Chereads / Akad Yang Tak Berjodoh / Chapter 12 - Takdirkah?

Chapter 12 - Takdirkah?

"Terserah deh!"

Erlina mengangkat bokongnya lalu pergi dengan membawa serta baki makan siangnya untuk di taruh di sink biasa tempatnya menempatkan piring cuci. Ia telah kehilangan nafsu makannya, tidak lebih tepatnya ia semakin bertambah lapar bila di dekat pria itu. Rasa kesal dan jengkelnya akan pemuda itu membuat Erlina ingin memakan lebih banyak camilan sebagai bentuk pelampiasan rasa kesalnya.

Sementara Zibran tersenyum melihat pundak Erlina yang berlalu pergi meninggalkannya tersebab oleh ulahnya yang membuat gadis itu jengkel setengah mati. Ingatannya pada 18 tahun silam kembali melintas dalam kepalanya seperti bioskop dengan latar hitam putih. Ia mengingat jelas bagaimana rupa seorang anak gadis cantik tomboi yang selalu membuatnya pulang ke rumah dalam keadaan kacau. Saat itu bahkan usianya masih tujuh tahun dan anak kecil yang membuatnya menangis itu bahkan lebih muda dua tahun darinya.

Entah sebab dulu ia begitu ingin balas dendam, wajah anak gadis yang dulu membullinya itu masih lekat dalam ingatan dan sama persis dengan wajah milik Erlina, terlebih ia berasal dari kampung halaman yang sama dan ia yakin hal itu.

Zibran berlari mengejar Erlina begitu ia mendapati gadis itu terburu-buru melangkah keluar. Ia mensejajarkan langkahnya dengan langkah kaki gadis itu yang dipaksakan lebar. Zibran justru melihat geli ke arah Erlina, ia merasa bahwa Erlina lucu dengan usahanya yang berusaha lari dari dirinya.

"Erlina tungguin? Gak bisa ya jalannya pelan-pelan saja?" tanya Zibran dengan manik matanya terpokus pada wajah kesal gadis itu yang kini berjalan sembari menghentakkan kakinya. Entah itu untuk menunjukkan bahwa dirinya tidak ingin diganggu.

"Jam istirahat udah habis. Mending kamu juga jalannya yang cepet, kerjaan masih banyak yang numpuk," balasnya dalam sekali tarikan napas dan tanpa jeda. Manik cerianya masih terpokus ke depan, enggan melirik pria yang disampingnya.

"Ah gitu, ya? Bener apa yang Lo bilang, harus jalan cepat supaya kerjanya juga bisa cepat. Sekarang lari Erlina, lari. Lima menit lagi jam istirahat habis," kelakar Zibran meledek Erlina. Ia tahu bila gadis ini ingin segera kabur dari dirinya, mungkin karena lelah meladeni sebab tidak bisa menang lagi seperti dulu. Jika dulu, dirinya bahkan tidak bisa menjawab semua pernyataan gadis itu yang dituduhkan padanya.

"Bapak saja yang lari. Jam istirahat sudah habis."

Erlina masih tidak mengurangi kecepatannya, pintu masuk ruangan mereka sisa sebelas langkah lagi.

Zibran kembali merasa takjub, perempuan ini entah apa bisa disebut profesional dalam hal menyebutkan panggilan untuk bosnya pada saat jam kerja ataukah ketidak sopanan ketika sedang tidak dalam ruangan kerja. Ya memang benar, bila di dalam kantor, statusnya adalah kepala divisi sedangkan di luar dari ruangan atau jam kerja maka statusnya berubah menjadi sebatas orang asing yang saling mengganggu.

"Hmm okey."

Setelah mengucapkan kaliamat itu, Zibran lebih melebarkan lagi langkahnya dan membuat Erlina tertinggal di belakang.

Erlina melongo melihat Zibran yang meninggalkannya. Ia jadi merasa sedikit kesal dan memelankan langkahnya. 'Bodo amat!' batinnya mengumpat kesal.

Telepon dalam genggamannya berderit, menandakan panggilan masuk. Ia berhenti dan melihat nama yang tertera di sana, nama pria yang baru saja meninggalkannya tertera di sana. Erlina mengerutkan kening, dalam hati ia bertanya apa yang dilakukannya pria itu menelponnya. Ia hendak mengabaikan dan melanjutkan langkah. Namun tatkala ia menegakkan pandangan, keningnya hampir saja menabrak dada bidang seseorang jika ia tidak mengerem mendadak tangan kekar seseorang tidak menahan keningnya. Mereka bahkan hanya berjarak satu langkah.

