Leo memeluk Ajeng begitu erat. Akhirnya Ajeng kembali, membuat Leo bernapas lega.
"Kamu dari mana saja sih, selalu saja membuatku khawatir," ujar Leo lembut.
Ajeng diam saja, dia ingin mengatakan yang sejujurnya, namun takut Leo akan salah paham padanya.
'Aku harus bicara apa,' keluh Ajeng dalam hati.
"Tadi ada seseorang yang mengajakku pergi. Mereka kira aku adalah wanita yang mereka cari, eh nggak taunya salah tangkap," dusta Ajeng sambil nyengir.
Leo mengurai pelukannya, dia menatap Ajeng lekat-lekat.
"Benar seperti itu?" tanya Leo tak percaya.
"Benar kok," jawab Ajeng cepat.
Mata Leo menyipit, dia curiga dengan gerak-gerik Ajeng yang tampak gugup.
"Lalu kenapa ponselmu tidak aktif?"
"Karena di sana nggak ada sinyal. Huft! Aku menghubungi nomor kamu aja susah," kata Ajeng lirih.
Leo mengangguk paham, dia menangkup kedua pipi Ajeng.
"Yang penting kamu baik-baik saja, aku cemas dari tadi nyariin kamu."
Leo menoleh ke kanan dan ke kiri, membuat Ajeng mengernyit heran.
"Apa yang sedang kamu cari?" tanya Ajeng bingung.
"Kamu pulang sendiri?" tanya Leo heran. "Yang mengajakmu pergi tidak mengantarmu pulang?" sambung Leo beruntun.
"Tidak, aku tadi pulang naik ojek," dusta Ajeng.
Mana mungkin Kenzo mau menelantarkan Ajeng di jalan. Kenzo harus memastikan bahwa Ajeng datang ke rumah dengan selamat.
Tadi Ajeng bersikeras agar Kenzo mau menurunkannya di jalan. Dia tidak mau jika Leo ada di sana dan akan melihat mereka berdua di sana. Sayangnya, Kenzo adalah Kenzo. Pria yang penuh bebal itu tidak menyetujuinya kata-kata Ajeng.
Ajeng hanya bisa pasrah dengan tindakan Kenzo. Yang anehnya lagi menurut Ajeng, kenapa Kenzo bisa mengetahui di mana rumahnya, padahal Ajeng tidak memberitahu alamat rumahnya di mana.
"Ya sudah. Kamu istirahat dulu, pasti kamu capek kan. Nih aku bawain makanan kesukaanmu, dimakan ya," ujar Leo sambil mengelus rambut Ajeng.
Mata Ajeng berbinar, Ajeng langsung menyambar makanan yang ada ditangan Leo.
"Terima kasih, Leo Sayang. Kamu memang pacar terbaik," kata Ajeng manja, membuat Leo terkekeh pelan.
"Sama-sama, Rayna. Dimakan dulu."
"Siap."
Ajeng langsung membuka makanan itu. Sejujurnya dia sudah kenyang karena Ajeng sudah makan banyak di rumah Kenzo, akan tetapi Ajeng menghargai Leo. Ajeng kasihan pada Leo, pasti sedari tadi pria itu tampak cemas memikirkannya.
Ajeng memakan makanan itu dengan lahap, membuat Leo tersenyum tipis.
"Pelan-pelan, nanti keselek," ledek Leo.
Ajeng hanya menanggapi dengan senyum tipis. Bagaimana bisa dia melupakan kekasihnya itu kalau pria itu begitu perhatian padanya.
'Kenzo benar-benar tidak waras. Mana mungkin aku akan menyia-nyiakan pria yang ada di hadapanku ini. Dia itu benar-benar tulus sama aku,' batin Ajeng.
***
"Ajeng!" teriak Rani.
Merasa ada yang memanggilnya, Ajeng pun menolehkan kepalanya ke belakang.
Dilihatnya Rani yang sedang berlari untuk mendekatinya.
"Kamu kemarin ke mana saja? Aku sama teman-teman selalu mencarimu, dan juga Leo, dia frustrasi karena kamu nggak ada. Kamu ke mana sih?" tanya Rani menggebu-gebu.
Ajeng menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Nggak ke mana-mana kok. Kemaren orang yang katanya mau ketemu sama aku ternyata salah orang," dusta Ajeng.
'Maaf Rani,' batin Ajeng.
"Salah orang? Kok bisa?" tanya Rani lagi.
Ajeng mengedikkan bahunya acuh.
"Tapi kata Lara, laki-laki itu memang cari kamu. Dia nyebut nama kamu."
