Chereads / Akad Yang Tak Berjodoh / Chapter 26 - Bab 26 [Proposal Lamaran]

Chapter 26 - Bab 26 [Proposal Lamaran]

___________________

Ratih bergegas mengemas buku-buknya dengan ceroboh, dimasukkan ke dalam tas punggung coksu. Merapikan jilbab sedikit dan berlalu keluar tidak sabaran. Di ruang makan masih ada Erlina dan Diana—teman indekos-annya yang duduk manis dengan buku dan hp di tangan mereka. Sementara Naya asik bergutat di dapur mencuci piring bekas sarapan, hari ini memang jadwalnya bertugas di dapur. Mereka mengatur jadwal untuk bertugas membereskan kosan, masing-masing bergiliran. Mereka tinggal berempat. Kosan ini di desain modern minimalis, ada dua kamar tidur, satu ruang keluarga, satu ruang dapur sekaligus ruang makan dan satu kamar mandi dekat dapur.

"Loh, kok buru-buru, Rat? Hari ini Kamu jaga siang di butik, kan?" tanya Erlina saat melihat Ratih buru-buru mengenakan sepatu. Gadis itu sedikit kesulitan sebab laptop di tangan enggan ia luruhkan sebentar. Naya jadi ikut mengalihkan pandangannya pada Ratih.

"Dosen pembimbing aku ngabarin jadwal temu, pagi ini. Ngabarinnya tadi setelah shubuh. Makanya jadi kelabakan gini." Ratih meraih knop pintu buru-buru dan segera berlari mencari kendaraan umum.

Dosen pengganti pembimbingnya baru saja memberi kabar bahwa ia bisa konsultasi pagi ini jam tujuh di kafe dekat kantornya, katanya. Padahal ia belum mempersiapkan diri dengan matang untuk mempresentsikan masalah yang diangkatnya.

Lima belas menit perjalanan, akhirnya ia bisa datang tepat waktu sesuai kesepakatan. Café itu masih sepi pelanggan, baru terlihat beberapa pengunjung yang memang berniat untuk menikmati sarapan dengan segelas kopi dan sepiring kue kukus atau kue panggang yang menggelitik lidah.

Harum kopi dan kue yang baru selesai di panggang menguar tatkala Ratih membuka pintu dan melangkah masuk. Harumnya menyatu bersama pentrikor ruang yang riang dan secerah sinar mentari yang menyembul dari balik tirai kaca etalase yang transparan.

Baru ada tiga pelanggan yang datang. Satunya pria berkumis dengan usia sekitaran berkepala empat dekat pintu masuk, di temani secangkir kopi yang mengepulkan asap dan secarik koran di genggaman. Ia nampak khidmat dengan suguhan berita hangat yang dirangkai dalam barisan hurup-hurup itu.

Satunya, seorang perempuan dengan tunik grey, rambut lurus yang diikat kuda. Mengambil tempat duduk dekat kaca etalase, segelas cappuccino panas dan sepiring macaron yang menggugah selera teronggok bisu di hadapan. Enggan disentuh, cukup jadi teman duduk. Manik teduhnya menikmati kota metropolitan yang mulai padat dengan para aktivitas manusia. Mungkin sedang menunggu seseorang atau sekadar menikmati ketenangan di tengah kepadatan jalanan di luar sana.

Dan satunya lagi, seorang pemuda yang sepertinya Ratih kenal. Pemuda itu mengenakan kemeja abu terang yang dibalut jaket biru muda. Simple tapi terlihat keren di tubuhnya. Di hadapannya tersaji kopi Americano yang mengepulkan asap dan buku bacaan di tangan yang menjadi titik pokus.

Ratih memilih duduk di meja tengah. Berjarak dua meja dari tempat pemuda yang dikenalnya itu. Segan untuk menyapa meski ia sudah kenal dan sempat mengobrol di beberapa kesempatan. Ia takut mengganggu kekhidmatan membaca sang pemuda.

Mungkin dosen Khalil masih di jalan, pikirnya. Jadi, sementara menunggu dosen pembimbingnya tiba. Ia lebih dulu memesan cokelat panas dan pie cokelat. Mengeluarkan laptopnya untuk memastikan makalahnya sudah siap atau mungkin ada yang perlu diperbaiki.

