_______________
Ketukan di pintu menarik atensi pria itu dari kekhidmatan. Mempersilakan masuk siapa pun di balik pintu. Kepala Karim menyembul dari pintu yang dibiarkan sedikit terbuka.
"Bro, Ane pulang dulu. Inget pesen Ane tadi. Kalo gak mau di tikung yang lain, Antum yang duluan nikung. Ane denger dari istri tercinta, itu cewek banyak yang naksir, banyak juga yang udah kasih proposal khitbahan. Awas ketikung yang lain, nangis Antum ntar."
"Brisik ah. Pulang sono cepetan."
"Iya ini mau pulang. Bye! Ane mau nikmatin indahnya syurga dunia dulu bareng yang tercintah."
Karim lenyap dari pandangan setelah berusaha memamerkan kemesraannya. Kebiasaannya yang mengganggu Azzam itu tidak pernah berubah sedikit pun dari dulu. Hal sepele dapat menjelma jadi senjata ampuh untuk mengganggu sepupunya itu. Azzam yang membelas dengan dingin itu terlihat cukup menggemaskan di matanya. Dan jangan lupakan partner terbaiknya yang satu itu bila berurusan dengan membully.
Azzam kembali melanjutkan bacaannya. Namun ia menjadi tidak pokus. Peringatan Karim sedikit menggelitik ketenangannya. Jelas bukan tanpa dasar sepupunya itu memperingati demikian. Masalahnya, sungguhkah hatinya telah terpaut pada gadis cantik jelita itu?
Ia mengakui jika Ratih itu sungguh cantik. Tidak hanya cantik lahir, ia yakin jika batinnya jauh lebih cantik. Mengingat beberapa kali tiap pertemuannya; gadis itu kerap tertangkap seperti ingin lari darinya. Pandangan gadis itu begitu terjaga. Akhlaknya begitu anggun dan bersahaja. Gadis itu bersama teman-temannya juga yang mendirikan tempat perkumpulan para anak jalanan untuk belajar membaca dengan bebas. Sebuah perkumpulan anak yang melenyapkan sistem kasta yang kerap dirasa nyata bukan hanya dari penampilan, tapi juga sikap. Di perkumpulannya, semua membaur jadi satu tanpa ada perbedaan yang membuat rendah ataupun tinggi diri.
Azzam mengusap wajahnya kasar. Ia beristighfar dalam hati. Tangannya beralih mengambil ponselnya yang terletak di nakas. Mencari kontak seseorang yang begitu mengganggu pikirannya.
Ia mengetikkan pesan teks setelah menemukan kontak yang dimaksud.
'Assalamu'alaikum. Selamat malam!'
Azzam mengetuk-ngetukkan kedua ibu jarinya di tengah layar. Menimang apakah ia perlu mengirim pesannya atau tidak.
"Kirim gak, yah? Kalau dibalas, setelahnya itu gimana? Apa jangan-jangan nanti malah diabaikan lagi. Tapi ini teksnya kaku banget sih," decaknya pada diri sendiri.
Tangannya bergerak menghapus pesan, kemudian kembali menulis ulang.
"Assalamu'alaikum. Sudah tidur?"
Kembali Azzam berdecak. Ia mengusap rambutnya kasar. Entah apa yang terjadi pada dirinya kini. Setelah dari pembahasan di meja makan, hatinya begitu was-was, pikirannya tak menentu. Pembahasan 'kapan nikah' jadi begitu mengganggu pikirannya. Ia tidak jadi mengirim pesan dan melempar ponselnya ke samping—di atas tempat tidur.
Baru saja ia hendak beranjak menuju kamar mandi jika notifikasi masuk tidak menghentikannya. Sebuah pesan baru dari kontak yang sama. Dengan cepat jarinya menari membuka pesan itu. Tidak sabaran.
[Wa'alaikumsalam. Belum. Kenapa, Mas?]
Gubrakkk!
Melihat pesan yang di terima. Ternyata itu balasan atas pesannya yang tidak sengaja terkirim. Pikirannya yang menganggap gadis itu mengiriminya pesan duluan ternyata sia-sia. Tahu gimana rasanya ketika tidak sengaja menduduki cokelat cair lalu saat bangun, ada banyak pandang mata yang mengrah padamu karena mereka beranggapan bahwa kamu baru saja boker di celana? Rasa yang seperti itu kini tengah melanda Azzam. Malunya luar biasa, padahal ia sedang sendiri.
Yah mumpung kepalang begini. Mending dilanjutkan saja. Pamalli jika dibiarkan nganggur begitu saja.