Ajeng kehabisan kata-kata, berbohong memang bukan ahlinya. Tapi, jika dia tidak seperti itu, Ajeng takut Rani akan tahu tentang Ajeng dan Kenzo.
"Iya, orang itu mengira aku Ajeng yang mereka cari. Ternyata bukan, nama kami aja yang sama," jawab Ajeng.
Rani menganggukkan kepalanya, paham apa yang Ajeng katakan.
"Oh, gitu ya. Tapi kenapa ponsel kamu nggak aktif. Kamu tau? Gara-gara ponselmu tidak aktif, Leo ketar-ketir nyariin kamu."
Ajeng tersenyum miris, dia benar-benar membuat orang terdekatnya khawatir.
"Di sana susah sinyal, Rani. Aku aja bingung juga mau hubungi kalian tapi nggak bisa. Beruntungnya laki-laki itu berbaik hati ingin mengantarku pulang, kalau tidak ... mungkin aku akan tersesat," keluh Ajeng.
"Kok bisa susah sinyal? Memangnya kamu di bawa ke area terpencil?" tanya Rani.
"Bukan di area terpencil lagi, tapi seperti hutan. Udah ayo, waktunya kita cari uang. Menjawab pertanyaan kamu itu nggak akan ada habisnya. Kamu akan terus bertanya dan bertanya," ujar Ajeng untuk mengalihkan pembicaraan.
Kalau saja Ajeng terus meladeni Rani, Ajeng takut kalau kebohongannya akan terbaca.
Rani ingin menyela, masih ada beberapa pertanyaan yang belum dia sampaikan, tetapi Ajeng lebih dulu menariknya untuk masuk ke Cafe tempat mereka bekerja. Rani pun mengurungkan niatnya.
***
"Rani," panggil Ajeng.
"Hemm," jawab Rani sambil mengunyah makanannya.
Saat ini mereka sedang istirahat, Ajeng dan Rani memutuskan untuk pergi ke warung makan yang berada di depan Cafe tempat mereka bekerja untuk mengisi perut mereka.
"Mau tanya boleh?" tanya Ajeng ragu.
"Tanya aja," jawab Rani yang tengah asik melahap makanannya.
Pecel lele, memang sangat menggugah selera Rani.
"Misalkan kita udah punya cowok, terus tiba-tiba ada cowok masa lalumu datang padamu, dia bilang cinta sama kamu. Apa yang akan kamu lakukan?" tanya Ajeng.
Rani mengernyit heran, dia bingung dengan ucapan Ajeng, kenapa Ajeng tiba-tiba bertanya seperti itu.
'Ajeng kenapa?' batin Rani bertanya-tanya.
"Buat apa mikirin masa lalu. Dia kan hanya masa lalu, sedangkan saat ini posisi kita sudah punya cowok. Ya ngapain mikirin masa lalu, nggak penting. Masa lalu hanya masa lalu," ucap Rani dengan sorot mata tajam.
Rani memang agak sensitif jika mengenai masa lalu. Wanita itu sering kali dikecewakan oleh pria masa lalunya.
Ajeng mengangguk paham. "Kamu benar, Rani," jawab Ajeng sambil tersenyum.
"Kenapa tiba-tiba kamu bertanya seperti itu? Apa kamu bertemu dengan masa lalumu itu?" tanya Rani penuh menyelidik.
Ajeng menggeleng cepat, dia menatap Rani gugup.
"Tidak, hanya bertanya saja. Memangnya nggak boleh?"
"Boleh saja, tapi pertanyaanmu itu agak aneh. Pake bawa-bawa masa lalu lagi," celetuk Rani.
Ajeng tertawa kecil, benar yang dikatakan oleh Rani. Pertanyaannya memang sedikit aneh.
Tiba-tiba ponsel Ajeng berbunyi, pertanda ada pesan masuk. Ajeng tersenyum lebar, pasti itu dari kekasihnya. Namun seketika senyum Ajeng redup ketika membaca nama yang ada dilayar ponselnya.
'My Hubby'
[Jangan lupa makan siang, Baby. Miss you.]
Ajeng mendengkus keras ketika membaca pesan tersebut.
Ajeng sudah duga kalau itu nomor Kenzo, karena pria itu sempat menyita ponselnya waktu itu.
"Kenapa?" tanya Rani heran.
"Pesan dari operator, kirain dari pacar," dengkus Ajeng.
Rani yang mendengarnya tertawa geli.
"Dasar bucin," ledek Rani.
"Biarin," sungut Ajeng kesal.
Bersambung.