Gray memimpin perjalanan bawah tanah itu. Tangan kirinya memegang senter, sedangkan tangan kanannya mencengkeram erat gagang pisau berburunya. Dalam lorong yang tidak terlalu besar, akan sangat tidak efektif apabila menggunakan pedang berukuran panjang untuk menghadapi lawan.
Mereka terus menyusuri lorong itu, kadang berjalan lurus, kadang berbelok tajam, dan sesekali menurun tajam atau menanjak. Dindingnya yang dari tanah tampak kuat sekaligus rapuh, seakan-akan bisa runtuh kapan saja.
Helena tampak kelelahan, keringat membasahi pakaiannya, napasnya pun mulai tersengal. Sedang Bu Yola dan Robert sepertinya tidak ada tanda-tanda kelelahan, mungkin ini disebabkan Helena hanyalah manusia biasa, berbeda dengan dua orang itu.
"Gray, kau tidak kelelahan?" tanya Helena. "Minum ini jika kau haus"
Gray mengambil botol minuman dari Helena, meminumnya beberapa teguk, lantas berjalan kembali. Sepertinya kondisi fisiknya masih cukup kuat untuk berjalan lebih jauh lagi.
"Kenapa ada tetesan air? Apa kita di bawah sungai?" gumam Robert heran.
"Kemungkinan besar begitu, karena jalur kita menuju arah sungai" jawab Helena menyeka keringat di dahinya.
Akhirnya, di ujung jalan sorot cahaya senter dari Gray mengenai sebuah pintu besi yang menutupi lorong itu.
Gray dibantu Robert terpaksa merusak pegangan pintunya, gara-garanya pintu itu tidak bisa dibuka.
Gray pelan-pelan membuka pintu itu, mengintip berhati-hati, waspada jika ada jebakan menanti mereka. Setelah memastikan tidak ada apa-apa, ia melangkah maju dulu.
Ruangan luas menyambut mereka berempat, cukup luas untuk ditempati puluhan orang, atap maupun dindingnya terbuat dari batu yang kokoh. Terdapat altar pemujaan di salah satu sudut ruangan, meja panjang dengan patung aneh dan lilin-lilin yang sudah hancur, sepertinya sudah ditinggal dalam waktu yang lama.
"Mereka ini memuja iblis apa sih? Jelek begini" kata Helena mengamati altar pemujaan itu.
"Itu patungnya sudah rusak, mana ada iblis yang mau disembah dengan patung rusak seperti itu," sahut Bu Yola sinis.
Gray membuka pintu lainnya, dan melihat ada lorong lain. Ia pun menyuruh teman-temannya untuk segera mengikuti dirinya.
Perjalanan yang mereka rasakan, lebih panjang daripada lorong pertama dan ini membuat mereka semakin kelelahan.
"Tak ada jebakan, tak ada sesuatu yang menyerang, ini aneh" batin Gray semakin waspada.
"Sudah dua jam lebih kita berjalan di lorong ini, dan tak ada tanda-tanda akan berakhir, berbalik pun percuma juga terlampau jauh" gerutu Bu Yola, ia memandang jam tangan di pergelangan tangan kirinya. "Kurang dari tiga jam lagi fajar pun menyingsing"
Tiba-tiba Robert berhenti mendadak, Helena yang berjalan tepat di belakang dirinya membentur punggungnya.
"Aduh, kenapa berhenti mendadak sih?" gerutu Helena berkacak pinggang.
"Oh maaf Helena... Cuma aku merasa kalau lorong ini menuju ke arah sekolah kita" kata Robert mengemukakan pikirannya. "Dan jika membandingkan dengan saat kita naik mobil dengan berjalan kaki, jarak antara sekolah dan rumah ini... Mungkin, sebentar lagi kita akan segera sampai tepat di bawah sekolah"
"Kau benar Robert" Gray berlari dan berhenti di ujung lorong, sebuah tangga besi yang sedikit berkarat menempel di temboknya. Ia naik cepat-cepat, agak kesulitan ketika membuka tutup lubang, tapi akhirnya ia pun berhasil dan berdiri di atas ruangan gelap.