"Mau ngucapin selamat tidur. Semoga mimpi indah."
"Seperti mimpiin saya misalnya."
[Mau di aminin gak, Mas?]
"Boleh?"
"Sekalian ya aminin do'a saya."
[Do'anya apa, Mas?]
"Semoga proposal saya di terima."
[Aamiin]
"Allhamdulillah. Dapat lampu hijau."
[Lampu hijau?]
"Bukan apa-apa."
"Besok weekend. Ada kesibukan?"
[Siang sampe sore ada di Taman Baca. Kenapa, Mas?]
'Saya boleh nyita waktunya pagi? Ada yang ingin saya bicarakan."
[Boleh.]
"Siip. Tempat sama waktunya, saya share besok ya."
[Ya, Mas]
"Iya. Akan saya tunggu."
Azzam mengepalkan tangannya—berhore ria. Hatinya tiba-tiba menghangat. Perasaan tak karuannya yang barusan sangat mengganggu seolah sirna begitu saja.
Sementara di seberang sana, Ratih tersenyum simpul. Ada gerangan apa pria ini mengiriminya pesan semacam ini. ia menduga jika pria ini bukan tipe orang yang suka berbasa-basi seperti yang dilakukan pengirim pesan barusan. Ada desiran halus yang perlahan menggelitik dadanya. Terasa hangat dan manis di waktu yang bersamaan. Dan Ratih suka itu.
~***~
Ting!
Denting lonceng yang di gantung pada daun pintu berdenting kala pintunya di buka. Ratih melangkah memasuki Ruella's Pudding, sebuah café yang hanya menyediakan dessert—aneka puding dan es krim yang menggiurkan. Manik jelaganya bergerak mencari seseorang yang barangkali sungguhan sudah menunggu. Dan benar saja, tatkala kepalanya menoleh lima drajat ke kiri, ia mendapati Azzam dengan tangan yang di lambaikan ke arahnya.
Sudut bibir Ratih terangkat sedikit hampir tak terlihat. Ia membawa kakinya menuju tempat Azzam. Pria itu mengambil duduk dekat jendela, tempat yang terkena paparan sinar matahari pagi. Tidak, menjelang siang.
"Assalamu'alaikum. Maaf, saya terlambat."
Azzam bangkit dari duduknya. Menyambut yang dinanti dari seperempat jam yang lalu. "Wa'alaikumsalam. Tidak apa-apa, saya juga baru datang. Ayo silakan duduk."
Yang dipersilakan, mengiyakan malu-malu. Azzam ikut menyusul duduk. Ia berdecak kesal dalam hati, tidak tahu bagaimana selanjutnya. Canggung sekali suasana ini. Ia tidak terbiasa menghadapi hal yang demikian. Jika tahu akan secanggung ini, lebih baik ia meminta diajari Zibran saja sebelum ini meski ia tahu jika dirinya akan di ejek habis-habisan oleh si tengil itu. Karena memang dirinya tidak pernah berinteraksi dengan perempuan kecuali malaikat tanpa sayapnya yang di rumah. Tutor membuat cewek jatuh cinta dalam sekali pandang tanpa berbuat apa-apa, misalnya?
"Saya sudah pesankan puding cream cokelat tadi, untukmu. Atau mau ganti menu yang lain?"
"Tidak apa-apa yang itu saja. Saya pemakan semua yang enak."
"Okey. Bentar ya." Azzam memutar tubuhnya ke samping, memberi instruksi pada seseorang di balik meja kasir untuk memebawakan pesanan. Tak lama setelah itu, seorang pelayan pria dengan nampan berisi pesanan di tangan datang menghampiri.
"Permisi. Puding Cream Cokelat manis berukuran besar untuk nona yang punya senyum semanis gula dan secerah mentari pagi yang hangat ini." Dengan senyum merekah pelayan tersebut meletakkan puding pertama untuk Ratih. Lantas, tatkala berpindah ke sisi sebelahnya, pelayan itu merasakan ada aura mencekam yang menggelitik tengkuknya. Ia melihat seraut wajah dingin dengan mata yang menatap tajam sedang mengarah padanya. Instingnya memperingati bahwa akan ada hal gawat yang menimpa jika ia tidak segera melakukan sesuatu. "Dan yang serupa untuk mas ganteng."
"Mas, calon istrinya yah?" sedikit berbisik pelayan pria itu bertanya pada Azzam. Namun dapat di dengar dengan jelas oleh Ratih.
Ratih yang hendak menyangkal jadi tertahan sebab terheran dengan respon yang diberikan Azzam dengan cepat.