Lantas, tepat ketika seorang Barista pria membawa pesananannya, datang bersama dengan aroma pie cokelat dan cokelat panas yang mengepulkan asap putih lembut, pemuda yang duduk berjarak dua meja darinya itu menghampirinya. Memberikan senyum lebar padanya sebelum menarik kursi dan mendaratkan bokongnya di sana. Tanpa izin dari seorang yang menghuninya terlebih dulu.

"Kamu sudah lama? Jika sudah datang seharusnya langsung samperin saya, biar saya enggak capek nunggu kamu." Ucapan itu terlontar bersama kebingungan yang mulai menyergapi kepala Ratih.

Jelas ia bingung dengan pemuda di hadapannya ini. Masih jelas dalam ingatan Ratih jika pemuda ini bernama Azzam, sementara dirinya datang untuk menemui Dr. Khalil untuk konsultasi tesisnya, bukan bertemu dengan pemuda ini.

Seolah mengerti pertanyaan yang terangkai dari air wajah gadis di hadapannya, Azzam melanjutkan kalem. "Saya diminta professor Karim untuk menggantikannya sebagai dosen pembimbing kamu."

"Ma…af, Akhi Azzam diminta sama Prof. Karim sebagai dosen pengganti saya?" Azzam mengangguk. "Loh … bukannya beliau minta sama profesor Khalil?"

Azzam tersenyum, maklum pada ketidaktahuan gadis di hadapannya ini. Ia dikenal sebagai Azzam, bukan profesor Khalil. "Almer Khalil Muazzam. Saya boleh minta kamu manggil saya Azzam saja tanpa embel Akhi? Kita saling kenal tapi seolah tidak begitu."

Ada sedikit keterkejutan lagi di air wajah Ratih. Samar nama ini pernah ia lihat atau dengar di suatu tempat, tapi ia lupa. "Oh … jadi Profesor Khalil itu, Akhi? Maaf Saya tidak tahu. Tahu begitu Saya langsung saja samperin bapak di sana tadi. Maaf sudah menunggu."

"Tidak apa-apa. Lagipula, kamu mengenal saya sebagai Azzam, bukan Khalil. Tapi tolong jangan panggil Saya bapak, usia kita tidak beda jauh. Saya jadi merasa tua sekali."

"Ah ya, maaf. B—ii—sa, saya panggil Mas Azzam saja?" Tiba-tiba saja Ratih merasa dirinya diserang kecanggungan dan kekikukan yang luar biasa. Fakta mendadak mengenai identitas pemuda ini seolah menghantam kepalanya. Bahkan, ia sempat mengira jika asisten Prof. Karim itu seorang pria yang sudah berkepala keluarga atau berpenampilan dewasa. Tidak seperti penampilan Azzam yang banyak orang akan mengira jika dirinya hanya pemuda pengangguran yang bermalas-malasan menyentuh jalan pendidikan di usia termuda ini.

"Tidak masalah. Kita mulai?"

Setelah hampir setengah jam berlalu yang diisi dengan acara konsultasi itu, kini sudah berakhir. Kopi Americcano milik Azzam sudah tanggal seluruhnya, sementara cokelat panas Ratih sudah mendingin—tidak tersentuh sama sekali. begitu juga dengan pie cokelat utuh yang kini menguarkan aroma samar yang menggiurkan.

Azzam tengah sibuk mencoret beberapa kata untuk direvisi pada bagian kosong halaman. Ratih diam-diam sedikit memperhatikan kontur wajah pria ini. Azzam jadi terlihat sedikit berbeda ketika bertemu di luar, ia yang biasanya menguarkan aura santai menenangkan kini terlihat begitu mempesona dengan wajah serius dan penampilan ala pria kantoran.

Wajahnya yang berbentuk oval itu memiliki garis rahang yang kokoh dan tegas. Hidung bingarnya mancung. Manik mata berwarna cokelat kemarahan dengan bulu mata yang sedikit lentik. Rambutnya ditata ala style idol korea. Penampilan kasualnya persis seperti anak kuliahan tahun pertama. Namun yang paling menonjol dari dirinya adalah bagaimana pria itu bertingkah laku dan bertutur kata. Stylenya yang seperti itu seolah tidak cocok dengan sikapnya yang begitu dewasa. Berbeda sekali dengan profesor Karim yang pembawaannya memang dewasa sesuai umur.