"Makanya kalo jalan itu liat depan!"

Erlina yang menyadari apa yang tengah terjadi segera melangkah mundur dan menjaga jaraknya. Ia menatap marah pada Zibran. Padahal sebab ulah pria itulah dirinya hampir menabrak, lalu sekarang pria itu menyalahkan dirinya dengan alibi semacam itu.

"Bapk ini apaan sih. Ngapain juga tiba-tiba ada di depen saya, padahal tadi, 'kan udah masuk ruangan. Lagian, 'kan ulah bapak juga yang menelpon gak jelas!" cerocos Erlina memarahi pemuda yang menatapnya seolah ia telah terbiasa.

"Kamu memarahiku?" tanyanya tak percaya dengan tampang yang justru sebaliknya, menunjukkan bahwa seolah gadis itulah yang melakukan hal konyol.

"Mana mungkin saya berani memahari Bapak atasan. Sekalipun salah, yang namanya pemimpin selalu benar, kaan?" ledek Erlina lalu berjalan melewati Zibran lagi. Pria satu itu selalu membuatnya kesal dengan tingkah tak terduganya. Tetapi terlepas dari itu, ia kadang menjadi mengharapkan kehadiran pemuda itu tanpa sadar. Bahkan tak sekali dua kali ia tanpa sadar mencari keberadaan tubuh itu.

Zibran memperhatikan punggung kecil Erlina yang melewati pintu ruangan mereka dan langsung mengarah ke mejanya sendiri. Mata Zibran menyipit tatkala bibirnya menyunggingkan senyum lalu berjalan menuju ke arah lift. Ia hendak menuju ruangan Azzam, direktur mudanya itu barangkali telah kembali dari rapatnya.

~***~

Sementara itu, pada lorong kosong yang mengarah menuju ruangannya. Hakim melangkahkan kakinya lebar demi segera mencapai ruangan itu. Anggun, sekretarisnya yang gesit tu kualahan mengejar langkah kakinya. Ia berusaha menahan sakit, rasa nyeri pada tumitnya sebab pinggiran pantopel baru yang ia kenakan.

Dalam langkahnya yang kesulitan, Anggun menebak-nebak apa yang telah terjadi pada atasannya itu. Pasalnya, selepas dari kembalinya seorang diri sehabis rapat. Roman wajahnya sangat gelap dan tidak ramah sama sekali, tidak ada senyum pada bibirnya yang biasa ia lemparkan pada para pegawai bila berpapasan.

Sesampainya dalam ruangan, Anggun segera menyodorkan dokumen yang baru saja dibawanya untuk meminta persetujuan. Sementara pria itu membolak balik halaman dokumen, Anggun menjelaskan inti dari dokumen itu dan tekhnisi pengaplikasian dari rancangan rencana yang telah disusun.

Hakim membubuhkan tanda tangannya di tiga lembar halaman terakhir di atas matrai.

"Lakukan saja seperti ini."

Setelah mengucapkan itu, Anggun undur diri dan siap melaksanakan titah atasannya itu. Beruntung, Hakim tidak memiliki perangai yang buruk dan sangat pandai mengontrol emosinya sendiri hingga tak memengaruhi kinerjanya. Meski demikian, tidak jarang juga ia menjadi tegang berada di sekitar Hakim bila dalam suasana hati yang buruk seperti ini.

Sepeninggalnya Anggun, Hakim menelungkupkan wajahnya pada telapak tangan lalu mereremas rambutnya sendiri dengan kasar. Ia mengerang frustasi, mengingat perlakuan tidak sopan yang ia lakukan pada Ratih. Sesungguhnya ia tidak berniat melakukan hal yang membuat gadis itu benci terhadapnya, entah karena terbawa perasaan sebab terprovokasi oleh ucapan Azzam hingga ia berlaku demikian tanpa sadar. Ia bahkan mendapati gadis itu menatap dirinya begitu dingin. Habislah, gadis itu pasti tak ingin berbicara dengannya lagi. Padahal ia butuh bicara agar ia bisa meluruskan segala kesalah pahaman yang bisa saja timbul di benak Ratih.

Tangannya bergerak mengambil dompet yang terdapat dalam saku celananya. Membukanya dan mendapati gambar seraut wajah mendiang istrinya. Ia mengeluarkan foto itu dan menarik ke atas foto yang terdapat di bawahnya sebelum menaruh foto pertama di atas meja. Foto yang menjadi awal mula kerenggangan yang sempat terjadi di antara dirinya dengan Ratna.

.

.