Chereads / Akad Yang Tak Berjodoh / Chapter 10 - Sebuah Pertemuan

Chapter 10 - Sebuah Pertemuan

Lanjutannya gini nih, Yang tidak kalah penting adalah selalu berpikir positif. Manusia ialah makhluk lemah yang terkadang mudah sekali dikuasai setan. Ia kerap memandang peristiwa yang menimpanya secara berlebihan dan terlalu terbawa perasaan. Padahal, apa yang ia cintai belum tentu baik baginya, dan yang ia benci belum tentu buruk untuknya. 'Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.' Qur'an surah al-Baqarah ayat 26."

Tika menutup ucapannya dengan arti dari al-qur'an surah al-Baqarah ayat 26 itu.

"Nah deengerin tuh. Makanya Loe jangan benci gue kabanyakan. Entar malah jatuh cinta, 'kan jadinya." Suara berat itu berasala dari Zibran yang baru sja mendratkan bokongnya pada kursi yang diseretnya dari kursi milik meja sebelah mereka yang menempatinya telah kosng. Pria itu menaruh secup es coffe yang baru di depan Erlina.

Erlina yang tiba-tiba mendengar suara baritone pria itu di tambah pelakunya mengambil tempat duduk di dekatnya kembali tersedak. Kali ini lebih parah dari yang tadinya. Pedasnya sambal lauk terasa membakar tenggorokannya dengan begitu sadisnya. Erlina sontak memegang dan memijit tenggorokannya yang dibalut jilbab hitam itu, berharap rasa membakar pada tenggorokannya mereda. Ia terbatuk-batuk.

Zibran ikut sontak mengelus pundak gadis itu lalu menyodorkan es kopi yang dibawanya untuk gadis itu. Llau Erlina dengan segera meminumnya tanpa pikir panjang, sebab ia sangat butuh air itu sekarang.

Seusai minum, Erlina merasa lega meski batuknya masih tersisa. Erlina yang menyadari punggung atasnya di elus oleh Zibran; gadis itu sontak menghindar dan menyingkirkan tangan Zibran.

"Segitu kangennya ya Lo sama gue sampe bawa kepikiran gitu. Pas gue dateng Lu langsung nunjukin reaksi kayak gini. Kalo kayak gini terus, Lu bisa mati muda kena keselek tauk," cerocos Zibran setelah menyingkirkan tangannya dan memberi jarak duduk mereka.

"Apaan sih. Siapa yang kangen. Orang lagi makan sambil dengerin ceramahnya Tika. Kamunya aja yang tiba-tiba muncul ngagetin orang," kilah Erlina kesal. Tenggorokannya masih terasa terbakar. Memang benar, pikirannya tidak sengaja mengarah pada pemuda in, tapi bukan karena apa, ia hanya mengutuk pria itu sebab membawa kabur es coffenya padahal pria tu bukan orang yang tidak berada. Pria ini selalu saja meminta gratisan pada Erlina, entah itu camilan yang dibawa untuk dirinya sendiri, minuman kopinya, permennya dan makanan apa pun yang dibawa, pria ini selalu mencomotnya tanpa izin.

"Er, gue udah selese. Gue balik duluan, ya. Bentar lagi jam breaknya abis nih," ucap Tika yang seolah mengerti apa yang terjadi pada Zibran dan Erlina. Ia mengira Zibran dan Erlina memiliki suatu hubungan yang spesial dan Erlina tidak berniat ingin mempublikasikannya di kantor, bila melihat bagaimana tindakan Zibran setiap harinya tentu saja siapa yang tidak akan salah paham. Pria itu memperlakukan Erlina dengan lebih khusus meski perlakuan yang sama kerap ia lakukan juga pada karyawan lain.

"Eh, kok gitu? Tapi aku, 'kan belum selesai."

"Gue juga balik duluan, Er. Kerjaan desain gue belum selese." Selina ikutan undur diri.

"Eg, gue ikut juga dong. Jangan ditinggal jadi nyamuk gini."

Tika segera membekap mulut Ida yang suka nyerocos ceplas ceplos itu. Bersegera menutup iinformasi penting yang tidak boleh diketahui oleh pelaku utamanya langsung.

"Loh, kok jadi pada pergi, sih? Terus akunya sama siapa?" tanya Erlina kebingungan melihat semua temannya pada pergi meninggalkannya sendirian.

"Udah, ya. Kamu habisin aja tu makanannya. Jangan sampe keselek lagi." Tika berpesan sembari menyeret Ida pergi bersamanya dan Selina.

Erlina jadi kebingungaan sendiri bila ditinggal begini. Laparnya bahkan belum tandas, makan siangnya baru ia habisan beberapa suap.

"Ya makan aja kali. Kayak ditinggal pergi ke tempat jauh lain aja kebingungan gitu."

"Lagian kamu juga ngapain di sini? Tadi, 'kan katanya lagi buru-buru."

Zibran memangku dagunya dengan sebelah tangan yang disangga pada meja. Sembari mengelus dagunya, pemuda itu berkata, "Iya sih, tadi buru-buru karna dipanggil Azzam."