"Apa ada sesuatu yang menempel di wajah saya?" tanya Azzam tenang tanpa menghentikan pekerjaannya.

Ratih yang ketahuan sedang memperhatikan jadi salah tingkah. "Ah itu. Americcanonya sudah habis, mau saya pesankan lagi?" Beruntung ia memiliki alasan untuk berdalih. Jantungnya terasa mau copot. Tidak pernah sekalipun ia memerhatikan pria selekat ini, kepada Hakim pun dulu tidak ia lakukan. Degup jantungnya bertalu abnormal. Ratih melafalkan istigfar dalam hati.

"Terima kasih. Niat baiknya saya terima saja. Setelah ini saya langsung pergi. Masih ada urusan," jawab Azzam dengan senyum simpul menghias wajahnya yang terarah pada Ratih. Memerah wajah gadis itu.

"Ah, iya." Ratih membalas kikuk. Betapa malunya dia saat ini. ingin sekali rasanya lenyap ke suatu tempat yang tidak ada seorang pun yang mengenalinya.

Sementara Azzam mengulum bibirnya. Berusaha menahan senyumnya melihat tingkah lucu gadis di hadapannya ini. Ada desiran halus yang mulai menyebar menggelayuti hati Azzam, dan ia merasa nyaman akan itu.

Azzam menyodorkan kepada Ratih dokumen yang sudah dicoret-coretinya tadi dan menjelaskan sedikit singkat, "Kamu hanya tinggal merivisi bagian yang sudah saya tandai dengan penjelasan yang saya tuliskan. Setelah itu bisa langsung dilanjutkan ke bab dua. Untuk hari ini saya berikan acc."

Ratih mengangguk dengan memperhatikan letak bagian yang ditandai, tidak banyak yang harus ia revisi. Hanya beberapa typo dan penserasian kalimat yang pas.

"Kita sampai di sini saja. Saya ada urusan jadi pamit duluan. Nanti hubungi lagi jika ada yang ingin ditanyakan."

"Baik. Terima kasih, Mas Azzam."

Azzam merapikan bukunya dan memasukkannya ke dalam tas. Sebelum beranjak, ia menyodorkan ponselnya kepada Ratih yang langsung dihadiahi tatapan bingung.

"Nomor hp mu. Biar nanti mudah dihubungi jika ada butuh apa-apa," jelas Azzam.

Tanpa berpikir, langsung saja tangannya meraih ponsel itu dan menuliskan nomor teleponnya. Setelah itu ia menyodorkannya kembali pada sang pemilik.

"Okey. Sampai bertemu nanti. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam warahmatullahi."

Azzam beranjak pergi keluar café dan menuju parkiran. Memasuki mobil Avanza silvernya dan membelah jalanan yang masih padat akan kendaraan beroda. Ratih mengalihkan pandangannya menuju jam yang tergantung di dinding empat penjuru sisi. Jam baru menunjukkan pukul setengah delapan pagi. Ia sampai di tempat ini setengah jam yang lalu. Rupanya ia berkonsultasi secepat itu, dan perbincangannya dengan Azzam begitulah singkat. Namun Ratih bisa menyadari akan potensi yang dimiliki pria itu, kemampuannya tidak kalah dengan profesor Karim.

Ratih kini beralih pada segelas cokelat panas yang sudah mendingin dan sepiring pie cokelat yang tidak lagi menggunggah selera meski aromanya samar tercium. Ia belum mencicipinya sama sekali. Pokusnya hanya ia tujukan pada Azzam dan konsultasinya. Ratih mendadak ingat bagaimana ia memperhatikan kontur wajah pria itu dan berakhir kepergok sang empunya. Wajah Ratih kembali memerah mengingat itu. Malu sekali rasanya.

~***~

Langkah kaki Azzam begitu ringan memasuki sebuah gedung besar bertingkat dan melewati lobi. Hatinya terus bersenandung ria. Awal hariya hari ini sangatlah manis, melebihi pancake dengan toping strobery buatan mamanya. Ia melangkahkan kakinya memasuki lift dan menekan tombol angka 13. Sekeluarnya dari sana, Azzam segera menuju sebuah ruangan bertuliskan nama jabatan di atasnya lalu memasukinya.

