Ajeng terus saja menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.
Dia terus saja mencari cara agar bisa keluar dari tempat terkutuk ini. Ajeng baru mengetahui bahwa ternyata dirinya telah dijebak oleh Kenzo.
Kenzo memang benar-benar licik, entah apa yang diinginkan oleh pria itu. Kenapa dia tega membawa Ajeng ke tempat sejauh ini.
Kalaupun Ajeng lolos kabur dari tempat ini, Ajeng yakin dia juga tak tahu arah jalan pulang. Karena selama perjalanan menuju ke sini, Ajeng tak pernah memperhatikan jalanan itu, yang ada dipikirannya hanya tentang Leo saja.
Ajeng kembali mengingat Leo, hanya Leo yang bisa membantunya saat ini. Namun ponsel beserta tasnya telah diambil oleh Kenzo. Ajeng mengerang frustrasi.
"Dasar cowok berengsek," umpat Ajeng lirih.
Saat ini dia sedang dikurung di dalam kamar yang tampak sangat besar dan megah. Namun Ajeng tetap saja tak terpesona dengan itu. Yang dia mau dia ingin keluar dari sini.
Ajeng mendengar pintu itu berderit, pertanda ada seseorang yang membuka pintu itu, Ajeng langsung mendongakkan kepalanya. Dia menatap Kenzo dengan tajam.
"Kamu tidak capek merajuk terus denganku?" tanya Kenzo dengan tangan bersedekap.
Ajeng mendengkus keras, wanita itu memalingkan wajahnya, Ajeng benar-benar muak dengan tingkah Kenzo yang menurutnya kekanak-kanakan.
"Aku menunggumu di bawah, mari kita makan bersama," ujar Kenzo lagi.
Ajeng bergeming di tempatnya, membuat Kenzo menghela napas berat.
"Kamu ingin membuatku menggunakan cara kasar, Ajengku?" tanya Kenzo menahan geram.
Ajeng kembali menolehkan kepalanya, dia menatap Kenzo dengan tajam.
"Aku tidak ingin makan, yang aku inginkan adalah pulang," ucap Ajeng.
"Kalau itu aku tidak bisa mengabulkannya."
Tangan Ajeng mengepal dengan erat. Apa yang dimaksud oleh Kenzo? Apakah dia akan terkurung di sini selamanya?
"Kamu tidak berhak mengatur hidupku, Kenzo. Kamu bukan siapa-siapa dihidupku. Aku ingin pergi dari sini, dan aku tidak butuh persetujuan darimu," kata Ajeng dengan pandangan menusuk.
Kenzo tersenyum menyeringai, dia mendekati Ajeng, membuat Ajeng menjadi gugup.
Kenzo menarik dagu Ajeng dengan pelan, ditatapnya mata itu dengan lama, tak lama kemudian, Kenzo terkekeh geli. Kenzo tahu kalau saat ini Ajeng sedang takut, Kenzo tak bisa dikelabui oleh Ajeng.
"Katakan sekali lagi apa yang kamu ucapkan barusan," pinta Kenzo.
Ajeng langsung membuang muka.
"Aku ingin pulang," ucapnya tanpa menatap wajah Kenzo.
"Tidak akan," desis Kenzo.
"Kenapa?" tanya Ajeng geram.
"Karena kamu milikku!"
Ajeng tersenyum sinis. "Kenzo, Kenzo, kamu itu tampan dan juga mapan. Kamu bisa cari wanita lain di luar sana. Yang lebih baik dan lebih cantik dari aku. Dan asal kamu tahu, aku sudah punya kekasih, Leo, dia kekasihku," terang Ajeng.
"Tapi sayangnya, aku tidak mau, yang aku inginkan hanya kau!" Kenzo menunjuk wajah Ajeng dengan jari telunjuknya.
"Tidak bisa, Kenzo. Kenapa kamu bebal sekali," erang Ajeng.
"Karena aku mencintai kamu, dari dulu hingga detik ini."
"Aku sudah mempunyai kekasih, Kenzo. Saat ini ada hati yang harus kujaga."
Kenzo menggenggam tangan Ajeng dengan erat. "Kita mulai hubungan ini pelan-pelan. Kita bisa berhubungan tanpa diketahui oleh Leo, gimana? Kamu mau kan?" tanya Kenzo dengan suara lirih.
Ajeng menyentak tangan Kenzo dengan kasar. "Kamu benar-benar laki-laki gila, Kenzo!" bentak Ajeng.
"Ya, aku memang gila. Itu semua karena kamu!" Kenzo juga membentak Ajeng, membuat wanita itu terkejut.