Gray lantas berbalik, membantu teman-temannya yang naik bergantian.
"Ini gudang sekolah?"
"Sepertinya kelas tak terpakai..."
"Bukan, ini ruangan tertutup di lorong gelap," sahut Bu Yola meraba-raba tembok mencari saklar lampu ruangan.
Ketika lampu menyala, tampak jelas ruangan itu. Lantainya dari marmer berwarna putih. Terdapat bangku-bangku kayu panjang, bangku-bangku itu dijejer rapi kanan kiri, di tengahnya diberi jarak lumayan lebar. Di antara bangku-bangku, tepat di tengah ruangan ada lingkaran yang di tengahnya tergambar simbol pentagram. Di depan, ada altar dengan patung satyr keemasan, tangannya kanannya terangkat, dua jarinya menunjuk ke atas, sebaliknya tangan kirinya tertuju ke bawah, kedua jari menunjuk bawah, di kanan dan kirinya terdapat dua anak kembar dengan sikap memuja. Dinding ruangan penuh akan potret iblis-iblis beserta simbolnya.
Tapi, semuanya sudah usang dan berdebu, mengisyaratkan tempat ini sudah tak digunakan lagi dalam kurun waktu yang lama.
"Tak ku sangka ada seperti ini di sekolah kita," kata Helena tertegun.
"Pantas saja auranya berbeda, dan sering kali aku tertarik memasuki ruangan ini," gumam Bu Yola gembira, dirinya mengangguk hormat kepada patung logam keemasan di atas altar.
Robert berdiri gugup, dia meminum kembali darah dari botol air minumnya.
Helena mengernyit jijik ketika melihat beberapa bangkai ular di salah satu sudut ruangan.
Gray menyelidiki altar pemujaan, mengamati sambil bersedekap ke arah patung logam keemasan.
Bu Yola menyipitkan mata, ia sepertinya menaruh curiga kepada Gray.
Gray mengangkat patung emas itu dan memeriksa bagian bawahnya. Dia mencium patung itu, agak berbau seperti coklat.
"Hei, letakkan itu! Kau ini sungguh tidak memiliki rasa hormat!" bentak Bu Yola menghardik Gray.
Gray menoleh ke belakang, dia mencibir pada gurunya itu.
"Aku ini musuh kalian para iblis dan setan, jadi buat apa aku menghormati kalian? Hanya untuk yang kuat aku menaruh rasa hormat," ujar Gray tajam.
Bu Yola terdiam, namun dia masih tidak suka atas perlakuan Gray pada patung iblis itu.
Gray meletakan patung itu kembali, setelah memastikan bahwa simbol itu memang simbol pangeran neraka.
"Yuk kita pulang, pagi akan tiba sebentar lagi" ajak Gray pada teman-temannya.
"Pulang? Kita balik lagi ke lorong tadi?" tanya Robert sedikit mengeluh.
"Aku tidak mau" sahut Helena melotot ke arah Gray.
"Aku juga" tukas Bu Yola setuju.
"Aku juga tidak mau, kita lewat saja pintu ini," tanpa aba-aba Gray merusak lubang kunci pintu itu dengan pisau berburunya, tak berapa lama pintu itu rusak. Lalu, dia berjalan melalui pintu tanpa ada perasaan bersalah sama sekali.
Bu Yola, Helena, dan Robert saling bertukar pandang. Mereka tidak tahu kalau Gray senekat itu merusak properti sekolah.
"Ayo cepat keluar, apa kalian ingin disalahkan nantinya?" tanya Gray berdiri di koridor menyelipkan pisau berburu di pinggangnya kembali.
Buru-buru ketiga orang itu berjalan keluar dari ruangan.