Sesampainya di sana, Azzam mengedarkan pandangannya. Ruangan itu minimalis. Ditata rapi dengan gaya sederhana kesukaannya. Ia melihat sudah tersedia dokumen yang mesti dia selesaikan. Azzam bergegas duduk pada kursinya, menyalakan komputer dan mulai mengecek dokumen, membolak nalik halaman.

Azzam kembali teringat akan kejadian tadi pagi. Saat manik elangnya menangkap siluet gadis cantik memasuki café dengan tas punggung disampirkan pada sebelah bahunya. Gadis itu mengenakan longdress hijau lumut yang dipadu jilbab segi empat oversize dengan warna lebih gelap. Bross pita berkilaiu menggantung manis di bahu sebelah kanannya. Serta wajah manis tanpa polesan make up. Bibirnya merah muda natural. Azzam terpesona akan keanggunan gadis itu sejenak sebelum ia mengalihkan pandangannya tatkala manik jelaga gadis itu mengedarkan pandangan.

Tangnnya memainkan polpen dengan mengetuk-ngetukkannya pada permukaan tumpukan dokumen. Bibirnya terangkat mengulum senyum mengingat ketika gadis itu ketahuan sedang memerhatikan wajahnya. Senyumnya semakin mengembang kala sang gadis gelagapan mencari alasan. Wajahnya yang kerap manmpilkan raut bingung di depan dirinya juga tak kalah menggemaskan.

"Asstagfirullah. Lo gila ya, Zam? Gue sampe merinding liat Lo senyum-senyum kek begitu. Nah kan, bulu kuduk gue berdiri semua," cerocos seseorang nyaring hingga mengaggetkan Azzam. Di depan daun pintu yang terbuka, pria itu heboh sekali memamerkan tubuh merindingnya yang sengaja dibuat-buat. Hadirnya pria ini benar-benar merusak suasana bagi Azzam.

Senyum terkembang di wajah Azzam menjadi luntur seluruhnya. Ia menghembuskan napas jengah melihat tingkah lelaki di hadapannya ini. "Masuk ruangan orang ya ketuk pintu dulu, Ib."

"Ya Allah, Zam. Pegel nih jari gue ngetuk pintu, mulut gue ampe berbusa manggil-manggil Lo yang gak nyaut nyaut. Saat gue masuk, gue jadi merinding liat Lo yang nyengir kuda," cerocosnya lagi tanpa jeda sambil menutup pintu dan melangkah menuju kursi depan meja kerja yang menghadap ke arah Azzam. Mendudkkan dirinya di sana.

Azzam diam saja, enggan menyahuti. Kembali ia sibukkan dirinya dengan dokumen yang tadinya sempat ia abaikan. Hening beberapa menit diisi dengan membiarkan pemuda yang dipanggil Ib tadi memperhatikan lekat ke arah dirinya. Azzam yang merasa risih mulai jengkel. "Jangan liatin begitu. Entar antum naksir ama ane."

"Asstagfirullah. Nauuzubillah. Tapi gue heran deh sama Lo. Baru kali ini gue liat lo senyam-senyim kayak tadi. Abis ketemu cewek ya Lo? Gue jadi penasaran cewek macam apa yang bisa bikin seorang Almer Khalil Muazzam jadi senyam-senyum kasmaran ngeri kayak gitu?"

"Antum ke sini cuma buat gangguin ane?" Azzam mengalihkan topik. Sedikit enggan membahasnya, karena jika dibahas bersama pria ini. Maka konsekuensinya tidak bisa Azzam tanggung sendiri.

"Lo ngalihin topik, bro," tuduhnya tepat sasaran. "Gua ke sini setelah denger kalo Lo hari ini mulai kerja. Jadi, sebagai senior yang baik. Gue akan memantau kinerja junior gue yang terkenal jenius ini."

"Kedatangan antum menggangu!"

Zibran terbahak. Kalimat ketus sahabatnya ini tidak pernah bisa membuatnya bosan. "Ayo dinner bareng yang lain. Sebagai bentuk perayaan Lo udah masuk kerja lagi dan dapat jabatan tinggi. Biar gua sama anak-anak yang lain traktir deh. Lo bisa makan sepuasnya."

"Kapan?"

"Ya, malam ini, lah. Sekalian kumpul terakhir kali sebelum calon manten ijab kabul."

"Okelah."