Chereads / Akad Yang Tak Berjodoh / Chapter 24 - Bab 24 [Sang Penawar Tak Terduga]

Chapter 24 - Bab 24 [Sang Penawar Tak Terduga]

"Terkadang, hal menjengkelkan cukup ampuh menjadi penawar atas luka yang membengkak. Dan hadirnya, kerap akan menjadi candu untuk dirindui."_ AYTB

____________________________________

Entah sudah memasuki menit yang ke berapa. Ratih terus memperhatikan Erlina yang duduk termangu menatap dua pasutri baru yang saling membercandai antar satu sama lain di atas panggung resepsi. Di tengah mereka terdapat Danu sebagai pusat atas alasan merekahnya tawa yang sedap dipandang. Pasutri itu di apit oleh dua keluarga besar yang juga ikut bercengkrama. Di atas panggung pengantin yang begitu memukau. Betapa harmonisnya itu tampak oleh sepasang mata beribu tamu undangan.

"Er?" Ratih menyentuh bahu Erlina yang hanya dibalas lirikan kosong dari empunya. "Kenapa?" lanjutnya.

Erlina menggeleng. "Aku ke toilet bentar, ya?"

Erlina langsung pergi, mengambil langkah menuju sebuah lorong yang menghubungkan ke toilet perempuan. Gadis itu seolah lari dari pertanyaan yang segera terlontar dari sahabatnya. Padahal dirinya tahu betul, mau sejauh apa pun ia berusaha melarikan diri; fakta akan hatinya yang patah tak bisa dipungkiri.

Ratih memerhatikan sekeliling. Ada begitu banyak tamu undangan yang hadir. Jika dilihat dari bagaimana penampilan memukau dengan pakaian bermerek melekat di tubuh mereka; tampaknya semuanya berasal dari kalangan atas dengan pengaruh yang tak bisa diremehkan.

Ratih tetiba jadi merasa kecil. Ia kini sendirian berada di tengah kerumunan orang-orang besar itu. Teman-teman kampusnya sudah banyak yang pulang, ada pula yang belum datang. Sebagian besar dari mereka ada yang lebih memilih traveling dadakan di gedung hotel berbintang yang bukan sembarangan orang bisa memasukinya.

Netranya beralih ke arah Nilam yang dengan senyum merekahnya setia menghias wajahnya. Keanggunan Nilam semakin bersinar dalam balutan gaun pengantin dan riasan ala ratu muslimah. Betapa beruntungnya Nilam, sahabatnya itu berjodoh dengan Karim; seorang anak konglomerat yang sudah mapan. Hartanya tak akan habis sampai tujuh turunan. Ah berbicara perihal harta, Ratih tetiba merasa berat diri. Mengingat bagaimana akan betapa beratnya hisaban yang akan ia terima kelak. Bagaimanalah ia akan mempertanggung jawabkan dirinya dihadapan-Nya yang Maha Kuasa.

Tak berselang lama, kini Erlina telah bergabung bersama Ratih. Gadis itu menyesap fruit juicenya hingga tandas setengah. Napasnya tampak memburu, entah apalah yang diperbuat gadis ini di toilet hingga kembali dengan napas tersengal.

"Pelan-pelan, Er. Gak ada yang ngajak rebutan," tegur Ratih pelan. "Udah baikan?" lanjutnya.

"Rat, kali ini aku gak salah lihat. Aku lihat Mas Hakim ada di hotel ini. Tadi saat aku ke balkon sebentar, aku lihat dia habis dari parkiran dan naik lewat lift eksekutif yang hanya disediakan untuk orang dengan jabatan tertinggi," cerocos Erlina tanpa jeda dengan menampilkan wajah terseriusnya, kali ini ia tidak mau dianggap salah lihat lagi. Yang jelas itu merupakan kedoknya dalam mengalihkan topik pembahasan.

"Iya, kemungkinan benar dia. Kamu gak salah lihat." Ragu Ratih menjawab.

"Tapi ngapain ya dia di sini? Ratna belum ada kabaran sama kamu kalau seandainya ia berkunjung ke sini?"

