"Barangkali beliu masih di jalan. Tetapi untuk mewanti-wanti bila ternyata beliau ada halangan. Coba saja cari pemateri lain yang kiranya bisa menggantikan. Materinya Profesor Khalil ada, kan?"
"Ada, kak. Filenya dikirim lebih dahulu. Kalau begitu, saya coba hubungi beliau sekali lagi, semoga ada respon. Permisi, kak."
Ratih mengangguk dengan senyum terkembang pada wajahnya. Manik Ratih mengikuti tubuh gadis dalam balutan pakaian hitam putih dengan jilbab hitam sebagai simbol dari kepanitiaan mereka itu berlalu pergi dan mengobrol dengan salah satu rekannya yang lain. Sebentar mereka mengobrol lalu keduanya keluar ruangan dan berpisah jalan.
Masalah ini kerap terjadi, dan sudah menjadi hal yang solusinya tekah berada di luar kepala. Pemateri terkadang terjebak dalam macetnya lalu lintas dan bater hp dalam keadaan lowbet, tetapi mereka tetap bisa datang pada puncak acara dan memenuhi tugas mereka. Terkadang juga bila pematerinya memiliki kendala, mereka pasti mengirim seseorang sebagai penggantinya. Tiap permasalah selalu memilki solusi terdekatnya, hanya saja terkadang, kita berpikir terlalu jauh hingga mengira penyelesaian masalahnya begitu rumit dan bisa menjadi terlarut-larut.
Ratih kembali pada fokus sebelumnya, ia menutup bukunya dan mengambil kertas hvs berisi rangkaian acara nanti. Ia memang telah biasa menjadi pembawa acara di setiap kajian pekanan ekskul Rohis ini, jadi ia hapal betul di luar kepala. Meski demikian, ia tetap membacanya ulang. Setelah sekali melihat dan membalik halamannya, Ratih menaruh kembali kertas itu.
Baru Ratih membuka kembali novel yang tadi dibacanya itu saat suara baritone seseorang yang teramat dihapalnya memenuhi indra pendengaran. Membuat jantungnya terasa berhenti sejenak lalu bekerja dengan ekstra, debaran aneh yang membuatnya nyaman.
"Pada tiap rangkaian aksara dalam syair do'aku
Terselip namamu diantara barisnya yang syahdu
Tak pernah absen kumengulang rindu yang bisu
Dan, ya, akhirnya…
Pena takdir merangkai namamu dengan namaku
Terbalut manis dalam ruang mahligai
Ragamu milikku dalam ikatan suci
Tetapi hatimu tak pernah menjadi milikku."
Ratih tertegun mendengar syair puisi yang dibaca oleh pemuda yang baru saja tiba itu. Itu adalah syair puisi pada bab pertama novel yang dibacanya. Sebuah syair singkat yang mengisahkan perjalanan mahligai pernikahan tokoh utama dalam novel itu.
Dipandangnya sekilas Azzam yang mendaratkan bokongnya pada sofa empuk di seberangnya saat mengucapkan, "Assalamu'alaikum."
Ratih mengalihkan pandangan ke asal tempat saat menjawab, "Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh." Lalu pandangannya menunduk, terhenti pada buku bacaannya.
"Mas Azzam tahu puisi itu?" tanyanya pelan, masih dengan desiran aneh yang bergelnyar aneh dalam dadanya. Ia teringat akan pertemuan terakhirnya, saat pria ini menyelamatkannya dari cengkraman tangan Hakim tempo hari. Dengan kalimat yang lantang pria ini seolah mengindikasikan kepemilikan terhadap dirinya. Bahkan pemuda ini kembali padanya dengan membawa serta salep untuk tangannya yang memerah dan meminta maaf sebab lancang mencampuri urusannya dengan Hakim.
"Tahu. Judulnya, Akad yang Tak Berjodoh oleh Hamka AR, kan?" Ratih mengangguk.
"Itu satu-satunya novel yang ditulis Hamka RA yang identitasnya bahkan tidak terbaca sama sekali. buku itu terbit tiga tahun lalu dan tanpa ada yang tahu identitas sesungguhnya penulisnya." Jelas Azzam menerangkan perihal novel yang digenggam Ratih. Ia membaca buku itu atas rekomendasi seorang teman sewaktu ia masih di kairo, awalnya ia tak berminat membaca novel semacam itu sebab bukan seleranya. Tetapi karena tidak memiliki buku bacaan ringan lainnya, maka jadilah ia membaca buku itu dan atuh cinta pada bab pertama. Dalam dua jam ia menghabisi semua halaman novel itu, bahkan dibacanya berulang kali hingga hapal betul sebab jatuh cinta dengan rangkaian kata demi kata yang dibalut dengan diksi yang padu, rasanya ringan dan berat di waktu yang bersamaan.
