kenzo.
"Gila, ngeri juga kalau lagi cemburu. Jarang-jarang kan aku lihat Bos seperti itu, ternyata lucu juga," celetuk Aldo sambil memandangi Kenzo yang tengah masuk ke dalam rumahnya.
Aldo mengedikkan bahunya acuh, saat ini yang dia pikirkan adalah pulang ke rumah, lalu istirahat. Tubuhnya butuh istirahat, rasanya lelah karena melihat drama yang dibuat Bosnya.
***
Kenzo terdiam cukup lama, dia menatap langit-langit kamarnya dengan perasaan gamang. Kenzo kembali terduduk, kemudian tangannya mengambil beberapa lembar foto yang berada di dalam lacinya.
Waktu SMA, Kenzo diam-diam memotret foto Ajeng dari jarak jauh. Bukan hanya foto, semua yang ada pada diri Ajeng, Kenzo sudah hapal.
Kenzo memandang foto itu dengan senyum getir. Kenzo tahu kalau cinta itu tak bisa dipaksakan. Ajeng tak mencintainya, hati Ajeng sudah untuk pria lain, tapi apakah dia salah kalau mencintai wanita itu.
"Ajeng," gumam Kenzo lirih. "Aku itu cinta sama kamu, bisa nggak sih kamu ngertiin perasaan aku. Asal kamu tahu, banyak perempuan di luar sana deketin aku, tapi ini ...," Kenzo menunjuk dadanya sendiri. "Dia nggak bisa terima, kenapa yang ada di sini cuma ada nama kamu, sialan! Kenapa!" bentak Kenzo.
"Andai saja waktu itu kamu tak menolongku, perasaan ini tak akan muncul. Dasar bodoh, kenapa kamu bisa selembek ini, Kenzo. Come on, kamu itu laki-laki, buang cinta itu dihatimu. Kamu mau wanita seperti apa? Kamu bisa mendapatkannya. Kenapa harus wanita itu!" umpat Kenzo.
Kenzo menyugar rambutnya dengan kasar, dia kembali menatap foto itu dengan sinis.
"Akan aku pastikan, kamu akan menjadi milikku, kita lihat aja nanti. Dengan cara kotor pun tak masalah," kata Kenzo sambil tersenyum licik.
Kenzo mengambil ponselnya untuk menelepon seseorang.
"Aku butuh bantuanmu."
***
"Tadi katanya mau pulang, kenapa ngajakin muter-muter," ujar Leo yang kini sedang menyetir motornya.
Leo heran dengan sikap Ajeng, tadi Ajeng selalu mengatakan ingin pulang, tetapi sekarang Ajeng malah meminta Leo untuk jalan-jalan.
"Nggak papa, jarang-jarang kan kita jalan-jalan malam pakai motor," celetuk Ajeng. Kepalanya dia senderkan dibahu Leo.
"Angin malam itu nggak baik, Rayna," peringat Leo.
"Iya, aku tahu kok. Tapi kita kan nggak setiap malam."
Leo menghela napas, "nanti kamu sakit loh. Kalau kamu sakit, siapa yang akan merawat? Iya kalau kita tinggal serumah, aku bisa merawat kamu."
"Ya makanya cepat-cepat halalin," cetus Ajeng.
Leo memegang tangan Ajeng, dielusnya dengan lembut tangan tersebut.
"Sabar ya," kata Leo.
"Sabar kok. Tapi kalau ada yang ngelamar aku, aku nggak janji ya," ledek Ajeng.
"Kok kamu ngomongnya gitu? Kamu nggak setia dong sama aku," tiba-tiba emosi Leo naik ketika Ajeng berbicara seperti itu.
Ajeng tertawa kecil, dia mencubit perut Leo dengan pelan.
"Kamu ini nggak bisa diajak bercanda, gitu aja dibawa serius," ledek Ajeng.
"Masalah pernikahan nggak ada kata bercanda ya!" kata Leo dengan nada tinggi.
Lagi-lagi Ajeng tertawa, Leo yang mendengarnya mendengkus kesal.
Mereka berdua tidak tahu bahwa ada seseorang yang sedang berjuang untuk menghancurkan hubungan mereka.
Seberapa lama mereka berpacaran, jika tak berjodoh mereka berdua bisa apa? Begitu pula sebaliknya. Seberapa besar pihak ketiga ingin menghancurkan, jika mereka berjodoh, orang itu bisa apa?
"Janji bakal nungguin aku?" kata Leo.
"Siap, Bos," jawab Ajeng lantang.
"Janji nggak akan berkhianat?"
"Siap, Bos," jawab Ajeng lagi.
"Oke, aku pegang janji kamu," ujar Leo sambil tersenyum tipis.
"Tapi kalau kamu yang berkhianat, gimana?" tanya Ajeng balik.
"Nggak bakal," jawab Leo mantap.
Ajeng menganggukkan kepalanya.
"Semua kesalahan bisa dimaafkan, tapi kalau berselingkuh? Mohon maaf, perkara itu tidak bisa ditoleransi," kata Ajeng tegas.
Leo tertawa keras karena penuturan Ajeng.
"Dapat kata-kata dari mana?"
Ditanya seperti itu Ajeng mendelik kesal.
"Aku serius ya," sungut Ajeng.
"Pasti korban sinetron ini," ledek Leo.
"Memang, sekarang lagi booming masalah pelakor," tandas Ajeng.
"Pantesan, kata-katamu ituloh," ledek Leo.
"Bisa diam nggak!"
Leo lagi-lagi tertawa keras, entah mengapa, bercanda dengan kekasihnya benar-benar membuat perasaannya bahagia. Dia merasa berhasil untuk menghibur kekasihnya, meskipun hanya sedikit.
Motor itu melaju dengan kecepatan sedang, bulan dan bintang serta semilir angin malam menjadi saksi bisu dengan janji mereka.
Akankah janji mereka akan ditepati? Atau malah diingkari? Ajeng dan Leo hanya mampu mengikuti jalannya takdir.
Bersambung.