Ajeng menatap Kenzo dengan malas, sedangkan Kenzo, pria itu selalu tersenyum manis karena kedatangan Ajeng.
"Nggak usah senyum-senyum, aku nggak bakal terpesona dengan senyumanmu itu," dengkus Ajeng.
Kenzo melipatkan kedua tangannya didada. "Sekarang kamu bisa berucap seperti itu, tapi nanti ... kita buktikan saja, siapa sih yang tidak terpesona dengan Kenzo Luzier yang tampan ini," ucap Kenzo dengan mata mengerling.
Ajeng membuang muka, sejujurnya kalau bukan karena ancaman dari Kenzo, Ajeng tak mau datang menemuinya.
Kenzo mengancamnya jika Ajeng tak menemuinya. Kenzo akan memberitahukan pada Leo bahwa Ajeng dan Kenzo mempunyai skandal di masa lalu.
Awalnya Ajeng mengabaikan ucapan Kenzo, namun ternyata Kenzo tak main-main dengan ucapannya.
"Nggak usah basa-basi, kamu mengajakku ke sini tujuannya untuk apa?" tanya Ajeng ketus.
Kenzo menatap Ajeng cukup lama, sampai saat ini Ajeng benar-benar belum melihat sisi baik Kenzo. Namun Kenzo tak akan menyerah, Kenzo yakin jika suatu saat pasti Ajeng akan bertekuk lutut padanya.
Kenzo harus banyak-banyak bersabar untuk menghadapi Ajeng, karena Ajeng tidak seperti wanita pada umumnya. Ajeng sangat sulit untuk di dekati.
Yang ada dipikiran Ajeng hanya ada Leo, padahal kalau dipikir-pikir Kenzo sangat jauh lebih baik dari Leo, semua itu hanya dari sudut pandang Kenzo saja, berbeda dengan Ajeng.
"Jawabannya simple, karena aku ingin bertemu denganmu," jawab Kenzo datar.
Ajeng memutar bola matanya malas.
"Jangan seperti ini, Kenzo. Kamu bisa mengajak wanita lain, tidak denganku. Aku sudah memiliki kekasih, aku harus menjaga perasaannya. Kami berdua sudah saling komitmen untuk tidak saling menyakiti," papar Ajeng.
Kenzo mendengkus keras. Muak karena Ajeng selalu menyebut nama Leo terus, sebenarnya apa sih yang dibanggakan pada Leo. Kenzo benar-benar tak habis pikir dengan Ajeng, kenapa Ajeng bisa cinta mati pada Leo.
"Apa sih kelebihan Leo? Kenapa kamu selalu saja memuja pria itu, telingaku panas jika kamu selalu menyebut pria itu," kata Kenzo dengan raut wajah kesal.
Ajeng mengedikkan bahunya acuh.
"Aku nggak tahu kenapa, intinya aku suka dengan dia karena dia itu apa adanya. Nggak muluk-muluk seperti pria lain, kalau dia suka ya dia langsung mengutarakannya. Seperti waktu itu ketika dia mengajakku berpacaran, dia bilang dia menyukaiku, nggak ada kata-kata gombal. Dia langsung berbicara pada intinya. Padahal waktu itu aku sama sekali tidak mengenalinya," kata Ajeng sambil tersenyum.
Gigi Kenzo gemelatuk, dia mengepalkan tangannya erat.
"Lalu kenapa kamu menolakku waktu itu, bukankah aku juga langsung mengutarakan isi hatiku? Tidak bertele-tele?" tanya Kenzo tajam.
Ajeng terdiam cukup lama, dia bingung harus menjawab apa.
"Bukankah itu namanya tidak adil, Ajeng?" Kenzo kembali bersuara.
"Ini kenapa jadi bahas lain sih, udahlah, nggak usah bahas masa lalu. Ayo cepat dimakan, habis itu kita langsung pulang, aku takut Leo akan mencariku nanti," ucap Ajeng untuk mengalihkan pembicaraan.
Kenzo menggeram kesal. Pria itu sungguh tidak terima dengan jawaban Ajeng.
"Ajeng," panggil Kenzo.
"Ya?"
"Perasaanku masih sama seperti dulu, apakah kamu tidak mempertimbangkannya?"
Ajeng langsung melepaskan sendok yang ada ditangannya, dia menatap Kenzo tajam.
"Kenzo! Sudah berapa kali aku bilang jangan bahas masa lalu!" bentak Ajeng.
Kenzo mengangguk paham, dia tak boleh terlalu memaksakan kehendak, nanti yang ada Ajeng malah semakin menjauhinya.
"Oke, aku tidak akan membahas tentang masa lalu, tapi ... maukah kamu menjadi temanku? Teman untuk berbagi cerita, teman untuk mengeluh, pokoknya anggap saja teman saling terbuka, tidak ada yang ditutupi, maukah kamu menjadi temanku, Ajeng?" tanya Kenzo dengan tulus.
