Hari ini ada pertunjukkan band di mall tempat Sari bekerja, kini bangunan itu penuh dengan orang-orang yang sibuk kesana kemari dalam mall bertingkat lima itu.
Karena ada acara, jadi pengunjung ke salon pun jadi lebih ramai.
Terlihat customer keluar masuk dari pintu 'Permata Beauty Salon', keempat karyawan itu sibuk mengurus kliennya masing-masing, Wati yang dengan telaten melakukan treatment kecantikan kuku pada cece mei, Ica sibuk dengan alat catokan yang berusaha merubah rambut kribo kliennya agar terlihat lurus dan lembut, begitupun Dita ia dengan lembut memijat kepala yang sudah dilumuri crem berwarna coklat
di kepala ibu-ibu yang memejamkan matanya menikmati setiap sentuhan Dita.
Dimana Sari, oh ternyata Sari tengah asik di kamar yang dilengkapi alat-alat canggih, dia tampak sedang membelai wajah wanita yang matanya tertutupi kapas, iya ini salah satu treatment yang sangat diminati kaum hawa, apalagi kalau bukan facial yang merilexkan wajah dan membuat aura wajah menjadi bersinar kembali.
"Permisi.." ucap seorang perempuan muda membuka pintu salon.
"Iya mari silahkan, ada yang bisa dibantu?" Tanya Asya yang tak lain pemilik Salon, yang sejak tadi berada di meja kasir menggantikan karyawannya yang tengah sibuk.
"Saya mau make up, ada acara keluarga nanti jam tiga, apakah bisa?" Tanya perempuan yang kira-kira usianya 18 tahunan.
Dengan senyum yang tulus, Asya segera menjawab "oh tentu,silahkan tunggu sebentar ya," pinta Asya sopan sambil mempersilahkan kliennya duduk di sofa yang nyaman itu.
Karena karyawannya tengah sibuk masing-masing, maka Asya yang akan mengerjakannya sendiri, ia memang ahli dalam memoles wajah, terlihat dari tampilannya sehari-hari yang selalu stylish dengan make up bold nya yang rapi dan enak dipandang.
Asya meraih ponselnya segera dan ia wemenghubungi salah satu kontak di ponselnya.
"Hallo.. kamu ke sini ya bantuin mbak!" Suara Asya terdengar pelan dan segera mematikan teleponnya, ia tak ingin kliennya resah karena lama menunggu.
Sambil menyiapkan alat-alat yang akan digunakannya, Asya mengajak kliennya ke suatu ruangan, dimana disana sudah tersedia cermin besar yang di sisi-sisinya dilengkapi lampu lampu manis yang membuat ruangan makin terang dan cerah.
Tak lama kemudian, seorang laki-laki membuka pintu salon, dan menduduki kursi di depan meja kasir, laki-laki itu tak lain Abra, yang disuruh Asya menggantikannya sementara.
Kurang lebih satu jam setengah, Asya selesai menyulap wanita yang datang dengan wajah polos kini tampak bak artis bollywood yang siap datang ke pesta.
"Makasih ya dek udah mau kesini," Asya menyapa Abra yang duduk di sana.
"Aman itu mbak, lagian ga lama juga" sahut Abra.
Asya tersenyum, "hmm.. mereka masih sibuk, kalau kamu tunggu disini sampai jam lima gimana?" Asya merayu adiknya.
Abra hanya mengangguk-anggukkan kepalanya, tanda ia setuju tapi setengah hati, "oke… bu Asya," goda Abra ke kakaknya.
"Anak manis, sekalian kamu kan bawa anak-anak pulang nanti, " Asya mencolek dagu Abra dan tersenyum meninggalkannya.
"Hmm.. siap bu."
"Mbak ada urusan, jadi mbak harus pergi sekarang," Asya melambaikan tangan di balik pintu.
Abra memang adik yang baik, dan nurut akan permintaan kakaknya, karena dia tahu betul semenjak orangtuanya meninggal, Asya lah yang memenuhi semua kebutuhannya, beruntung Asya bersuamikan laki-laki kaya yang baik hati jadi terjamin deh hidupnya dan Abra.
Setelah kurang lebih dua jam bersembunyi dibalik ruangan itu, kini Sari menampakkan wajahnya, nampaknya ia telah selesai dengan wajah kliennya, ia pun mencuci tangan dan meminum segelas air putih yang sejak tadi diinginkannya.
"Kamu kemana saja," suara yang tak asing bagi Sari menghentikan minumnya.
"Mas Abra.. "
"Ssst.. jangan keras-keras nanti yang lain dengar," Abra menempelkan jari telunjuknya ke bibir Sari.
"Mas kok bisa disini?" Tanya Sari setengah berbisik.
"Bisa donk, kan aku kangen kamu," goda Abra.
Wajah Sari langsung merona akan ucapan Abra, ia merasa melayang saat Abra mengatakan rindu padanya, "mas bisa aja," ucap Sari pelan.
Abra segera memeluk Sari dari belakang, ia tak ingin menyia-nyiakan waktu ini walau hanya sebentar, begitupun Sari, ia amat pasrah akan pelukan Abra, pelukan yang memang diinginkannya.