"Kok tahu, Mas? Kelihatan sekali, ya?"
Pelayan itu mengacungkan dua jempol pada Azzam. "Kelihatan sekali, Mas. Kalian cocok sekali. Sama-sama cantik dan tampan. Saya do'akan lancar sampai hari-H, Mas. Aamiin."
"Aamiin." Azzam ikut mengaminkan.
"Monggo, Mas. Silakan dinikmati waktunya. Saya permisi."
"Mas. Kenapa jawabnya begitu? Orang bisa jadi salah paham, loh," tegur Ratih sepeninggalnya pelayan barusan.
"Saya tidak masalah di salah pahami begitu. Apalagi jika disalah pahaminya dengan kamu." Azzam menjelaskan dengan romannya yang datar, tanpa ekspresi. Seolah hal yang barusan bukanlah apa-apa, padahal jantungnya sedang berpacu tak terkendali.
Ratih menggelengkan kepalanya dengan senyum yang membentuk kurva, tak habis pikir dengan sikap pria di hadapannya ini. Ia selalu menemukan hal baru yang tak terduga dari pria pemilik wajah tenang ini.
"Mas Azzam ini ada-ada saja." Ratih beralih pada puding jumbo yang tersaji di depannya. Puding yang disajikan dalam mangkuk bening dengan whiping cream dan bertaburkan cokelat bubuk, terlihat begitu menggiurkan. Rath mengambil sendok dan mencicipinya.
Baru suapan pertama, Ratih merasakan dirinya hampir saja tersedak saat menyadari lawannya tengah menatp lekat tanpa berkedip. Manik jelaganya bergerak ke kanan lalu kembali dan berhenti pada wajah Azzam sebentar, "Kenapa, Mas?" tanyanya sambil menunduk. Rasanya tidak enak sekali di tatap begitu.
"Tidak apa-apa. Bagaimana rasanya?" gelagapan Azzam mencari alasan. Netranya bergerak liar tak karuan. Gawat ini.
"Enak. Mas Azzam bisa mencicipinya."
"Saya sudah sering memakannya. Tapi sepertinya kali ini akan jauh lebih enak dari yang biasanya."
"Kok tahu? Kan belum dicicipi."
"Entahlah. Tahu aja gitu. Mungkin karena ada wanita cantik di sini. Jadi manisnya doubel kali lipat. Jadi takut kena diabetes."
Ratih mengangguk, mengiyakan saja perkataan lawan bicaranya ini meski sedikit tersipu wajahnya. "Oh iya. Mas Azzam ada apa meminta bertemu? Gak mungkin Mas Azzam tiba-tiba meminta bab terakhir tesis saya saat ini juga, kan?"
Azzam terkekeh. Ia baru ingat jika gadis di hadapanya ini adalah orang yang tidak bisa diajak berbasa-basi, up to the point sekali. Persis seperti dirinya, tapi berbeda jika bersama dengan gadis yang terduduk manis di depannya ini, ia ingin berbasa-basi banyak hal dengan topik yang tak menentu arah. Membunuh waktu yang terus berpacu teratur. Ah biarlah ini cepat berlalu, ia akan menikmatinya ketika sudah halal.
"Tidak bisakah kita membuat suasananya lebih cair dulu baru membahas maksud tujuan saya?"
"Ah begitu?" Ratih mengangguk tak nyaman.
Azzam mengulum bibirnya, lebih memilih mengalah saja. "Saya bercanda. Boleh saya meminta alamat rumah asli?"—Ratih menampilkan seraut wajah bingung—"Ingin bersilaturrahmi saja, nanti, kapan-kapan."
Ratih mengangguk mafhum. Mengambil gawainya dari dalam tas selempang yang dibawanya lalu mengetik pesan berupa alamat rumah serta nomor yang dihubungi lantas mengirimnya ke kontak Azzam.
"Sudah, Mas."
"Terima kasih. Lalu, ini." Azzam mengangsurkan sebuah amplop kuning yang di bawanya. Amplop itu ditaruhnya di kursi kosong sebelah mereka.
"Ini apa, Mas?"
"Proposal lamaran. Saya dengar kamu banyak menerima proposal lamaran, jadi saya melakukan hal yang serupa."
Kening Ratih mengernyit bingung. "Kata siapa saya sering menerima proposal seperti ini, Mas?"
"Loh bukan, ya? Wah. Saya pasti dikerjain lagi ini."
Ratih terkekeh melihat kekonyolan Azzam. Sesuatu yang tidak terduga jika pria cerdas ini bisa dibodohin orang lain. "Boleh saya buka?"