Ratih menggeleng sebagai balasan. Jujur, ia masih ragu dengan ucapan Erlina. Jika sungguhan Hakim di sini, dan anak yang dibawanya tempo hari adalah anaknya, pastinya Ratna juga ikut membersamai. Tapi hingga kini, tak ada kabar apapun dari adkinya itu jika ia berada di kota yang sama. Jika memberi kabar saja tidak bisa, apalah keinginan dapat bersua berobat rindu dengan kakaknya.

"Assalamu'alaikum. Gadis-gadis cantik. Kami boleh ikut bergabung?"

Ratih dan Erlina sontak menoleh pada sumber suara dan menjawab salam serentak. Keduanya melemparkan roman yang berbeda. Erlina dengan wajah jengahnya dan Ratna dengan wajah tidak tahunya dibalik ekspresi dingin. Ratih mengenal sesorang yang mengekor di belakang, tapi tidak mengenal pria yang mengajukan tanya.

"Aduh maaf ya pak, Zibran. Sepertinya tempat kami tidak memungkinkan. Silakan cari tempat lain," jawab Erlina dengan nada ketus khas menyebalkan miliknya.

"Di sini masih ada bangku kosong. Biarin gue duduk di sini." Yang dipanggil Zibran baru saja akan duduk ketika kursi dengan cepat dimonopoli oleh Erlina, ditarik. Menyebabkan pria bersangkutan mengurungkan niatnya untuk duduk.

"Ini kursi untuk pak Khalil. Silakan Anda cari sendiri kursi yang lain," sarkasnya, "mari silakan duduk pak Khalil," lanjutnya dengan nada suara yang melembut. Mempersilahkan pria yang disebut Khalil itu untuk duduk.

Yang diminta duduk tentu saja langsung mendaratkan bokongnya dengan mulus. Melemparkan senyum angkuh ke arah Zibran sebab dirinya lebih diprioritaskan. Merutuki kesialan sahabatnya yang tidak diperlakukan dengan baik oleh karyawan magangnya sendiri.

Sementara Zibran mengerutkan keningnya tidak percaya. Bisa-bisanya orang setampan dirinya diperlakuakan seperti ini oleh remahan pekerja magang kantornya sendiri, pikirnya. Lantas, dengan cepat tangan Zibran menarik kursi kosong yang tidak jauh darinya dan menyelipkan dirinya di antara Erlina dan Azzam. Membuat Azzam jadi sedikit menggeserkan kursinya ke arah Ratih.

"Bisa-bisanya lo perlakuin gue kayak gini. Gue lo perlakuin kasar sementara Azzam lo perlakuin lembut. Ini namanya pendiskriminasian atasan. Kamu akan dikenakan sangsi aturan keperusahaanan!" sewot Zibran tak terima diperlakukan berbeda.

"Heh, mana ada yang namanya pendiskriminasian atasan. Kita ini di luar kantor. Dan di sini tidak ada yang namanya atasan dan bawahan. Yang ada hanya orang tidak tahu malu yang mengajak orang tidak dikenalnya berdebat," balas Erlina tak kalah sewot. Jengkel sekali ia pada manusia yang satu itu. Setiap kali bertemu, tak pernah alpa sekali pun pria ini membuat masalah dengan dirinya. Tidak di jam kantor, jam istirahat, di jalan, di kondangan orang pun pria itu masih sempat mengajaknya berdebat.

"Saya sudah bilang saya ini atasan kamu. Dan kamu tidak berhak memperlakukan saya berbeda dengan Azzam!" tegas Zibran dengan tangannya mengambil gelas fruit juice milik Erlina yang tinggal setengah gelas. Akan tetapi, baru saja tangannya menyentuh pinggiran gelas dan hendak ditariknya. Tangannya terlebih dulu di tepis dengan keras oleh Erlina.

"Ini punya saya. Enak aja main embat, kita bukan muhrim. Anda gak boleh minum minuman saya!"

Zibran meringis kesakitan. Mengusap tangannya yang perih terkena pukulan. Ia menggerutu pelan hampir tak terdengar, "Besok juga akan halal kok. Apa salahnya nyalip dikit."

