Mendengar itu pak Bramana menahan ucapan Bu Evelin dengan tangannya sambil berkata, "Baiklah. Kamu boleh tidur di sini. Sekalian berkenalan dengan muridmu. Dan juga, aku sebagai ayahnya menghendaki yang terbaik saja buat dirinya."
Kemudian ia kembali menoleh ke arah Sinto, "Papa pergi dahulu. Mungkin baru dua jam lagi kami pulang. Kamu sudah tahukan kode kunci pintunya?"
"Sudah Pa. Sekali lagi, terima kasih." balas Sinto sambil bangkit berdiri. Dan ia membungkukkan badannya ke arah ayah angkatnya itu.
"Nak, sudahlah. Di sini bukan jepang." Kata ayah angkatnya itu yang sekaligus salah satu tangan kanan dari ayah Sinto.
Setelah berkata demikian Pak Bramana Putera kembali menutup pintu kamar tersebut.
Tetapi dia tidak segera pergi. Dia menunggu sejenak di depan pintu kamar.
Rupanya Sinto mengetahui hal itu, lalu katanya dengan suara sedikit di keraskan, "Oh iya, Ibu mau makan apa. Nanti, saya kasih tahu papa. Sepertinya papa lupa menanyakan Ibu mau makan apa." Seru Sinto dengan nada berpura-pura sedikit kecewa dan tidak tahu kalau papanya masih ada di dekat pintu kamarnya itu.
"Apa saja." Sahut Bu Evelin juga dengan nada sedikit agak keras.
Kemudian Sinto bergerak bangun sambil berkata, "Tunggu sebentar ya Bu, semoga papa belum berangkat dan masih ada di bawah."
Saat anak itu berkata demikian, ternyata bayangan ayah angkatnya itu sudah tidak terlihat.
Sinto tetap membuka pintu dan berteriak dari atas, "Papa sudah berangkat?"
"Ada apa Sinto. Jangan berteriak-teriak." Tegur mama angkatnya yang bernama Resty.
"Maaf Ma, tadi papa sempat memberitahu, kalau mau membawakan kami makanan. Aku minta masakan jepang saja, Ma. Potong dari uang jajan juga enggak apa-apa." Ucap Sinto tanpa melanjutkan turun. Malah setelah berkata demikian ia kembali naik.
"Baiklah, nanti mama coba bicarakan dengan papamu, ya." Sahut mama Resty sebelum Sinto menghilang dari balik tembok tangga.
Padahal Pak Bramana baru saja turun. Setelah Sinto menghilang, "Dasar anak tak tahu diri. Bisanya menyusahkan kita saja. Padahal orang tuanya hanya meninggalkan uang untuknya tidak banyak." Gerutu pak Bramana dengan kesalnya.
"Hus. Jangan berkata demikian. Kalau anak itu dengar, kita tidak enakkan. Lagi pula, sepuluh milyar yang di berikan papanya itu sudah cukup ke mana-mana." Sahut istrinya yang bernama Resty itu.
Saat itu kedua putrinya juga ada di situ, dan mereka terkejut, "Sepuluh milyar Ma."
"Kamu sih tidak bisa jaga mulut." Bentak Pak Bramana Putera terhadap istrinya itu.
"Papa yang pelit." Ucap Resty istrinya itu yang mencoba membela diri.
Sebenarnya, percakapan itu secara diam-diam di dengar oleh Bu Evelin dan Sinto.
Mereka berdua pun juga terkejut mendengar hal tersebut. Bahwa Tuan Kenjiwa ayah dari Sinto menitip uang sebanyak itu untuk bekal hidup putranya di Jakarta.
Saat itu Sinto hendak menjerit, kali ini Bu Evelin yang segera menutup mulut anak itu dengan tangannya, sambil berkata, "Maaf tuan muda." ucapnya dengan suara tertahan.
Tak lama kemudian Pak Brahmana bersama keluarganya sudah keluar dan langsung masuk ke dalam mobil.
Tak berapa lama terdengar suara mobil itu pun perlahan-lahan pergi meninggalkan rumah itu.
Kini hanya tinggallah Sinto dan Bu Evelin di dalam rumah yang besar itu.
"Sepertinya sudah tidak ada yang mengganggu kita lagi. Sebaiknya aku lanjutkan cerita tentang saudara kembar ayahmu itu." ucap Bu Evelin dengan bersemangat.
"Tadi sudah sampai mana ya cerita saya?" tanya Bu Evelin sambil mengingat-ingat.
Lalu sahut Sinto, "Membersihkan nama saudara kembar ayahku."
