"Mas Azzam tahu puisi itu?" tanyanya pelan, masih dengan desiran aneh yang bergelnyar aneh dalam dadanya. Ia teringat akan pertemuan terakhirnya, saat pria ini menyelamatkannya dari cengkraman tangan Hakim tempo hari. Dengan kalimat yang lantang pria ini seolah mengindikasikan kepemilikan terhadap dirinya. Bahkan pemuda ini kembali padanya dengan membawa serta salep untuk tangannya yang memerah dan meminta maaf sebab lancang mencampuri urusannya dengan Hakim.
"Tahu. Judulnya, Akad yang Tak Berjodoh oleh Hamka AR, kan?" Ratih mengangguk.
"Itu satu-satunya novel yang ditulis Hamka RA yang identitasnya bahkan tidak terbaca sama sekali. buku itu terbit tiga tahun lalu dan tanpa ada yang tahu identitas sesungguhnya penulisnya." Jelas Azzam menerangkan perihal novel yang digenggam Ratih. Ia membaca buku itu atas rekomendasi seorang teman sewaktu ia masih di kairo, awalnya ia tak berminat membaca novel semacam itu sebab bukan seleranya. Tetapi karena tidak memiliki buku bacaan ringan lainnya, maka jadilah ia membaca buku itu dan atuh cinta pada bab pertama. Dalam dua jam ia menghabisi semua halaman novel itu, bahkan dibacanya berulang kali hingga hapal betul sebab jatuh cinta dengan rangkaian kata demi kata yang dibalut dengan diksi yang padu, rasanya ringan dan berat di waktu yang bersamaan.
"Novel ini laris di kalangan mahasiswa indonesia di kairo dulu meski tidak diperjualkan di toko sana. ada seorang teman yang menjadi reseller khusus untuk buku indonesia. Dari sana para mahasiswa indonesia mendapatkannya." Lanjut Azzam menjelaskan.
Ratih mengangguk, ia jadi seikit bingung hendak membalas bagaimana. Pasalnya, ia tidak mengerti tentang alur literasi dan proses pendistribusian buku literasi semacam ini. isi dar buku yang dipegangnya ini bahkan baru ia ketahui setengahnya, sebab baru bisa ia baca dari tadi. Ia belum memiliki waktu luang untuk membaca saat berada di indekosnya. Pokusnya hanya tertuju pada penyelesaian tesis yang minggu terakhir ii sedikit ia abaikan.
"Ah begitu ya, Mas. Penulisnya hebat sekali kalau bukunya bisa laris sampai ke mahasiswa Indonesia di Kairo sana. bahkan di luar dugaan ternyata Mas juga menyukai novel romasa seperti ini."
Azzam sedikit tersenyum kikuk, menyadari dirinya terakhir kai ini jadi sering berbicara panjang lebar. Ia seperti merasa bukan dirinya bila dihadapan Ratih, ia awalnya bahkan tak tau harus membahas topik yang seperti apa, tapi sekarang ia senang seekali menjelaskan banyak hal yang tidak gadis itu minta. Azzam berpikir, apa ia terlalu bersemangat untuk mencuri waktu melakukan pendekatan sampai kelihatannya begitu aneh.
"Ah, tidak begitu. Sepertinya saya terlalu banyak bicara dan jadi mengganggumu yang sedang khidmat membaca."
Ratih tersenyum seraya menggeleng. Ah bukan itu maksudnya berkata demikian, ia tidak mengharapkan jawaban seperti itu. Ia hanya mencoba menggoda pria itu yang ternyata di luar dugaan memiliki kesukaan membaca novel romansa seperti kebanyakan perempuan.
"Tidak mengganggu sama sekali. Ngomong-ngomong tadi Mas dicariin sama panitianya karena teerlambat datang. Sudah ketemu tadi?"
"Oh iya sudah, tadi ketemu. Sebenernya sudah lama sih di sini, hanya saja tadi sedang di ruangan Mas Karim. Panitianya terkejut mendapati saya berada di sana."
Seusainya Azzam berkata, Naya mengetuk pintu ruangan dan mengucapkan salam. Meminta izin masuk kepada kedua orang tamu undangannya itu dan memberitahukan bahwa acara akan dimulai 5 menit lagi. Keduanya diminta untuk bersiap-siap.
Ratih dan Azzam mengangguk bersamaan. Lalu Naya pamit kembali dan keluar ruangan.
Azzam bangkit dari duduknya.
"Ayok."
"Kemana?" tanya Ratih dengan alis berkerut bingung mendengar pertanyaan itu.
"Ke aula."
"Ah iya, ayok." Gelagaan gadis itu menjawab, ia seperti orang yang linglung dalam waktu singkat.