"Apa?!"

"Bukan urusan, lo!"

Rath dan Azzam mengerutkan kening melihat tingkah dua orang aneh di hadapannya ini. Mereka menahan tawa yang hampir saja pecah jika tidak dialihkan dengan menandaskan minuman yang tersaji.

"Apa mereka sering seperti ini?" tanya Ratih pada Azzam penasaran. Baru kali ini ia melihat sahabatnya itu seperti kewalahan menghadapi seseorang. Biasanya dalam hal memperdebatkan sesuatu yang tak penting, Erlina ini selalu juara.

"Sepertinya sih begitu," balas Azzam yang disertai kekehan kecil.

Mereka kembali menikmati perdebatan sengit Erlina dan Zibran yang tidak juga menemui titik pemberhentian. Erlina merutuki kesialannya yang bertemu atasan anehnya yang sakit jiwa ini disaat hatinya tengah dilanda badai kesedihan. Namun setidaknya, ia bersyukur, dengan ini kesedihannya sedikit teralihkan. Mari ucapkan terima kasih kepada si menyebalkan Zibran.

Lelah berdebat, akhirnya Erlina meilih mengalah. Ia mengajak Ratih untuk pulang yang langsung di setujui. Namun sebelum itu, mereka terlebih dahulu berpamitan pada pasutri pemilik pesta pernikahan. Diembel-embeli photo bersama beberapa kali jepretan.

Saat Ratih dan Erlina menuruni lantai dengan lift. Manik jelaganya tak sengaja menangkap siluet pemuda yang dikenalnya sedang terburu-buru keluar. Ia mengenakan setelan jas hitam formal, dan di belakangnya mengekor beberapa pria dengan pakaian yang serupa. Wajah pria itu terlihat jelas di mata Ratih. pria itu adalah Hakim. Dia, Arif Rahman Hakim.

"Ratih, Erlina sebentar." Azzam memanggil tatkala langkah mereka melewati pintu keluar. Keduanya berbalik dan menemukan dua pria yang tadi bersamanya.

"Kenapa, pak?" Erlina bertanya heran.

"Itu…. Mau sekalian pulang bareng?"

"Ti—"

"Boleh, pak? Terima kasih banyak kalau gitu," Erlina terlebih dahulu menyela Ratih yang hendak menolak. Tentu saja ditawari tumpangan gratis berAC adem lagi sejuk, siapa yang mau nolak?

"Tapi, Erlin. Motor kamu gimana?"

Erlina sedikit memikirkan alibi, apakah ia perlu meninggalkan motornya atau tidak. jika ia membiarkan sendirian Ratih yang mengikuti Azzam, ia yakin gadis itu tak akan mau. Lebih baik ia jalan kaki berkilo-kilo daripada semobil dengan pria.

"Kunci kamu, mana?" Azzam menengahi.

"Buat apa, pak?"

"Kemarikan saja."

Erlina menyerahkan kunci motornya begitu saja tanpa tahu apa yang hendak diperbuat pak atasan di kantornya itu.

Azzam melempar kunci itu ke arah Zibran dan langsung ditangkap dengan sempurna. "Ayo."

"Loh, Zam. Kok gue yang dikasih?"

"Kamu bawa motoe Erlina dan ikuti kami." Azzam menyahut tanpa menoleh ke belakang, mereka bertiga meninggalkan Zibran dengan tampang keberatannya.

"Wah, mentang-mentang gue nebeng, Loe jadi seenaknya perlakuin gue kayak gini. Gue gak mau ah. Nih kunci, loe."

Zibran berusaha mensejajarkan langkah mereka, tetapi Azzam tiba-tiba berhenti dan membuat Zibran hampir saja menabrak dirinya jika pria itu tidak sigap mengerem.

"Loe mau apa enggak?"

Melihat Azzam dengan mata tajamnya membuat Zibran sedikit ciut, ia kembali menimang. Toh ini juga motor Erlina, jadi ya tidak masalah.

"Oke deh oke. Gue ngalah," pasrah Zibran.

.

.