Chereads / Let Go (Omegaverse) / Chapter 3 - Butterflies

Chapter 3 - Butterflies

Sama seperti biasanya, aku bangun lebih awal, menyiapkan sarapan dan juga bekal untuk mereka berdua. Kemudian dilanjutkan dengan sarapan bersama. Tidak lupa juga mengantarkan Eckart dan Nuri kedepan rumah untuk melepas kepergian mereka untuk memulai hari ini.

Semua ini terasa seperti sedang melakukan simulasi. Ya, simulasi menjalani rumah tangga yang harmonis. Suami yang baik, tegas, cekatan dan ganteng, serta anak yang manis dan menggemaskan. Sudah mirip seperti keluarga idaman yang selalu aku impikan.

Bukan aku tidak bersyukur dengan keadaan keluargaku. Mengingat aku terlahir di keluarga yang tidak biasa. Keluargaku adalah salah satu dari beberapa keluarga terpandang, baik itu dikalangan pebisnis maupun politik. Jika kamu lahir dengan nama Selim di akhir namamu, sudah pasti hidupmu bergelimang harta dan juga pujian.

Semua generasi di garis keturunan Selim selalu melahirkan alpha-alpha terbaik. Para Selim yang seumuran denganku saja beberapa sudah memegang jabatan penting di anak perusahaan di bawah naungan S. Corporation.

Namun seperti pepatah, tidak ada yang sempurna. Bahkan di keluarga yang sempurna itu, terdapat satu kesalahan, yaitu aku, Lennox Selim. Satu-satunya Omega di garis keturunan The Great Alpha Family.

Awalnya aku dibesarkan seperti layaknya keturunan Selim lainnya. Namun, ketika aku memasuki masa remaja, tubuhku tidak tumbuh layaknya alpha lainnya. Badanku tidak besar dan juga tegap, justru cenderung lebih kecil dan terlihat lemah. Hal ini diperburuk dengan hasil tes yang menyatakan bahwa aku adalah seorang omega.

Papaku yang dengan pemikiran konservatifnya tidak bisa menerima keadaanku. Perhatian yang selama ini aku terima perlahan berkurang dan pada akhirnya hilang sama sekali. Hanya Mama yang peduli padaku.

Aku menghabiskan masa remajaku dengan kesendirian. Aku menarik diri dari duniaku yang dulu. Aku tidak menjalin pertemanan dengan siapapun. Aku bahkan tidak melanjutkan bersekolah di sekolah pada umumnya dan justru lebih memilih private school di rumah.

Setelah menyelesaikan sekolahku, suatu keajaiban aku bisa melanjutkan kuliah di salah satu universitas ternama. Aku mengambil jurusan yang tidak berhubungan dengan bisnis maupun politik, yaitu ilmu bahasa.

Selesai dengan masa perkuliahan, aku lulus dan memilih bekerja sebagai freelance translator. Dengan pekerjaan ini, aku tidak perlu bekerja di luar rumah dan berinteraksi dengan banyak orang. Sehingga aku tidak perlu khawatir dengan jadwal "heat" ku.

Namun semua itu berubah. Dengan pekerjaanku sekarang, aku harus berinteraksi dengan orang lain, mulai dari Eckart, Nuri, dan juga para guru Nuri. Aku juga mulai khawatir dengan masa heatku.

Setelah memastikan semua pekerjaan rumah selesai, aku memutuskan untuk bersantai sejenak. Menonton TV sambil menghabiskan waktu sebelum menjemput Nuri.

TV sudah kunyalakan dan remotenya juga sudah ada ditanganku. Namun, tiba-tiba aku teringat dengan masa 'heat' ku yang sepertinya akan datang tidak lama lagi.

'Ah, sepertinya aku harus menghubungi dokterku' Pikirku.

Dengan cepat aku mengeluarkan ponsel dari saku dan menghubungi dokter pribadi yang sudah mengurusku sejak aku masih remaja. Akupun membuat janji untuk bertemu sore ini.

Tak lupa aku juga menghubungi Raymond untuk menemaniku ke dokter. Mengingat aku akan pergi bersama Nuri. Lumayan selain mendapat sopir gratis, Raymond bisa membantu menjaga Nuri selama aku berbincang dengan dokterku.

##

Aku dan Nuri memakai pakaian yang senada. Kaos polos berwana abu-abu dan celana berwarna coklat muda. Ketika sedang merapikan baju Nuri, aku mendengar suara mesin mobil dari luar.

'Sepertinya Raymond' Pikiriku.

Setelah memastikan pakaian Nuri sudah rapi, aku menggandeng tangannya "Ayo, om Ray sudah datang."

Kami berdua berjalan menuju pintu. Namun, setelah membuka pintu, bukanlah sosok Ray yang pertama kali aku lihat. Melainkan Eckart.

Saking kagetnya, aku tidak sadar Nuri sudah melepaskan gadengan tanganku dan berlari menuju Eckart.

"Daddy!" Teriak Nuri sambil berlari.

