"Bagaimana kabarmu?" Tanya Riana lewat teleponnya.
"Bagaimana denganmu?"
"Kau pasti sudah tahu." Jawab Riana terdengar lesu.
"Maaf jika aku harus menghubungimu malam-malam begini. Aku hanya...ingin memastikan..."
"Apa aku masih hidup? Tanpamu? Aku sedang mencobanya sampai sekarang."
"Tolong jangan seperti ini, aku hanya menanyakan bagaimana kabar kalian."
"Aku tahu kau ingin sekali menanyakan kabar Luna, karena kau lebih mencintainya daripada aku. Luna sudah kuliah sekarang, di luar negeri, Oxford University."
Andra diam sejenak, kemudian Riana melanjutkan bicaranya.
"Mengapa kau tidak menanyakan darimana aku mendapatkan uang untuk biaya kuliahnya?"
"Karena tujuanku hanya ingin tahu kabar kalian, selebihnya itu bukan hakku."
"Kau sangat picik, Andra. Beruntungnya dirimu tidak aku laporkan kepada polisi sejak kau membawa Luna pergi diam-diam. Tapi Luna yang menyelamatkanmu dari itu semua, dia lah yang membuatmu selamat sampai detik ini."
"Dengar Riana, aku tidak pernah melakukan hal apapun dengan Luna, saat itu aku hanya merayakan ulang tahunnya!"
"Dan menghadiahkannya cincin? Dan kau bilang kau akan menikahinya ketika ia sudah..."
Andra langsung menutup teleponnya, kemudian melempar handphonenya ke dinding hingga hancur berkeping-keping. Hingga pagi menjelang, ia tidak tidur sama sekali. Memikirkan hal yang tak seharusnya ia pikirkan, Luna.
***
Saat di kantor, Andra menghubungi Ramona untuk membuatkan secangkir kopi hitam untuknya.
"Selamat siang, tuan. Silahkan kopinya." Ramona meletakkan secangkir kopi itu diatas meja kerja Andra.
"Terima kasih." Andra segera meneguknya sampai habis, padahal kopi itu masih panas. Ramona hanya menatapnya heran.
"Ada yang lain lagi, tuan?"
"Tidak, terima kasih, kembalilah bekerja."
"Apakah tuan baik-baik saja?"
"Menurutmu?"
"Kita bahas ini saat makan siang, permisi tuan." Ramona keluar dari ruangannya.
Ramona mengajaknya ke restoran favoritnya pada saat istirahat kerja. Restoran sederhana namun dengan tema berkelas. Sempat membuat Andra tertawa sejenak, karena sebelumnya ia belum pernah ke restoran itu.
"Apa ada yang lucu, tuan?"
"Tidak, hanya saja...aku belum pernah makan disini."
"Selalu di tempat mahal, bukan?"
"Ehm...begitulah, tapi ini lumayan bagus."
"Biasakanlah, tuan, karena mungkin kita tidak akan berada di posisi teratas terus menerus."
"Kau berharap perusahaanku bangkrut ya?"
Ramona tertawa sekilas.
"Tidak, tuan, maksudku seperti itulah kehidupan yang sebenarnya." Sambil menyantap makanannya.
"Jadi...ada apa, tuan? Sebab tidak biasanya tuan memesan kopi hitam tadi."
"Semalam aku tidak bisa tidur, sampai pagi."
"Mengapa begitu?"
"Aku menghubungi Riana semalam."
"Lalu? Bagaimana tanggapannya?"
"Awalnya baik, setelah itu ia mengungkit masa lalu kita."
"Kita? Sebenarnya ada masalah apa antara tuan dengan Riana? Maaf jika tidak ingin menceritakannya tidak masalah, tuan. Maafkan saya jika saya lancang."
"Riana juga mencintaiku. Dia seorang janda, ditinggal pergi begitu saja dengan suaminya sejak Luna masih bayi."
"Apa? Jadi...saat tuan mencintai Luna, Riana juga mencintai tuan?"
