Chereads / Obsesi Cinta / Chapter 6 - Teror

Chapter 6 - Teror

Leo tersenyum masam ketika melihat bingkisan yang ada di depan Rumah Kekasihnya.

Mengapa akhir-akhir ini Ajeng selalu mendapatkan bingkisan seperti ini.

"Tidak mungkin kan kalau Ajeng selingkuh?" gumam Leo.

Leo mengambil bingkisan tersebut, lalu dibuka dengan hati-hati.

'Siapa tahu isinya bom kan,' batin Leo.

Leo mendengkus sebal ketika sudah membuka bingkisan tersebut. Isinya adalah tas bermerk yang sudah dapat Leo pastikan harganya sangat fantastis.

Leo pun membuang benda itu di tempat sampah. Dengan kasar dia membanting tas tersebut.

"Leo," panggil Ajeng yang kini sedang melongokkan kepalanya dipintu.

Leo menatap Ajeng dengan datar.

"Kamu ngapain di situ, bengong lagi. Sini masuk," kata Ajeng.

Leo tak menjawab, tetapi kakinya melangkah mendekati Ajeng.

"Kamu selingkuh?" tanya Leo dengan wajah tegang.

Ajeng mengerutkan keningnya, "kamu datang-datang kenapa bilang kayak gitu?" tanya Ajeng heran.

"Jawab, Ajeng!" tanpa sadar Leo membentak Ajeng hingga Ajeng terperanjat.

"Leo, kamu kenapa sih?" tanya Ajeng bingung, matanya sudah mulai berkaca-kaca.

"Kamu yang apa-apaan, kenapa setiap hari aku terus melihat hadiah-hadiah memuakkan itu, kemarin emas, sekarang tas. Besok apa lagi, hah!"

Ajeng terpaku dengan sikap Leo.

"Jawab!" sentak Leo lagi.

Ajeng menggeleng pelan, "aku nggak tau, Leo. Kamu pikir aku senang dapat hadiah macam itu, kamu pikir aku bahagia? Iya? Nggak Leo, aku tertekan. Aku merasa kalau aku sedang diteror oleh seseorang. Tapi aku nggak tau orang itu siapa. Dan kamu juga nuduh aku selingkuh?" Ajeng tertawa miris, "kamu tau aku ini kerja seharian, boro-boro megang hp, apalagi selingkuh. Kamu benar-benar konyol, Leo," kata Ajeng lemah dan tangisnya pun pecah.

Sejujurnya dia juga tak menginginkan semua itu, yang Ajeng mau dia hidup tentram tanpa ada gangguan dari siapapun.

Leo menyesal karena telah membentak Ajeng, dia pun merengkuh tubuh Ajeng.

"Maafkan aku, aku tadi cemburu. Maafkan aku yang sudah bertindak berlebihan," mohon Leo sambil mengusap punggung Ajeng.

Ajeng masih sesenggukan dalam pelukan Leo.

"Aku capek, Leo. Aku nggak mau kayak gini terus. Hidupku selalu diteror," keluh Ajeng disela-sela tangisnya.

Leo membelai rambut Ajeng dengan lembut.

"Sstttt, tenang. Ada aku di sini, nanti kita pikirkan baik-baik. Sekarang tenang dulu, oke."

Leo mengurai pelukannya, kemudian memegang wajah Ajeng yang sudah sembab. Dengan telaten, Leo menghapus air mata Ajeng.

"Udah dong nangisnya, kan jadi jelek," canda Leo.

Ajeng meninju dada Leo dengan pelan, "jahat banget sih, masa pacarnya dikatain seperti itu," kata Ajeng dengan bibir mencebik.

"Iya dong, kalau aku bilang pacarku cantik, nanti malah direbut orang, kan kasihan akunya."

"Apaan sih, gombal," kata Ajeng sambil tersenyum.

"Nah, gitu dong. Kan enak dilihat kalau senyum, daripada nangis, mukanya kayak gimana tadi kalau nangis," ledek Leo sambil memperagakan ketika Ajeng sedang menangis.

"Leo! Jahat banget sih," rengek Ajeng.

"Hahahaha, bercanda sayang. Daripada sedih, kita cari makan aja yuk, kebetulan aku habis gajian. Kamu mau apa?" tanya Leo dengan wajah berseri-seri.

Ajeng berpikir sejenak, seketika senyumnya pun mengembang.

"Martabak manis," kata Ajeng sambil tersenyum.

"Yang lain lah, nanti kamu bisa kena diabetes kalau makan yang manis-manis terus."

Ajeng berpikir kembali, "gimana kalau mie ayam, atau bakso, atau sate mungkin."

"Jangan, nanti kamu bisa kena kolesterol."

Ajeng mencebik kesal.

"Sebenarnya kamu niat nggak sih mau traktir aku, kok kayak nggak ikhlas gitu," kata Ajeng ketus.