"Tentu saja. Silahkan."
Azzam menanti was-was. Melihat seraut wajah yang entah pada roman Ratih yang membuka lembar proposalnya.
"Bagaimana?" Azzam tak sabaran menunggu.
"Ini maksudnya gimana ya, Mas?"
Azzam mengusap tengkuknya. Ia tetiba jadi merasa canggung. Degup jantungnya semakin berdetak abnormal. Keras sekali bunyinya. Ia sedikit khawatir jika Ratih bisa mendengarnya yang serupa suara gendrung di tabuh itu..
"Mmm…. Saya tidak tahu bagaimana cara melamar yang semestinya. Penuh kata-kata manis dan seribu buket bunga yang cantik lagi romantis, seperti kebanyakan yang dilakukan para pasangan umumnya. Mensearching pun jadi percuma, sebab itu bukan gaya saya. Jadi…. Yah…. sesuai proposal itu. Saya ingin melamarmu jadi pendamping hidup saya. Membunuh waktu dengan kebersamaan hingga menua bersama. Semakin lama, semakin lengket seperti perangko dan tak terpisahkan.. Ratih, ridhokah dirimu dengan khitbahanku ini?" Sedikit tergagap Azzam menjawab pertanyaan Ratih. Ia merasa caranya ini terlalu enggak banget. Enggak ada romantisnya sama sekali. Aneh parah. Lamaran teraneh dari segala yang teraneh.
"Apa Mas sadar jik baru saja sedang menggombal?"
"Sungguh, kah? Saya tidak tahu jika itu gombalan. Kalimat itu tulus keluar begitu saja tanpa saya rancang. Jadi … bagaimana?"
"Sa—ya…. Gini aja. Mas temui abah dan minta restu padanya untuk saya. In sya Allah, apa jawaban abah dan umi, jawaban saya juga." Jawaban itu melesat begitu saja tanpa Ratih sadari. Ia jadi terkejut mendengar jawabannya sendiri. Baru kali ini ia menjawab tanpa memikirkannya matang-matang terlebih dahulu. Tapi tatkala ia mendapati roman lawan bicaranya, ia jadi tidak tega menarik kembali kalimatnya. Yah tidak masalah, mungkin ini pilihan Allah untuk dirinya. Sami'na waa atta'na. Percayakan semuanya pada Allah sang pemilik hati dan takdir yang baik.
"Allhamdulillahi robbil 'alamiin." Azza mengusap wajahnya. Mengucap beribu syukur dan sholawat atas Nabi dalam hatinya.
Wajah Azzam seketika berbinar. Bibirnya ia kulum untuk menahan senyum yang akan terkurva membentuk horizontal. Semakin menggila detak jantungnya. Ada banyak berkas harapan dari jawaban yang diberikan Ratih atas pengajuan proposalnya.
"Tapi, Mas. Kenapa meminta alamat rumah duluan? Seperti tahu saja jika saya akan menjawab begitu," tanya Ratih sedikit penasaran.
"Ah, bukan. Sebenarnya ini haya untuk plan B. Jika kamu menolak saya. Saya bisa memintamu langsung pada Abah, dengan begitu kamu tidak bisa menolak lagi."
Ratih terkekeh mendengar jawaban yang dilontarkan Azzam. Sungguh pria yang tak terduga.
"Mas Azzam sudah yakin dengan pilihan, Mas? Mas Azzam, 'kan belum lama mengenal saya. Pertemuan kita baru bisa dihitung jari."
"Jika ditanya yakin, saya yakin sekali. Sangat mantap. Tapi jika ditanya alasan, maka jawabannya hanya karena Allah. Ia yang lebih tahu mengapa saya begitu yakin pada dirimu. Lantas, jika perihal saling kenal mengenal, bisa kita lakukan setelah halal dengan pelan-pelan."
Senangnya hati bukan kepalang. Ingin sekali ia mengucap kabul detik ini juga, biar segera dapat ia rengkuh gadis di hadapannya ini. Berjingkrak, melompat-lompat samapi koprol pun tak akan bisa mengekspresikan kebahagiaannya ini. Namun, semua rasa itu seolah lenyap begitu saja dalam sepersekon waktu. Jantungnya seperti ditarik paksa keluar dari tempatnya tatkala gendang telinganya di sapa sesuara yang teramat lembut.
"Bunda?!"
Azzam dan Ratih menoleh, keduanya terbengong mendapati segumpal daging menggemaskan di sampingnya tengah menatap lekat dengan binar yang penuh akan kerinduan. Ratih seketika membeku di tempat.
.
.