"Oh iya. Nah setelah melakukan pemakaman saudara kembar ayahmu yang bernama Kenjiro. Ayahmu segera bertindak cepat. Ia mengambil alih pimpinan mafia yang di pimpin oleh saudara kembar ayahmu yang bernama Shiroi itu." sampai di situ Bu Evelin diam kembali untuk menarik nafas sejenak. Dan sambil kembali mengingat-ingat lagi.
Sinto diam saja dan membiarkan wanita itu mengatur nafasnya.
Lanjut Bu Evelin lagi, "Awalnya mereka suka dengan ayahmu sebagai pemimpin. Karena ayahmu gesit sekali dalam melakukan sebuah perencanaan dan perjanjian-perjanjian. Tetapi lama kelamaan mereka menjadi kecewa, ketika di mana perlahan-lahan jalur bisnis haram itu diganti menjadi jalur baik. Seperti di hilangkannya perdagangan senjata gelap dan narkoba."
"Apakah ada perdagangan manusia juga, atau organ-organ manusia di pasar gelap? Tanya Sinto penasaran.
"Entahlah yang pasti itu tidak ada, tetapi saya tidak mencium bau itu sampai saat ini. tepatnya Bu Kartika atasan kami." Sahut Bu Evelin sambil mengernyitkan dahinya.
"Kalau organisasi pembunuh bayaran?" tanya Sinto lagi yang membuat Bu Evelin sedikit terkejut.
"Maksudmu?!" tanya Bu Evelin sambil mengkerutkan dahinya.
"Iya, seperti pembunuh dari kembaran ayah serta ayahku sendiri. Apakah mereka dari sebuah sindikat organisasi juga?" tanya Sinto penasaran.
"Wah, ayahmu dan kami saja tidak sampai ke pikiran ke sana. Sedangkan kamu bisa menganalisa sedemikian rupa. Aku semakin salut terhadapmu Sinto." Puji Bu Evelin sambil berdecak kagum.
"Terus para pembunuh saudara kembar ayahku apakah sudah tertangkap?" tanya Sinto lagi dengan suara yang terdengar semakin penasaran.
"Setahu kami tidak pernah tertangkap." Ucap Bu Evelin sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Apakah jangan-jangan pelakunya sama. maksudku orang yang membunuh kembaran ayahku, juga telah membunuh ayahku. Sepertinya pembunuh itu tahu persis keadaan keluargaku. Tetapi kira-kira siapa ya?" kata Sinto sambil menarik rambutnya sendiri karena kesal tidak mendapatkan jawabannya.
"Kotaro. Paman Kotaromu itu. sejak kapan kamu kenal dengannya?" tanya Bu Evelin sambil mengingat-ingat kembali wajahnya. Ketika bertemu di halaman depan rumah keluarga Brahmana.
"Aku kenal dengan Paman Kotaro sejak aku berusia dua belas tahun."
"Jadi, belum lama ya."
Kemudian Bu Evelin mengeluarkan laptopnya lagi yang ia sembunyikan di bawah kolong sofa. Setelah itu ia menyampaikan berita kepada atasannya Bu Kartika.
"Apakah ibu mengenal orang yang bernama Kotaro?"
Kemudian di balas oleh atasnya itu, "Kotaro siapa? Seingat saya ketika pertemuan terakhir di Jepang. Tidak ada orang yang bernama Kotaro dalam perkumpulan klan itu."
Cat itu ditunjukkan ke Sinto.
Anak itu pun membacanya.
Lalu ia membalasnya, "Menurut ayahku. Dia adalah adiknya. Adik kandungnya."
Tak menunggu lama. Bu kartika membalasnya, "Beri aku waktu setengah hari. Nanti akan aku beri jawabannya. Berhati-hatilah. Jaga dia baik-baik." Perintah itu ditujukan kepada Bu Evelin.
"Baik." Balas Bu Evelin yang di ketik oleh Sinto sendiri.
Kemudian di balas lagi oleh Bu Kartika, "Kalau ada yang lain telepon saja. Mumpung di tempat kalian aman."
"Bu, apakah saya boleh mencoba menghubungi ibu saya lagi?" tanya Shinto meminta pendapat kepada Bu Evelin yang merupakan anak buahnya.
"Menurutku sih lebih baik aku minta petunjuk dahulu dari Bu Kartika."
Tetapi kali ini Bu Evelin menggunakan telepon untuk menghubungi atasannya itu.
Mereka terlihat berbicara sejenak setelah itu ponselnya Bu Evelin di berikan kepada Shinto.
"Bos, atasanku hendak bicara denganmu."