Eckart dengan sigap langsung menangkap Nuri, menggendongnya dan memberikan kecupan di kedua pipinya.

"Gantengnya anak daddy."

Setelah menyelesaikan kata-katanya, Eckart kembali mencium pipi Nuri.

Aku masih mematung seperti orang bodoh sambil menyaksikan kejadian menggemaskan di hadapanku.

"Kalian mau kemana?" Ujarnya sambil berjalan ke arahku.

"A-aku mau ke dokter." Jawabku sedikit gugup.

'Sial, kenapa harus gugup segala' Batinku.

Eckart sudah berada tepat di depanku. Tangannya terulur, semakin dekat dan kemudian meraba dahiku lembut sambil bertanya, "Kamu sakit?"

Pipiku memanas, ribuan kupu-kupu berterbangan di perutku. Aku yakin pipiku pasti sudah memerah seperti kepiting rebus saat ini.

Sebelum aku sempat menjawab pertanyaan Eckart, tangan yang tadi berada di dahiku sudah berpindah dan sekarang sedang menggandeng tangan kananku.

"Ayo, biar aku yang antar." Ujarnya lembut.

Aku yang tidak bisa mencerna apa yang sedang terjadi padaku, menuruti apa yang di katakan Eckart begitu saja. Aku bahkan tidak sadar kapan aku memasuki mobil, kapan aku duduk dan memasangkan seatbelt, bahkan aku tidak sadar mobil ini sudah bergerak menjauh meninggalkan rumah.

Semuanya terjadi begitu cepat dan sulit sekali dicerna oleh diriku yang baru pertama kali merasakan hal seperti ini.

Dering ponsel milikku kemudian membawaku kembali pada kenyataan. Aku segera mengeluarkan ponsel dari sakuku dan muncul sebuah nama yang sudah begitu familiar, Raymond. Aku pun menjawab panggilan tersebut.

Awalnya aku mengira Ray akan memarahiku karena aku sudah tidak di rumah, tapi ternyata dia mau meminta maaf karena tiba-tiba ada urusan mendadak dan tidak bisa mengantarku ke dokter hari ini.

Akupun mengatakan padanya untuk tidak perlu meminta maaf. Awalnya Ray sempat terdiam, jadi kuputuskan untuk menjelaskan bahwa aku pergi dengan Eckart, bukan dengan taksi atau kendaraan umum lainnya.

Setelah ngobrol sedikit panjang, akhirnya panggilanpun berakhir. Entah kenapa aku merasa lega.

"Kita ke dokter mana?" Tanya Eckart

Akupun memberitahu alamat praktik dokter pribadiku. Eckart merespon dengan ber-oh ria dan kemudian keheningan menyelimuti suasana mobil ini.

Tidak satupun dari kami bertiga mengeluarkan suara. Eckart fokus menyetir, Nuri duduk di kursi belakang sibuk dengan tablet yang di berikan Eckart kepadanya, sedangkan aku sibuk dengan isi pikiranku.

Bersama keheningan sepanjang perjalanan, tanpa terasa mobil ini sudah berhenti dan aku bisa melihat gedung putih tempat praktik dokter pribadiku.

Bersama Eckart dan Nuri, aku memasuki gedung tiga lantai tersebut dengan perasaan tidak karuan. Kami berjalan beriringan layaknya pasangan muda yang sedang berbahagia.

Saat masih di lobby, aku bisa merasakan banyaknya mata yang mengamati kami. Rasanya aneh sekali. Sudah lama aku tidak mendapatkan pandangan seperti ini. Terakhir kalinya adalah ketika seluruh siswa di sekolahku tahu bahwa aku adalah seorang omega.

Tapi saat berada di lantai dua suasanya terasa berbeda, tidak ada siapapun disana, sepertinya aku pasien pertama hari ini. Akupun langsung di persilakan masuk keruangan dokter, sedangkan Eckart dan Nuri menunggu di ruang tunggu.

Aku dan dokter pribadiku, dokter Ryan, duduk berhadapan. Tanpa berlama-lama, aku langsung menceritakan semuanya kepada doker Ryan. Dimulai dari kehidupan baruku hingga kekhawatiranku akan jadwal 'heat' yang sepertinya tidak lama lagi.

Dokter Ryan langsung memeriksa tubuhku sambil bertanya beberapa pertanyaan mengenai apa saja yang terjadi pada tubuhku akhir-akhir ini.

Tak butuh waktu lama, pemeriksaanpun sudah selesai. Dokter menuliskan resep untukku.

Sambil menyerahkan resep obat, dokter Ryan menatapku dengan tatapan yang tidak bisa aku jelaskan. Aku tahu beliau akan mengatakan hal yang tidak menyenangkan. Dan benar saja.

"Lennox, saya rasa sudah seharunya kamu memiliki pasangan. Kamu sudah mengkonsumsi surpressant sebanyak ini dalam jangka waktu yang lama, saya khawatir efek samping yang kamu sendiri juga pasti tahu suatu saat pasti terjadi."