"Kamu tidak mencintaiku, kamu hanya ingin membalas dendam karena dulu aku pernah menolakmu secara mentah-mentah di hadapan banyak orang, iya kan, Kenzo. Kamu ingin membuatku jatuh cinta padamu lalu dengan begitu, kamu bisa mempermainkan aku sesuka hatimu, begitu kan yang kamu mau, Kenzo, iya kan?!" teriak Ajeng.
Kenzo langsung membalikkan badannya, dia tak ingin menunjukkan emosinya pada Ajeng. Kenzo menghela napas panjang.
"Aku tunggu kamu di bawah, mari kita makan bersama," tutur Kenzo.
"Kamu belum menjawab pertanyaanku, Kenzo."
"Kamu ingin pulang kan, kalau ingin, cepat turuti kemauanku, jika tidak ingin, tak jadi masalah," papar Kenzo. Setelah mengatakan itu, Kenzo berlalu dari sana meninggalkan Ajeng yang tampak terdiam.
Tanpa berlama-lama, Ajeng pun langsung mengejar Kenzo. Dia tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini untuk keluar dari tempat terkutuk ini. Sebenarnya bukan tempatnya yang membuat Ajeng takut, melainkan yang mempunyai rumah, siapa lagi kalau bukan Kenzo Luzier.
Mata Ajeng berbinar ketika melihat hidangan yang ada di atas meja tersebut. Rata-rata semuanya menu kesukaan Ajeng. Ajeng menatap Kenzo dalam diam, apakah pria itu sengaja memasak makanan kesukaannya?
"Duduklah, kamu pasti lapar."
Ajeng mengangguk dengan malu-malu. Sejujurnya dia memang sangat lapar, namun dia terlalu gengsi untuk mengakuinya.
Ajeng bingung harus mengambil makanan yang mana, dia tidak ingin terlihat seperti wanita rakus di hadapan Kenzo. Ya, meskipun Kenzo bukan pria yang dicintainya, namun sama saja itu akan menurunkan harga dirinya.
"Tidak usah malu-malu, ambillah yang mau kamu makan. Bukankah kamu menyukai semuanya?" tanya Kenzo dengan senyuman tipisnya.
Ajeng menatap Kenzo dengan raut wajah tak terbaca. Sejujurnya Ajeng mengakui bahwa Kenzo ini tipe idaman semua wanita, Kenzo benar-benar memperhatikan wanita sedetail itu. Beruntunglah untuk wanita yang dicintai Kenzo, namun sayangnya Ajeng benar-benar tak ada rasa dengan Kenzo.
"Kamu tahu semua makanan kesukaanku?" tanya Ajeng pelan.
"Ya, bukan hanya semua makananmu, bahkan ukuran pakaian dalam kamu pun aku mengetahuinya."
Uhuk!
Ajeng tersedak, dia menatap Kenzo dengan bengis. Tanpa berkata-kata lagi, Ajeng melahap makanan itu dengan lahap. Persetan dengan adanya Kenzo, Ajeng benar-benar tak perduli.
"Pelan-pelan makannya, nanti kamu tersedak," peringat Kenzo.
Ajeng mengacuhkan ucapan Kenzo, wanita itu terus saja melahap makanannya hingga tandas. Tak lupa juga dia bersendawa, membuat Kenzo menghentikan kunyahannya. Ajeng mengedikkan bahunya acuh.
'Bodo amat, mau nggak selera kek, mau selera kek, itu bukan urusanku,' batin Ajeng.
Ajeng berdiri dari duduknya.
"Aku tunggu kamu di luar, kamu sudah berjanji akan mengantarku pulang," ucap Ajeng. Setelah mengatakan itu, Ajeng berjalan menuju pintu utama.
Ketika Ajeng sudah pergi, Kenzo langsung membanting sendok itu dipiringnya. Bukan karena ulah Ajeng tadi, melainkan dia merasa gagal karena tidak bisa membujuk Ajeng, wanitanya itu.
'Aku harus bagaimana agar kamu bisa luluh, Ajeng,' desah Kenzo. Tangannya mengepal erat.
Lagi-lagi dia gagal meluluhkan hati wanita itu, kenapa Ajeng berbeda dengan wanita lain di luar sana. Jika wanita di luar sana selalu tergila-gila padanya, lalu kenapa Ajeng tidak.
"Kenzo! Ayo!"
Teriakan Ajeng membuyarkan lamunan Kenzo. Kenzo mengambil tisu, lalu mengelap sisa makanan yang ada dimulutnya. Lalu berjalan mendekat ke arah Ajeng.
"Kamu yakin ingin pulang?" tanya Kenzo memastikan.
"Yakinlah," jawab Ajeng ketus.
Kenzo menghela napas berat.
'Sekarang gagal, tapi untuk besok, jangan harap,' batin Kenzo menyeringai.
Bersambung.