Perempuan dengan baju gamis berbahan kain batiknya yang sedikit lusuh, dan kerudung hitam penutup kepalanya, dan senyumnya yang hangat, perempuan yang telah melahirkan dan membesarkan Sari selama ini.
Ia membesarkan Sari seorang diri, saat duduk di kelas enam sd ayah Sari telah meninggalkan keluarga kecilnya untuk selama-lamanya. Sejak itu ibu Sari harus kerja keras menafkahi Sari dan adik laki-lakinya yang kini duduk di bangku kelas dua SMA.
Sari sangat menyayangi ibunya, apalagi ia tahu betul bagaimana perjuangan ibu mencari uang demi sekolah dan kehidupan sehari-hari mereka, maka dari itu tak berat bagi Sari sebagian gajinya harus dikirim ke ibunya di tiap bulannya.
Sari sangat takut mengecewakan sang ibu, karena ibunya menggantung harapan besar pada Sari agar memperbaiki ekonomi mereka, dan kini setelah Sari merantau dan bekerja, Sari menjadi cerita yang dibanggakan ibu pada tetangganya di kampung.
Tak ingin hanya mengingat dan menyiksa diri dengan rasa rindu, Sari segera meraih ponselnya, dan menelepon sang ibu di kampung.
"Halo mak," sapa Sari.
"Halo Sari, gimana kabar nak? Sehat," tanya ibu gembira mendengar suara Sari.
"Sehat, mak dan adek bagaimana?"
"Mak sama adek sehat, cuma biasa adekmu habis jatuh dari sepedanya tu,"
"Lho kok bisa, tapi gak papa kan mak?" Tanya Sari khawatir.
"Ya gak, cuma jadi banyak tidur aja haha," mak tertawa.
"Ah itu sih dari dulu," Sari ikut tertawa.
"Eh Sari, kamu belum tahu ya kabar heboh di kampung?" Suara mak bersemangat.
"Kabar heboh apa mak?" Sari jadi penasaran.
"Itu lho anaknya bu Darti yang rumahnya di belakang pak Raden," jawab mak.
"Si Widi mak, emang kenapa dia?" Sari bingung.
"Itu dia baru pulang dari tempat rantaunya."
"Ohh.. pasti bawa duit banyak ya mak, pasti senanglah bude Darti".
"Mending kalau duit, lha ini bawa perut gede," Ucap mak dengan nada jengkel.
"Maksudnya hamil mak si Widi?" Tanya Sari.
"Lha iya apalagi kalau perut gede."
"Ya bagus donk mak, bentar lagi bude bakal dapat cucu dong,"
"Bagus apa, orang nikah belum udah hamil duluan, eh kabarnya yang menghamili suami orang" ibu Sari semakin panas menceritakan tetangganya.
"Masa sih mak, jangan fitnah ga baik mak," Sari mengingatkan ibunya.
"Ini fakta lho, kemarin istri dari laki-laki yang menghamili Widi datang marah-marah,nyuruh Widi gugurin kandungannya."
"Kasian si Widi mak, kok tega istri orang itu." Sari merasa iba atas apa yang menimpa Widi teman masa kecilnya.
"Itulah, jadi selama ini Widi kirim uang banyak-banyak hasil dari macarin suami orang, PELAKOR kalo kata orang sekarang", mak semakin memanasi.
"Yaudah mak jangan ikut campur, biar aja mereka urus masalahnya sendiri," Sari tak ingin maknya terus membicarakan orang lain.
"Iya.. mak mohon sama kamu jangan sampai ya kayak begitu, jaga diri kamu baik-baik, kalau bisa nikah dulu baru hamil, kan sekarang kamu udah cantik, ya harus dapat yang lumayanlah" pinta mak pada Sari.
Sari tertegun mendengar nasihat ibu, seketika ia teringat atas apa yang telah ia lakukan bersama Abra, ia merasa sudah melukai hati ibunya, hanya bedanya Widi sudah ketahuan sedangkan ia tak ada yang tau sama sekali, beruntung ia tak hamil karena keesokan hari setelah ia berhubungan dengan Abra ternyata tamu bulanannya tiba, ia pun legah dan memberi tahu Abra.
"Sari… hallo ..Sari," ibu memanggil di seberang sana.
"Eh iya mak, maaf… Iya bu Saru ingat pesan ibu," jawab Sari.
"Makasih ya Sari uang bulanannya, ibu bisa beli anting emas akhirnya," ibu gembira atas uang yang dikirim Sari.
"Sama-sama mak, doakan Sari banyak rezekinya ya mak, biar mak bisa beli kalung juga".
"Iya Sari, mak doakan rezeki kamu lancar ya."
"Yaudah mak, udah dulu ya," Sari mematikan teleponnya.