"Terus ngapain masih di sini?"

"Nah itu. Gue juga gak tau ngapain gue di sini. Kira-kira Loe tau gak gue ngapain di sini?" Pemuda itu berucap sembari mengendikkan bahunya tidak tahu.

Erlina menatapnya masih tak habis pikir. Telah biasa ia mengalami sikap aneh pemuda ini yang sering menggangunya. Sedari pertama kali bertemu, dirinya memang tidak pernah akur dengan pria ini. Pemuda ini seperti memiliki seribu kotak trik jitu yang selalu berhasil membuatnya jengkel setengah mati di gudang kepalanya dan bila ada orang yang menjualnya, tolong biarkan Erlina membeli beberapa stok saja untuk membalas pemuda tidak waras ini.

Terkadang Erlina jadi berpikir; apa ini karmanya karena sering membuat orang lain jengkel dengan tingkahnya dulu sedari kecil. Hal yang dianggapnya sangat menyenangkan ternyata begitu menjengkelkan ketika diperlakukan sama oleh orang lain. beruntung, Zibran bukan salah satu dari pria yang sering dijahilinya, jika tidak begitu pasti dirinya akan mengira bahwa pemuda itu tengah melancarkan aksi pembalasan dendam.

"Terserah deh!"

Erlina mengangkat bokongnya lalu pergi dengan membawa serta baki makan siangnya untuk di taruh di sink biasa tempatnya menempatkan piring cuci. Ia telah kehilangan nafsu makannya, tidak lebih tepatnya ia semakin bertambah lapar bila di dekat pria itu. Rasa kesal dan jengkelnya akan pemuda itu membuat Erlina ingin memakan lebih banyak camilan sebagai bentuk pelampiasan rasa kesalnya.

Sementara Zibran tersenyum puas melihat pundak Erlina yang berlalu pergi meninggalkannya tersebab oleh ulahnya yang membuat gadis itu jengkel setengah mati. Ingatannya pada 18 tahun silam kembali melintas dalam kepalanya seperti bioskop dengan latar hitam putih. Ia mengingat jelas bagaimana rupa seorang anak gadis cantik tomboi yang selalu membuatnya pulang ke rumah dalam keadaan kacau. Saat itu bahkan usianya masih tujuh tahun dan anak kecil yang membuatnya menangis itu bahkan lebih muda dua tahun darinya.

Entah sebab dulu ia begitu ingin balas dendam, wajah anak gadis yang dulu membullinya itu masih lekat dalam ingatan dan sama persis dengan wajah milik Erlina, terlebih ia berasal dari kampung halaman yang sama dan ia yakin hal itu.

Zibran berlari mengejar Erlina begitu ia mendapati gadis itu terburu-buru melangkah keluar. Ia mensejajarkan langkahnya dengan langkah kaki gadis itu yang dipaksakan lebar. Zibran justru melihat geli ke arah Erlina, ia merasa bahwa Erlina lucu dengan usahanya yang berusaha lari dari dirinya.

"Erlina tungguin? Gak bisa ya jalannya pelan-pelan saja?" tanya Zibran dengan manik matanya terpokus pada wajah kesal gadis itu yang kini berjalan sembari menghentakkan kakinya. Entah itu untuk menunjukkan bahwa dirinya tidak ingin diganggu.

"Jam istirahat udah habis. Mending kamu juga jalannya yang cepet, kerjaan masih banyak yang numpuk," balasnya dalam sekali tarikan napas dan tanpa jeda. Manik cerianya masih terpokus ke depan, enggan melirik pria yang disampingnya.

"Ah gitu, ya? Bener apa yang Lo bilang, harus jalan cepat supaya kerjanya juga bisa cepat. Sekarang lari Erlina, lari. Lima menit lagi jam istirahat habis," kelakar Zibran meledek Erlina. Ia tahu bila gadis ini ingin segera kabur dari dirinya, mungkin karena lelah meladeni sebab tidak bisa menang lagi seperti dulu. Jika dulu, dirinya bahkan tidak bisa menjawab semua pernyataan gadis itu yang dituduhkan padanya.

"Bapak saja yang lari. Jam istirahat sudah habis."

Erlina masih tidak mengurangi kecepatannya, pintu masuk ruangan mereka sisa sebelas langkah lagi.

Zibran kembali merasa takjub, perempuan ini entah apa bisa disebut profesional dalam hal menyebutkan panggilan untuk bosnya pada saat jam kerja ataukah ketidak sopanan ketika sedang tidak dalam ruangan kerja. Ya memang benar, bila di dalam kantor, statusnya adalah kepala divisi sedangkan di luar dari ruangan atau jam kerja maka statusnya berubah menjadi sebatas orang asing yang saling mengganggu.

"Hmm okey."

Setelah mengucapkan kaliamat itu, Zibran lebih melebarkan lagi langkahnya dan membuat Erlina tertinggal di belakang.

Erlina melongo melihat Zibran yang meninggalkannya. Ia jadi merasa sedikit kesal dan memelankan langkahnya. 'Bodo amat!' batinnya mengumpat kesal.