"Novel ini laris di kalangan mahasiswa indonesia di kairo dulu meski tidak diperjualkan di toko sana. ada seorang teman yang menjadi reseller khusus untuk buku indonesia. Dari sana para mahasiswa indonesia mendapatkannya." Lanjut Azzam menjelaskan.
Ratih mengangguk, ia jadi seikit bingung hendak membalas bagaimana. Pasalnya, ia tidak mengerti tentang alur literasi dan proses pendistribusian buku literasi semacam ini. isi dar buku yang dipegangnya ini bahkan baru ia ketahui setengahnya, sebab baru bisa ia baca dari tadi. Ia belum memiliki waktu luang untuk membaca saat berada di indekosnya. Pokusnya hanya tertuju pada penyelesaian tesis yang minggu terakhir ii sedikit ia abaikan.
"Ah begitu ya, Mas. Penulisnya hebat sekali kalau bukunya bisa laris sampai ke mahasiswa Indonesia di Kairo sana. bahkan di luar dugaan ternyata Mas juga menyukai novel romasa seperti ini."
Azzam sedikit tersenyum kikuk, menyadari dirinya terakhir kai ini jadi sering berbicara panjang lebar. Ia seperti merasa bukan dirinya bila dihadapan Ratih, ia awalnya bahkan tak tau harus membahas topik yang seperti apa, tapi sekarang ia senang seekali menjelaskan banyak hal yang tidak gadis itu minta. Azzam berpikir, apa ia terlalu bersemangat untuk mencuri waktu melakukan pendekatan sampai kelihatannya begitu aneh.
"Ah, tidak begitu. Sepertinya saya terlalu banyak bicara dan jadi mengganggumu yang sedang khidmat membaca."
Ratih tersenyum seraya menggeleng. Ah bukan itu maksudnya berkata demikian, ia tidak mengharapkan jawaban seperti itu. Ia hanya mencoba menggoda pria itu yang ternyata di luar dugaan memiliki kesukaan membaca novel romansa seperti kebanyakan perempuan.
"Tidak mengganggu sama sekali. Ngomong-ngomong tadi Mas dicariin sama panitianya karena teerlambat datang. Sudah ketemu tadi?"
"Oh iya sudah, tadi ketemu. Sebenernya sudah lama sih di sini, hanya saja tadi sedang di ruangan Mas Karim. Panitianya terkejut mendapati saya berada di sana."
Seusainya Azzam berkata, Naya mengetuk pintu ruangan dan mengucapkan salam. Meminta izin masuk kepada kedua orang tamu undangannya itu dan memberitahukan bahwa acara akan dimulai 5 menit lagi. Keduanya diminta untuk bersiap-siap.
Ratih dan Azzam mengangguk bersamaan. Lalu Naya pamit kembali dan keluar ruangan.
Azzam bangkit dari duduknya.
"Ayok."
"Kemana?" tanya Ratih dengan alis berkerut bingung mendengar pertanyaan itu.
"Ke aula."
"Ah iya, ayok." Gelagaan gadis itu menjawab, ia seperti orang yang linglung dalam waktu singkat.
"Memangnya dikira mau ke mana?" Azzam bertanya ulang, dalam benaknya terbesit keinginan untuk menjahili si gadis manis itu yang kini sedang mengemasi barang dalam tasnya.
Kening Ratih berkerut bingung lagi memandang ke arah Azzam yang berdiri menjulang di tempatnya. "Tidak kok, Mas."
"Kita ke pelaminan saja, ayok."
"Ha?" Ratih terhenyak sejenak lalu kembali tersadarkan bila pemuda ini sedang menggoda dirinya. "Mas ini ada-ada saja."
Ratih bangun dari duduknya saat suara bariton lawannya kembali mengudarakan pernyataan. "Kok ada-ada aja, sih. Padahal sungguhan loh. Kan tinggal nunggu jawaban dari seseorang yang menghadirkan rindu."
Wajah Ratih berubah kikuk, hatinya semakin berdebar mendengar penuturan itu. Keberadaan lelaki ini saja telah membuat jantungnya seperti tak henti bertabuhkan genderang, di tambah pria ini mengatakan bila ia sedang mananti dirinya yang menghadirkan rindu.
"Mari, Mas."
Ratih beranjak keluar mendahului Azzam. Ia ingin segera menuju aula supaya terlepas dari penyebab jantungnya tak baik ini. Ah lemah sekali dirimu ini, Ratih, begitu saa masa membuatmu berdebar begini.
.
.
.