Sari tak bisa menahan air mata yang sudah terbendung di pelupuk mata nya, kini air mata itu mengalir dipipi mulus Sari, Sari terharu akan kebahagiaan ibunya, ia begitu bersyukur karena sudah bisa membuat senyum ibunya kembali.
Tak ingin larut dalam kesedihan, Sari segera memoles bedak compact tipisnya di wajah lembabnya, dan menambahkan lip tint pink segar di bibir indahnya.
Lalu ia memandang ke arah jendela, dimana kamar Sari tepat di bagian depan, yang jendelanya langsung menghadap halaman yang di penuhi daun-daun mangga dari pohon mangga tetangganya, Sari pun tergerak ingin membersihkan daun-daun yang bertebaran di teras Asramanya.
Karena sudah sore, Sari sudah rapi dengan baju tidur pink motif bunganya, yang membuat ia terlihat seperti gadis ABG yang masih SMA.
Ia mengambil sapu lidi di samping rumahnya, dan perlahan menyapu daun-daun kecoklatan yang bertebaran, Sari memang gadis rajin dan bersih, kebiasaannya yang sering beres-beres dibawanya sampai ia di Asrama dan tempat ia bekerja.
Daun yang bertumpuk itu, dimasukkannya dalam kantong plastik cukup besar, dan akan dibuang ditempat sampah depan rumah, suara mobil berhenti menghampiri Sari, namun ia tak peduli mobil siapa yang berhenti hingga suara Ica mengagetkannya.
"Sari.. tumben rajin banget," Ica turun Sari mobil menghampiri Sari.
Sari pun menoleh kebelakang, deg.. ia sedikit terkejut setelah tahu itu mobil Abra yang baru saja mengantar Ica.
"Makasih ya mas Abra," Ica melambaikan tangan kepada Abra.
Sari tersenyum ke Abra, begitupun Abra membalas senyuman Sari dengan tulus. Hati Sari merasa cemburu ketika tahu Ica baru saja bersama Abra, namun Sari menepis kecemburuannya, ia yakin Abra akan memberii alasan kenapa bisa bersama Ica.
Sari segera masuk kedalam rumah dan membersihkan kedua tangannya yang sedikit kotor, 'Ica sama Abra habis dari mana ya,' batin Sari gundah.
Sari termenung di sudut kamarnya, ia gundah menunggu kabar dari Abra untuk menjelaskan kebersamaanya dengan Ica tadi, itulah Sari ia tak pernah ingin memulai menghubungi Abra, karena rasa malunya, namun itulah yang membuat Abra jatuh cinta padanya, Abra menyukai perempuan yang kalem, dan tidak agresif seperti Sari.
Ting… layar ponsel Sari menyala tanda sebuah pesan masuk.
'jangan cemburu ya.. tadi ga sengaja ketemu Ica di cafe, dia minta nebeng pulang,' pesan singkat dari Abra.
Sari tersenyum membaca pesan itu, ia sangat yakin kalau Abra memang cuma mencintai dia, dan menyayangi dia dengan sungguh-sungguh.
Kini bayangan akan Abra berputar di kepala Sari, ia terbayang akan indahnya saat di hotel bersama Abra, tak munafik Sari menginginkan hal itu lagi, rasanya ia harus bekerja keras menahan rindu yang memenuhi dadanya hingga bisa untuk bertemu Abra minggu depan.
"Elo dari mana ca?" Wati bertanya ke Ica.
"Habis ketemu Abra," sahut Ica.
"Kok bisa, dimana?" Wati penasaran.
"Ya bisalah, di cafe nya dia tadi, dia ngajak gue ke cafe," Ica berbohong.
"Asekk.. elo makin dekat ya sama Abra," Wati melempar bantal yang sejak tadi ditidurinya.
"Ya Iyalah.. seorang Ica harus bisa menaklukan hati pria," ucap Ica sombong.
"Emang lo beneran suka sama Abra?"
"Hmm.. suka buat jadi pacar sih gak juga, cuma gue penasaran aja gimana sih rasanya bisa bobok bareng sama Abra, hahaha…." Ica tertawa lepas.
"Maksud elo ca?" Wati tak mengerti akan perkataan Ica.
Ica pun menarik Wati dan membisikkan sesuatu ke telinga Wati, tiba-tiba Wati terkekeh geli.
"Serius lo ca?" Wati masih tak percaya akan apa yang Ica katakan.
"Makanya lo coba dehh!" Ica bergegas masuk kamar.
Wati hanya terdiam, dan tiba-tiba ia teringat akan laki-laki yang bermesraan dengannya malam itu, 'apa dia orangnya,' desis Wati nakal.
Sementara Sari yang menguping pembicaraan mereka dibalik tembok kamar, hanya bisa menerka-nerka apa yang sedang dibahas oleh kedua temannya, ia hanya sedikit khawatir saat nama Abra beberapa kali disebut, namun ia tetap pada pendiriannya percaya akan apa yang kekasihnya katakan tadi.