"Hehehe, ikhlas kok, Sayang. Kenapa sih sensi mulu?" tanya Leo sambil mengacak-acak rambut Ajeng dengan gemas.

"Lagi datang bulan," jawab Ajeng malas.

"Ha?" Leo melongo mendengarnya.

"Aku siap-siap dulu, tunggu di situ," kata Ajeng yang sudah berlari terbirit-birit karena pengakuannya.

"Memalukan," gumam Ajeng, dia benar-benar merutuki kebodohannya.

Sementara Leo, dia masih mencerna apa yang dikatakan oleh Ajeng.

"Datang bulan?" gumamnya. Tiba-tiba saja matanya melotot ketika sudah menemukan jawabannya.

"Astaga! Anak itu kenapa berbicara ceroboh sekali. Untung cinta," gumam Leo.

"Ngomong apaan barusan?" tanya Ajeng yang kini sudah berada di belakang Leo.

Leo terperanjat, "Ish, yank. Ngagetin tahu nggak," kata Leo sambil mengelus dada.

"Tadi ngomong apa?" tanya Ajeng lagi.

"Ngomong apa? Udah yuk kita pergi, nanti kemalaman lagi," ucap Leo mengalihkan pembicaraan.

Ajeng tak lagi berbicara, dia mengikuti langkah Leo untuk mendekati motornya.

Motor itu pun melaju dengan kecepatan sedang, Ajeng memeluk Leo dari belakang. Leo melirik Ajeng melalui kaca spionnya, kemudian tersenyum tipis.

***

Kenzo lagi-lagi menggebrak mejanya karena usahanya selalu gagal, dia mengusap wajahnya dengan kasar.

"Kenapa terus dibuang hadiahnya!" bentak Kenzo.

Aldo tak berani menjawab, dia selalu menundukkan kepalanya.

"Argghhh, sial!" umpat Kenzo, "lama-lama aku bisa gila kalau seperti ini terus."

"Kali ini bukan Nona Ajeng yang membuangnya, Tuan," akhirnya Aldo berani bersuara.

Kenzo mendongak, dia menatap Aldo dengan datar.

"Lalu siapa?"

"Kekasihnya," jawab Aldo cepat.

"Kekasih?" tanya Kenzo sambil terkekeh miris.

"Iya, tadi saya juga sempat melihat mereka sedang cek-cok," ujar Aldo.

Senyum Kenzo mengembang, "lalu?"

"Tapi mereka sudah baikan, bahkan mereka melakukan kencan romantis," jawab Aldo pelan.

Kenzo memejamkan matanya untuk meredam amarahnya yang siap meledak.

Baru saja Kenzo ingin berucap, tiba-tiba saja ponsel Kenzo berdering.

"Iya, Ma," jawab Kenzo malas.

"Kenapa jam segini belum datang, kamu lupa kalau malam ini kita sedang ada janji, hah!"

Kenzo menjauhkan ponsel itu dari telinganya karena suara lengkingan Mamanya.

"Kenzo sibuk, Ma. Kenzo hari ini lembur," kata Kenzo beralasan.

"Tidak usah banyak alasan! Cepat kamu datang ke sini. Pokoknya Mama nggak mau tahu kamu harus datang."

"Ma--"

Tut.

Sambungan itu telah terputus, Kenzo menghembuskan napasnya secara kasar. Sejujurnya dia sangat malas untuk datang malam ini, pasti Mamanya sudah merencanakan perjodohan laknat itu.

Kenzo berdiri, disusul oleh Aldo.

"Kita pergi ke Rumah Makan Cinta," ujar Kenzo sambil memakai jasnya.

Aldo menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

'Bukankah itu tempat Nona Ajeng dan Kekasihnya, bagaimana kalau mereka bertemu? Ah, semoga saja mereka sudah pergi dari sana,' batin Aldo.

"Ada apa denganmu?" tanya Kenzo yang tengah melihat Aldo melamun.

"Tidak apa-apa, Tuan. Mari," ajak Aldo.

***

Kenzo menghela napas panjang, saat ini dia sudah berada di depan Rumah Makan Cinta, dia masih berada di dalam mobilnya. Rasanya dia enggan turun dari situ untuk menemui Mamanya.

"Tuan tidak turun?" tanya Aldo yang mengejutkan Kenzo.

Kenzo menatap Aldo malas, "tidak usah diingatkan," jawab Kenzo ketus.

Aldo hanya mengangguk. Tak lama kemudian ponsel Kenzo berdering membuat Kenzo memutar bola matanya malas.

"Iya, Ma. Ini Kenzo sudah sampai."

Tut.

Kenzo mematikan sambungan teleponnya, dia kembali menghela napas panjang, lalu turun dari mobil tersebut.

Baru beberapa langkah Kenzo berjalan, tiba-tiba Kenzo memberhentikan langkahnya. Tangannya mengepal erat ketika melihat pemandangan yang tak diinginkan.

"Mampus aku," kata Aldo ketika melihat tatapan nyalang dari Bosnya.

Bersambung.