Sesampainya di depan sekolah, Bu Yola mengeluarkan sayap di punggungnya. Dia terbang untuk mengambil mobilnya yang ditinggalkan di rumah kumuh di dekat jembatan.
"Wew, aku pertama kalinya melihat Succubus terbang. Sungguh hebat!" kata Robert menyatakan kekagumannya.
Helena tak mempedulikannya, dia mengecek smartphone miliknya. Dan, melihat situs maupun aplikasi berita.
"Apa yang membuatmu tertarik menelusuri misteri ini?" tanya Gray tiba-tiba.
"Hanya tertarik memecahkan misteri yang belum terpecahkan, itu saja" jawab Helena masih menatap layar smartphone-nya. "Kau tadi tidak titip pedangmu kepada Bu Yola?"
"Iblis tak kan sanggup membawanya, sudah ada pelayan ku yang mengambilnya untukku" balas Gray lantas menguap merasa ngantuk
"Anu... Sebaiknya aku pulang dulu ya, aku takut nenekku khawatir jika aku tidak pulang" kata Robert izin pamit.
Gray dan Helena mengangguk dan melambaikan tangannya ketika Robert berjalan menjauh.
"Ahh... Aku juga mau pulang" kata Gray menguap lebar-lebar sampai air matanya keluar karena terlalu letih dan mengantuk, berbalik pergi.
"Tunggu, apa aku boleh meminta bantuan mu lagi?" tanya Helena sedikit memohon.
"Apa?" kata Gray balik bertanya.
"Setelah kau selesai beristirahat, bisakah kau pergi ke rumah temanku nanti?"
"Tentunya tidak gratis, dan itu tergantung seberapa serius kasusnya nanti" gumam Gray malas.
"Dia keluarga kaya, ayahnya anggota parlemen dan ibunya CEO perusahaan multinasional, jadi kau pasti mendapat bayaran lebih" tukas Helena lelah.
Mata Gray mendadak menyala terang, seakan rasa kantuknya menguap begitu saja. "Baiklah, jadi apa yang aku lakukan?"
"Sebelum itu, tak bisakah kau menolong orang secara gratis?"
"Tidak, aku butuh uang untuk hidup. Jika kau merasa keberatan kau bisa meminta bantuan kepada ordo exorcist, mereka kadang tidak meminta bayaran" timpal Gray enteng.
Helena tidak tahu Gray itu orang yang matrealistis atau memang hanya bersikap profesional sebagai pengusir setan, namun ia tidak peduli terlebih Gray mau membantu temannya walau entah berapa banyak bayaran yang ia minta, dalam permintaan kasusnya semalam saja ia harus merogoh koceknya dalam-dalam untuk membayar Gray .
"Jika tidak ada lagi yang ingin kau katakan, aku beristirahat dulu. Kirim saja alamat temanmu itu ke email ku, petang nanti aku akan mampir ke rumahnya, bye" Gray berjalan menjauh sempoyongan karena sudah tidak kuat menyangga tubuhnya yang lelah.
Helena segera menelpon keluarga temannya dan mengatakan kalau seorang pengusir setan yang kompeten akan datang petang nanti.
Sementara itu, di kediaman rumah teman Helena. Sesosok gadis berkulit pucat cantik sedang duduk di depan cermin sambil menyisir rambutnya yang panjang. Tak ada yang aneh darinya, tak ada bukti kalau dia sedang diganggu mahkluk astral, tapi ketika ia selesai berdandan dan keluar dari kamarnya. Bayangan dirinya di cermin masih belum meninggalkan kamar, raut wajah bayangan itu seolah ketakutan dan mulutnya terbuka seakan ingin meminta tolong tapi tak ada suara yang keluar.
-----
Boleh ngemis bintang gak?
gak boleh ya!
ya udah deh, gak pa pa.
Asal kalian bahagia๐๐๐
(๐๐๐)
-----