Ajeng menimbang-nimbang tawaran Kenzo, menurutnya menjadikan Kenzo teman tidak masalah.
Ajeng tersenyum sambil mengangguk.
"Oke, aku setuju, aku mau jadi temanmu. Sekarang kita berteman."
Kenzo tersenyum lebar. Mungkin dari sini dia akan menjalankan aksinya, merebut hati Ajeng dari Leo. Dengan berpura-pura menjadi teman Ajeng.
***
"Dari mana saja?" tanya Leo ketus.
"Habis jalan-jalan sama teman," jawab Ajeng.
Leo melipatkan kedua tangannya didada, pria itu menatap Ajeng tajam, sedangkan Ajeng yang ditatap seperti itu menundukkan kepalanya.
"Teman yang mana? Rani sedang sibuk berkencan, Lara apalagi, lalu kamu jalan-jalan dengan siapa?" tanya Leo penuh selidik.
Ajeng diam seribu bahasa, dia tak berani melihat Leo.
"Kenapa tidak dijawab?" tanya Leo.
"Kamu kenapa bisa tahu kalau Rani sama Lara berkencan?" tanya Ajeng balik.
"Ya ... karena aku menghubungi mereka untuk menanyakan keberadaan kamu," jawab Leo.
Ajeng mendongakkan kepalanya.
"Jadi kamu punya nomor mereka? Sejak kapan?" tanya Ajeng.
Kini giliran Leo yang bungkam. Ajeng tersenyum sinis.
"Kamu selalu melarang kalau aku tidak boleh menyimpan nomor ponsel laki-laki, tapi kamu juga yang akhirnya menjilat ludah," kata Ajeng sinis.
"Bukan seperti itu, aku punya nomor mereka karena waktu itu kamu hilang, Sayang," jawab Leo dengan gelagapan.
"Halah, alasan!" sarkas Ajeng.
Ajeng masuk ke dalam rumahnya, dia menutup pintu dengan keras, tak lupa juga dia menguncinya. Ajeng emosi. Leo benar-benar sangat egois. Leo selalu melarang Ajeng ini dan itu, sedangkan lelaki itu bebas melakukan apa saja yang dia mau.
"Rayna! Dengarkan dulu penjelasan aku, aku tidak berniat lain kok. Waktu itu aku sangat mencemaskanmu, makanya aku meminta nomor mereka, Sayang. Jangan marah dong," kata Leo sambil menggedor-gedor pintu itu.
Ajeng diam saja, dia enggan menjawab. Menghadapi Kenzo sungguh lelah, apalagi sekarang dengan Leo? Kenapa laki-laki itu seakan lupa dengan janji-janji padanya.
"Aku capek Leo, kamu selalu saja ingin menang sendiri," lirih Ajeng.
Ajeng mengintip dari balik jendela, Leo sudah tak ada di sana. Ajeng tersenyum miris, hanya segitu sajakah Leo membujuk Ajeng. Ajeng pun kembali membuka pintu.
Awalnya Ajeng terbiasa dengan sifat Leo yang agak cuek padanya, tapi kenapa semakin lama semakin membuat Ajeng sakit. Apa sebenarnya Leo tidak benar-benar mencintai Ajeng?
"Dorr!!"
Ajeng terkesiap, matanya melotot tajam. Dia melihat Kenzo sedang berada di hadapannya.
"Kamu ini kenapa sih! Ngagetin aja," keluh Ajeng.
Kenzo hanya nyengir lebar.
"Ngapain ke sini?!" tanya Ajeng galak.
"Idih, galak banget sih jadi cewek. Nanti semua cowok pada kabur loh kalau kamu galak," ledek Kenzo.
Ajeng terpaku dengan kata-kata Kenzo. Benarkah seperti itu? Apakah Leo juga mulai bosan dengannya karena sifat Ajeng yang seperti itu?
"Nah kan ngelamun lagi, awas loh nanti kesambet setan."
Suara Kenzo mengagetkan lamunan Ajeng, Ajeng manatap Kenzo dengan garang. Wanita itu berkacak pinggang.
"Heh! Semua itu bukan urusanmu ya. Udah sana pergi!" usir Ajeng.
Bukannya pergi Kenzo malah duduk dengan manis.
"Kamu ini ya! Nggak bisa dibilangin secara baik-baik."
"Hei jangan lupakan kata-katamu tadi," kata Kenzo sambil mengedipkan sebelah matanya.
"Memangnya aku bicara apa? Udah sana pulang!" usir Ajeng.
"Bukankah sekarang kita teman?" tanya Kenzo sambil menaik-turunkan alisnya.
Mulut Ajeng menganga.
Bersambung.