"Besok gue ganti traktir loe makan sepuasnya!" ucap pemuda itu dengan balas berteriak sebelum benar-benar lenyap dari balik pintu kantin.
"Lain kali ganti saja uang saya!"
Erlina kini hanya melihat baki makan siangnya yang tidak lengkap dan kurang air minum. Jika begini, ia perlu mengantri lagi untuk bisa mendapatkan es coffenya lagi. Tetapi melihat masih banyak antrian yang menunggu makan siang membuat Erlina mengurungkan niatnya. Bisa tidak jadi makan siang dirinya, mengingat waktu break untuk isoma sebentar lagi habis.
Erlina merotasikan bola matanya untuk mencari tempatnya duduk, ternyata semua bangku telah penuh dan kini dirinya menjadi pusat perhatian hampir semua orang. Barangkali karena ia lancang berteriak pada atasannya itu. Ya, tidak heran bila ia menjadi pusat perhatian dalam sekali tindakan bila mengingat siapa identitas pengganggunya itu. Zibran memang laki-laki paling populer di perusahaan ini yang posisinya berada di bawah direktur utama mereka.
Erlina mendapati seseorang melambaikan tangan ke arahnya dari meja kedua dari belakang dan samping kiri tembok. Ia adalah Selina dan dua orang teman lainnya, Tika dan Ida. Mereka bertiga adalah teman yang Erlina dapatkan semenjak ia masuk pada divisi perencanaan itu. Mereka memperlakukannya dengan sangat tulus dan tanpa pandang bulu.
Erlina tersenyum dan hendak mensegerakan langkahnya menuju ke tempat temannya itu berada. Tetapi baru ia berjalan dua langkah dari tempatnya; bahunya di tabrak oleh Febri dengan sengaja hingga membuat gadis itu sedikit terhuyung ke belakang. Beruntung ia makanannya tidak tumpah.
Erlina menatap tak percaya pada gadis itu yang kini telah berlalu menjauh tanpa menoleh, apalagi meminta maaf. Gadis itu bahkan sekarang terang-terangan mengganggunya di depan umum begini. Erlina menampilkan smirik kecil, dalam hati ia menertawai sikap kekanakan Febri. Bisa-bisanya masalah asmara yang sering muncul sewaktu masih remaja di bangku smp bisa ia temui pula di tempat kerja seperti ini saat pikiran harusnya telah dewasa dan tidak lagi terlalu memikirkan perebutan cinta.
Erlina melanjutkan langkahnya menuju Selina, dan dua orang temannya itu, Tika dan Ida. Sesampainya di sana, Erlina dihujani dengan pertanyaan apakah gadis itu baik-baik saja.
"Kamu gak apa-apa, Er? Huuu dasar ya tu orang, beraninya main kasar," maki Selina dengan bibir yang masih penuh dengan kunyahan makanan.
Erlina menggeleng seraya mendaratkan bokongnya pada kursi kosong yang tersisa.
"Heran deh. Kok masih aja ada ya orang yang menunjukkan kedengkiannya begitu. gak bisa main alus dia nih." Ida menyahut.
"Main alus itu yang kayak gimana, Da?" tanya Tika sengaja seolah telah mengerti alur jalan pikiran Ida.
"Ya pake santetlah, ato gak jaran goyang gitu," balas Ida dengan mulut cemprengnya yang biasa nyerocos tidak jelas.
"Itu targetnya siapa tuh?" tanya Erlina sebelum menyuapkan makanannya.
"Ya kalo gak gue ya berarti....,"
"Gue?" tebak Erlina memotong pembicaraan Ida.
"Bukan gue yang ngomong, ya," ucap Ida membela diri.
"Eh gini deh, gue ada baru baca jurnal dakwah yang kayaknya cocok banget nih ama tu orang." Tika menyahut. Ia mengingat isi dari salah satu jurnal dakwah yang didapatkannya dari seorang kawan.
"Bunyinya gimana, tuh?" Ida bertanya tertarik.
"Itu orang emang butuh rukiyah. Biar dia sadar diri dan gak gungguin orang yang gak bersalah. Kalo dia emang suka harusnya ngomong aja langsung ye, 'kan sama do'i, gak perlu pake ngancem orang lain yang deket sama doi," cerocos Selina lagi dengan mulutnya yang belum menelan makannya dengan sepenuhnya. Gadis itu menggebu-gebu mengungkapkan kebenciannya atas tingkah laku Febri yang menurutnya konyol.
"Sel, itu makanan di telen dulu. Jorok ih, Lu!"
"Diem, Er. Gue gini karna gue kesel banget! Emangnya Lo gak kesel apa. Gue aja yang Cuma ngeliat Lu dikecam terus ngerasa benci bener. Bunuh orang dosa gak, sih."
"Bener, Sel. Gue setuju sama Loe. Orang kayak gitu emang harus di ruqiyah." Ida menyahut
"Lu pada mau dengerin dakwah ruqiyahan gue gak, sih? Pada ngomel mulu kayak orang tua. Gak berkelas banget," omel Tika yang merasa dirinya diabaikan oleh ketiga orang di sana. Ia mencebik, padahal ia sudah sangat menggebu-gebu ingin memberitahukan ketiga temannya itu cara bertarung yang berkelas.