"Sari.. klien manggil tuh," Suara Wati mengagetkan kedua insan yang tengah berpelukan itu.
Refleks Sari melepaskan tangan Abra yang melingkar erat di pinggangnya, "mas.. aku fokus kerja dulu ya," pinta Sari lembut.
Abra memasang wajah cemberut seperti anak kecil ditinggal ibunya, "Ehem.. tolong bawakan saya air putih ya ke depan!" Pinta Abra ke Sari, saat Wati sudah berada didekat mereka.
"Baik mas," jawab Sari pelan.
Ia pun bergegas mengambilkan gelas bersih untuk diisi air permintaan Abra, dan segera mengantarkannya ke meja kasir tempat Abra duduk, Sari meletakkan gelas itu di depan Abra, dan dengan cepat Abra menyambut gelas itu dan memegang tangan Sari yang masih menempel pada gelas itu.
'menjijikan,' desis Ica sinis yang tak sengaja melihat mereka dari cermin yang ada di hadapannya.
Sari tak ingin terlena akan hadirnya Abra di ruangan ini, ia harus bersikap profesional saat bekerja, ia segera berlalu meninggalkan Abra tanpa senyum sedikitpun karena ia tak ingin temannya curiga akan hubungan mereka berdua, jadi sebisa mungkin Sari bersikap layaknya karyawan kepada bosnya.
Waktu pulang pun tiba, mereka bergegas bersiap-siap, karena tak ingin membuat Abra menunggu lama, dan lagi-lagi seperti biasa Dita kebagian mengunci pintu salon.
"Mas Abra.. tungguin donk!" Ica meraih tangan Abra yang berjalan lebih dulu.
Abra hanya diam saat Ica memegang tangannya, ia tak langsung menolak karena tak ingin Ica merasa kecil hati, sementara Sari terdiam dan tertunduk melihat tingkah Ica yang berani kepada Abra.
"Mas.. jadi kan yang kemarin mas janji sama aku?" Ica bertanya manja kepada Abra.
"Saya lihat dulu jadwalnya nanti ya," jawab Abra, yang melihat kepada Sari di belakangnya.
Sari membuang muka, seolah tak peduli akan siapa yang ada di depannya ini.
Tiba-tiba Abra melepas tangannya yang digenggam Ica sejak tadi "handphone saya bergetar." ucap Abra.
Ica kesal akan Abra, ia langsung melihat ke arah Sari, ia tak terima Abra seperti risih saat Ica memegangnya dan itu membuat Ica merasa dipermalukan di depan Sari.
"Aww.." rintih Ica yang terjatuh di lantai.
Refleks Sari, Dita dan Wati membantu Ica, sementara Abra masih sibuk bicara pada telepon selulernya.
"Kakiku sakit kayaknya keseleo," Ica menunjukkan memegang kakinya.
"Jadi gimana kamu bisa jalan ga?" Tanya Wati.
"Coba berdiri pelan-pelan ca!" suruh Dita.
"Aww.. aw.. sakit, aku ga bisa, dibawa jalan sakit" rintih Ica.
Sari menghampiri Abra, dan meminta Abra menggendong Ica ke mobil, dengan senang hati Ica menyambutnya karena memang itu yang diharapkan akhirnya rencana konyolnya berhasil bikin Sari makin cemburu sama dia.
'benar-benar keterlaluan ya Ica, bisa-bisanya dia pura-pura sakit supaya Abra perhatian dan gendong dia.' batin Sari kesal, ia tahu betul bagaimana sifat Ica sebenarnya.
Perasaan Abra tak enak saat ini, satu sisi ia tak mungkin tak menghiraukan Ica, dimana jiwa pelindungnya terhadap wanita saat melihat wanita tak berdaya, tapi satu sisi ia cemas akan kecemburuan Sari, kekasihnya yang jelas melihat ia saat menolong dan terpaksa menggendong Ica tadi.
Sesampai dirumah, mereka masuk kedalam kamar masing-masing, begitupun dengan ica ia bahkan tampak lancar dan sehat melangkahkan kakinya ke kamar.
"Lho ca uda ga sakit?" Tanya Wati heran.
"Lebay lo, di kampung biasanya lo main terjun-terjunan dari pohon," Dita sinis dan tak peduli akan Ica.
"Kaki lo ga sakit ca?" Sari ikut bertanya.
"Ya gak lah, kan gue cuma pura-pura aja tadi, gue mau lihat mas Abra tu peduli gak sama gue," Ica menjawab sinis.
"Korban sinetron lo ca," Wati terkekeh.
"Terkadang kita itu harus bersandiwara untuk memancing lelaki say" seru Ica.
"Ikan kali ah di pancing," Wati makin geli.
"Ikannya gue, kucingnya dia terus gue berharap bisa disantap sama dia hahaha," Ica tertawa puas.
Sari tak ingin semakin panas akan gurauan Ica, ia pun segera masuk ke kamarnya, dan menutup pintu kamar dengan sedikit hempasan.