Shinto pun segera menerimanya dan berkata, "Maaf Bu Kartika. Aku telah menyusahkan anak buahmu."
Terdengar suara Bu Kartika, "Tidak salah kalau bos besar meninggalkan warisan kepada putranya seperti dirimu. Anda sangat sopan sekali walaupun kita belum berkenalan secara langsung."
Lanjut Bu Kartika, "Oh iya. Mengenai kamu menghubungi ibumu di Jepang. Sepertinya kamu harus mengurungkan niatmu. Sebaiknya jangan dahulu, karena ada beberapa klan yang mencoba menyadap jalur telepon, khususnya ke telepon ibumu itu."
"Tetapi harus berapa lama lagi aku menunggunya?" tanya Shinto dengan suara yang terdengar gelisah.
"Entahlah. Tapi saya yakin, kalau kamu kuat dalam menghadapi ini semua. Kalau ada apa-apa, bicaralah kepada Evelin. Dia akan memenuhi kebutuhanmu. Tetapi jangan sekali-kali bicara dengan paman Kotaromu." Pesan Kartika lagi.
Tetapi ketika Shinto hendak ingin tahu kenapa ia tidak di perbolehkan bicara dengan pamannya sendiri. Tiba-tiba hubungan pembicaraan mereka terputus.
Lalu tampak sebuah berita, "Maaf. Pembicaraan kita harus di putuskan Tuan Muda, karena baru saja ada yang melacaknya."
Evelin yang turut membaca berita itu terkejut, "Kiranya siapa yang mencoba berani meretas pembicaraan Bos Kartika dengan Tuan Muda ya?"
"Jangan-jangan paman Kotaro." Seru Shinto sambil menoleh ke arah cctv yang berada di dalam kamarnya.
Lalu lanjutnya lagi, "Tetapi, tidak mungkin." Ucapnya pelan.
Kemudian ia mengambil laptopnya sendiri dan mencari dengan nomor ponsel Evelin anak buahnya itu.
Beberapa saat tampak ada nomor yang tak di kenalnya terlihat masuk beberapa saat. Dan nomor itu beberapa kali mencoba masuk tetapi tidak bisa.
Shinto pun meminta Evelin untuk mencatat nomor itu.
Selesai mencatat nomor telepon itu, "Apakah aku harus mencobanya menelepon balik?" tanya Bu Evelin minta pendapat Sinto
"Sebaiknya jangan sekarang. Tunggu beberapa hari lagi saja. Kalau sekarang, nanti malah dia merasa ketahuan dan akan menghilangkan jejaknya." Cegah Shinto kepada Evelin.
"Baiklah Aku menurut saja." Sahut Bu Evelin.
Ketika Evelin melihat ke jam di dinding kamar Shinto, jam tersebut menunjuk angka tujuh.
"Sebentar lagi Pak Bram akan segera kembali." Ucap Shinto yang matanya juga melihat ke arah jam di dinding kamarnya itu.
"Shinto, Aku pinjam kamar mandimu ya."
"Silakan Bu."
Setelah semuanya dirapikan, barulah Evelin masuk ke kamar mandi yang berada di dalam kamar itu.
Tak berapa lama kemudian terdengar suara pintu kamarnya di ketuk dari luar.
"Ayahkah itu?!" sahut Shinto dari dalam kamar.
Tetapi tidak ada suara orang, yang terdengar suara ketukan pintu saja.
Naluri anak itu mengatakan, "Aku harus segera bertindak." Lalu ia segera mengambil senjata andalannya yaitu double stick.
Ia pun segara mematikan lampu kamarnya, pada saat yang bersamaan tampak pintu kamar di dobrak dari luar.
Begitu tangan orang itu baru saja hendak mencari saklar lampu, Sinto segera menghajarnya dengan senjata andalannya tersebut, "Duk!"
Lalu terdengar jeritan kesakitan, "Auw!"
Tak lama kemudian dua orang mencoba masuk ke kamarnya Sinto. Baru kakinya saja melangkah masuk, segera kembali di serang dengan doouble stick lagi. Kembali terdengar jeritan kesakitan.
Kali ini suaranya terdengar beruntun.
Tak lama kemudian terdengar suara dari luar, "Sebaiknya kita masuk bersama-sama."
Sinto pun segera mengunci pintu kamar yang menghubungkan dengan kamar mandi yang berada di dalam kamar. Ia menguncinya dari luar.
Tak lam kemudian terdengar suara tembakan,
"Dar!"