"Memangnya dikira mau ke mana?" Azzam bertanya ulang, dalam benaknya terbesit keinginan untuk menjahili si gadis manis itu yang kini sedang mengemasi barang dalam tasnya.
Kening Ratih berkerut bingung lagi memandang ke arah Azzam yang berdiri menjulang di tempatnya. "Tidak kok, Mas."
"Kita ke pelaminan saja, ayok."
"Ha?" Ratih terhenyak sejenak lalu kembali tersadarkan bila pemuda ini sedang menggoda dirinya. "Mas ini ada-ada saja."
Ratih bangun dari duduknya saat suara bariton lawannya kembali mengudarakan pernyataan. "Kok ada-ada aja, sih. Padahal sungguhan loh. Kan tinggal nunggu jawaban dari seseorang yang menghadirkan rindu."
Wajah Ratih berubah kikuk, hatinya semakin berdebar mendengar penuturan itu. Keberadaan lelaki ini saja telah membuat jantungnya seperti tak henti bertabuhkan genderang, di tambah pria ini mengatakan bila ia sedang mananti dirinya yang menghadirkan rindu.
"Mari, Mas."
Ratih beranjak keluar mendahului Azzam. Ia ingin segera menuju aula supaya terlepas dari penyebab jantungnya tak baik ini. Ah lemah sekali dirimu ini, Ratih, begitu saja masa membuatmu berdebar begini.
Azzam dan Ratih menuju kursi yang telah disiapkan panitia di atas panggung. Layar lebar yang disorot oleh lampu LCD menampilkan title besar tema kajian bulanan hari ini.
Aula yang mulanya rcuh itu kini muali sunyi setelah kedatangan dua orang itu. Semua Mahasiswa yang berada di kursi peserta itu tidak ada yang tidak kenal dengan gadis bergamis merah maroon dengan jilbab sepinggang warna senada itu, dialah Ratih Anggraini Putri. Idolanya Mahasiswa universitas yang terkenal karena kecakapannya dalam berorganisasi dan bersosialisasi dengan sesama mahasiswa. Cantik, anggun, cerdas dan juga sholeha.
Sementara, pria yang dibelakangnya juga tak kalah terkenal. Almer Khairul Azzam, seorang pemuda berbakat jebolah univrsitas Al-Azhar Kairo. Pemuda yang dihari pertamanya menginjak kampus ini telah menjadi sorotan karena parasnya yang tampan dan tutur katanya yang bijaksana saat menjadi seorang MC. Hari itu, semua mahasiswa merasa dihadirkan dua orang pendakwah berbakat yang mengenali jiwanya para pemuda dengan pengetahuan yang sangat amat luar biasa. Semua mahasiswa terkagum padanya, lebih-lebih lagi seorang akhwat, mahasiswi dari setiap fakultas. Hanya satu orang yang tidak mengenali dirinya di hari itu, bahkan ia perlu mengajaknya berkenalan untuk membuat gadis itu bisa mengenali wajahnya.
Ratih mengambil mic yang tersedia di atas meja rendah yang diatasnya terdapat dua botol air mineral, dua kotak cemilan dan dua mic untuk digunakan. Ratih melihat ke arah Azzam untuk mencari persetujuan agar memulai kajiannya. Lantas, Azzam yang seolah mengerti dengan tatapan itu menganggukkan kepala tanda persetujuan.
Ratih menarik napasnya dalam lalu mengembuskannya pelan, dalam hati ia mengucapkan basmallah terlebih dahulu.
"Bissmillahirrahmanirrahiim. Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh!"
"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh."
Seluruh aula itu seperti bergetar dengan jawaban salam yang digaungkan oleh seluruh mahasiswa. Membalas do'a keselamatan kembali atas pengucapnya.
Ratih membuka acara itu dengan susunan prakata yang tenang, runtun dan bahasa yang dikenal didunia perkuliahan. Dan semua mahasiswa yang berada di aula itu menyimak dengan takzim tutur kata yang selalu membuat tenang itu.
Setalah mengucapkan puji syukur terhadap Allah, sholawat kepada baginda nabi Muhmmad dan berterimakasih banyak kepada segenap panitia dari divisi Rohis yang menyelenggarakan acara; Ratih mengejak sekalian peserta untuk bersholawat bersama dan dipimpin langsung oleh dirinya.
Suaranya merdu dan lembut menggetarkan. Terdengar begitu jernih lagi menenangkan. Semua yang ada di aula itu seolah tersihir dengan irama sholawat yang dipandu oleh Ratih dan mengikuti alunan irama itu. Bersama mereka menyanyikan lagu sholawat kepada baginda junjungan alam. Gedung aula itu seolah ikut bersholawat dengan mereka.
.
.