"Iya iya gue dengerin, kok. Ini telinga gue udah siap banget dengerin ceramah loe lagi," ucap Ida dengan bibir ceplas-ceplosnya.
"Jadi gimana, Tik?" tanya Erlina ditengah-tengah kunyahannya. Khawatir Tika menelan kembali kalimat ceramah yang akan terlontar dari mulutnya, sebab bila gadis itu menolak alias menarik kembali ucapan yang akan dikeluarkannya dan ngambek sampai jam pulang kerja habis. Bisa berabe urusannya jika nanti mereka butuh bantuan gadis itu saat sedang terjadi urgent yang tak terduga.
"Jadi bunyinya begini. Dalam urusan asmara. Islam memanglah agama damai yang penuh dengan taburan cinta dan kasih sayang. Namun, mencintai atau menyayangi sesuatu secara berlebihan juga bukanlah ajaran Islam. Karena itu, dalam sebuah hadist Mauquf, sayyidina Ali pernah mengutarakan sebuah nasihat bijak. Bunyi nasehatnya begini:
Cintailah sedang-sedang saja, siapa tahu disuatu hari nanti dia akan menjadi musuhmu, dan bencilah seseorang juga secara biasa-biasa saja, siapa tahu pada suatu hari nanti dia akan menjadi kekasihmu. Hadist riwayat at-Tirmizi," terang Tika panjang lebar dengan kalimat sedetil-detilnya seperti yang tercantum dalam jurnal dakwah yang dibacanya. Tika memang meiliki daya ingat yang bagus perihal apa pun, mungkin karena alasan itulah gadis ini bekerja dengan memegang jabatan sebagai sekretaris Zibran.
"Nah bener tuh. Kasih tau ke dia, kalo cinta yang biasa aja, gak usah berlebihan sampai memusuhi gebetannya do'I," sahut Ida antusias menyahuti pernyatan Tika yang seperti merivew isi jurnal yang dibacanya itu.
"Heh, gue belum selese. Lu dengerin dulu gue sampe selese baru Lu bisa nyerocos lagi. Heran deh, ini bibir apa ember sih."
Erlina tersedak makanannya sendiri tatkala mendengar Ida berkata "gebetannya do'i" pada akhir kalimat gadis itu. Beruntung Tika segera mengalihkan pembicaraannya lagi.
"Eh hati-hati, Er. Ini Lo minum dulu." Selina menyodorkan minumannya yang tinggal sedikit lagi akan habis.
"Segini mah gak cukup, Sel. Ini punya gue aja yang Lu minum, Er!" Tika menyodorkan minumannya yang langsung ditenggak habis oleh Erlina. Gadis itu menepuk-nepuk dadanya yang gumpalan makanan terasa menyangkut di sana.
"Udah gak apa-apa. Lanjut lagi, Tik!" ucap Erlina setelah merasa dirinya sedikit baikan. Ia butuh air minum lagi sekarang ini. Tapi sayang, es coffenya telah di bawa kabur oleh Zibran bahkan sebelum ia mencicipinya.
"Jadi, lanjut kalimatnya tu, gini. Sakit hati yang begitu mendalam dan berlebihan, tentu tidak akan timbul kecuali dari cinta atau kasih sayang yang melebihi batas wajar. Jika dari semula kita mengontrol diri untuk tidak melewati garis ketentuan, pastilah rasa remuk akibatnya juga tidak sampai menenggelamkan akal sehat. Apalagi kalau orang yang kita cintai itu adalah sosok orang yang belum tentu bersanding dengan kita di pelaminan dan menjadi milik kita. Yang sudah halal dan menjadi teman hidup saja pada saatnya akan berpisah, terlebih yang simpang-siur dan tidak jelas statusnya. "Hiduplah sesukamu, karena sesungguhnya kamu akan mati. Cintailah sesuatu sesukamu, karena sesungguhnya kamu akan berpisah dengannya. Berbuatlah sesukamu, karena sesungguhnya kamu akan bertemu dengannya. Kalau yang ini itu hadist riwayat al-Hakim.
Lanjutannya gini nih, Yang tidak kalah penting adalah selalu berpikir positif. Manusia ialah makhluk lemah yang terkadang mudah sekali dikuasai setan. Ia kerap memandang peristiwa yang menimpanya secara berlebihan dan terlalu terbawa perasaan. Padahal, apa yang ia cintai belum tentu baik baginya, dan yang ia benci belum tentu buruk untuknya. 'Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.' Qur'an surah al-Baqarah ayat 26."
Tika menutup ucapannya dengan arti dari al-qur'an surah al-Baqarah ayat 26 itu.
"Nah deengerin tuh. Makanya Loe jangan benci gue kabanyakan. Entar malah jatuh cinta, 'kan jadinya." Suara berat itu berasala dari Zibran yang baru sja mendratkan bokongnya pada kursi yang diseretnya dari kursi milik meja sebelah mereka yang menempatinya telah kosng. Pria itu menaruh secup es coffe yang baru di depan Erlina.
.
.
"