"Dar!"
"Dar!"
Sinto pun membalikkan sofanya sebagai pelindung.
"Siapakah mereka, tampaknya mereka semua memakai topeng." Katanya sambil menebak-nebak.
Lalu ia mengambil sebuah pistol dari balik celananya yang sebelah kiri, dan segera membalas tembakan-tembakan tersebut.
Tetapi tidak ada balasan lagi. Lalu katanya dalam hati, "Apakah orang yang sama dengan yang di mal itu. ataukah dengan pembunuh ayah dan juga kembarannya."
Setelah berkata demikian ia pun mencoba mengintip.
Bersamaan dengan dia mengintip tiba-tiba sebuah senjata pedang di ayunkan ke arahnya.
Dengan sigap Sinto mengelak, walaupun demikian beberapa helai rambutnya terbabat putus juga.
Melihat rambutnya terkena tebasan pedang, Sinto menjadi kalap. Ia pun segera keluar dari tempat persembunyiannya dengan cara mendorong sofa itu ke arah orang-orang yang telah menyusup masuk ke kamarnya itu.
Dan ia pun segera melompat dan melepaskan tembakan beruntun pula ke arah para penyusup itu.
Serta merta mereka semua terkena tembakan, hanya satu yang berhasil mengelak, yaitu orang yang memegang sebilah pedang.
Penyusup yang memegang pedang segera mengayuhkan kembali ke arah Sinto. Tepatnya ke wajah Sinto, tetapi dengan double stick di tangan, Sinto segera melilit ujung pedang itu dengan senjatanya. Lalu menariknya dengan kasar, sehingga penyusup yang memegang pedang jatuh tersungkur.
Sedangkan para penyusup yang terkena tembakan, langsung melarikan diri.
Sinto pun segera menarik kerah leher orang yang jatuh itu, lalu mencoba membuka penutup wajahnya. Tetapi lagi-lagi, tampak darah keluar dari mulutnya.
Orang itu pun mati bunuh diri.
Dari dalam kamar mandi terdengar suara Bu Evelin memanggil-manggil,
"Sinto, tolong buka pintunya."
"Sinto, tolong buka pintunya."
Sinto terkejut, lalu ia segera membuka pintu yang menyambung ke kamar mandi tersebut.
Begitu pintu terbuka, tampak wajah Bu Evelin yang begitu khawatir, "Kamu baik-baik saja. Aku sempat mendengar suara tembakan."
"Aku baik-baik saja Evelin. Sekarang yang terpenting, tolong bantu aku untuk merapikan tempat ini sebelum pak Bram kembali ke sini." Pinta Sinto sambil memegang kedua tangan wali kelas dan juga sekaligus anak buahnya.
"Sebaiknya mayat itu di taruh di kamar mandi dulu saja." Usul Evelin sambil mencoba menarik salah seorang penyusup itu yang kini sudah menjadi mayat.
"Ayo kita angkat berdua." Kata Sinto sambil mengangkat mayat itu.
Begitu sudah di kamar mandi, "Aku penasaran, hendak melihat wajah orang-orang penyusup ini." ucap Sinto sambil membuka penutup wajah orang itu.
Setelah penutup wajah terbuka, "Dari air mukanya sih orang Asia juga. Tetapi sepertinya bukan dari jepang. Mungkin dari Thailand." Kata Evelin sambil mengamati dengan cermat.
"Tunggu dulu, aku baru ingat sekarang, kalau tidak salah organisasi ini pernah di tutup berdasarkan usulan dari organisasi khusus." Ucap Evelin sambil melihat sebuah Pin kecil yang menempel di kerah baju orang itu. rupanya orang itu memakai baju lapis dua.
Dengan cepat Sinto menarik Pin tersebut, lalu katanya, "Sebaiknya kita bereskan kamar ini sedemikian rupa agar nanti ketika Pak Bram datang tidak tanya ini atau tanya itu."
Sinto bergegas menyalakan lampu kembali, tepat lampunya, ponselnya berdering.
"Dari Pak Bram." Kata Sinto kepada Evelin.
"Terima saja, nanti dia malah curiga." Balas Evelin lagi.
Cepat-cepat Sinto menekan tombol On, "Iya, halo Papa." Sahutnya.
"Hei, begini nak. Kebetulan papa lupa ada pertemuan mendadak, jadi papa kembalinya mungkin jam sembilan sampai di rumah ya." Kata Pak Bramana memberikan penjelasannya.