"Tepat sekali. Saat pertama kali aku bertemu Luna, aku merasa nyaman di dekatnya. Ia selalu menghiburku dikala aku sedih dan banyak masalah. Darisana lah aku mulai mencintainya melebihi siapapun. Hubunganku dengannya semakin erat, disanalah Riana mulai menceritakan semua kehidupan pedihnya. Aku selalu memberikan saran yang baik, tapi ia salah menilaiku, dan Riana mulai nyaman berada di dekatku."
"Maaf, tuan, apa Riana tidak tahu tentang hubungan tuan dengan putrinya pada saat itu?"
"Belum, Riana mengira kami hanya sebatas hubungan adik dan kakak. Namun setelah Riana mengetahui yang sebenarnya, ia menyebutku monster. Sejak itu, Riana mulai membatasi kedekatan kami, sebab Luna masih sangat membutuhkanku dan tak ingin jauh dariku. Bahkan mereka berdua pernah berseteru hanya karena aku."
Ramona menghela nafasnya setelah mendengar cerita Andra.
"Lalu bagaimana kondisi mereka sekarang, tuan?"
"Aku tidak tahu, yang pasti Luna sekarang kuliah di luar negeri."
"Kuliah?" Batin Ramona.
Seusai makan siang, Andra mengajak Ramona pergi ke supermarket untuk membeli handphone baru. Ramona juga yang memilih handphone untuk Andra yang lebih canggih dari sebelumnya.
"Handphone lama tuan ada dimana?" Sambil memberikan handphone barunya.
"Aku menghancurkannya semalam, saat aku menelpon Riana."
"Apa yang terjadi sampai tuan melakukan itu?"
"Dia menyinggungku soal sesuatu. Oh ya, kau tidak membeli handphone baru juga? Beli lah, biar aku yang membayarnya."
"Tidak, tuan, terima kasih, saya masih bisa menggunakan handphone lama saya."
"Baiklah, padahal aku bersungguh-sungguh ingin membelikanmu handphone baru."
"Tidak, tuan, sekali lagi terima kasih."
Kemudian Andra menghidupkan mobilnya. Sambil berkendara, sesekali ia menatap ke arah Ramona.
"Entah mengapa kau sangat berbeda dari lainnya. Atau ini hanya awalnya saja?"
"Maksud tuan Andra?"
"Lupakan." Tersenyum sembari mengendarai mobilnya.
"Oh ya, tuan, saya lupa, ada salam dari Maya, adik perempuan saya."
"Benarkah? Apa katanya?"
"Sepertinya ia menyukai tuan Andra, ia selalu menanyakan tuan."
"Bolehkah jika lain waktu aku mengajak kalian makan malam lagi?"
"Tentu saja, tuan."
"Bagus." Ucap Andra sambil tersenyum.
***
Malam ini, Andra mencoba untuk mengunjungi rumah Riana. Ia memberanikan dirinya untuk kesana, sebab memang ada masalah diantara mereka yang masih belum tuntas sejak 10 tahun yang lalu. Niat Andra mungkin saja jika masalah ini selesai ia bisa fokus kembali terhadap karirnya, dan tidak akan lagi dihantui oleh masa lalunya.
Anehnya, seorang pria paruh baya yang membukakan pintu rumahnya. Tampangnya seperti preman jalanan dengan tubuhnya yang besar dan kekar.
"Siapa kau?!" Tegasnya padaku sembari menghisap rokoknya.
"Saya Andra, saya ingin bertemu dengan Riana."
"Riana sedang istirahat, kembalilah besok." Menutup pintunya, secepatnya Andra menahan pintu itu.
"Saya mohon, biarkan saya menemuinya."
Kemudian pria itu mendorong keras tubuh Andra hingga terjatuh.
"Kau belum tahu siapa aku? Hah?!" Gertak pria itu.
"Aku hanya teman lamanya, tenanglah!"
"Siapa yang peduli?!"
Lalu Riana datang menengahi Andra dan pria itu.
"Tunggu! Ada apa ini?! Andra?! Apa yang kau lakukan disini?!"
"Aku hanya ingin bicara padamu." Balasku pada Riana.
Kemudian Riana menyuruh pria itu kembali masuk ke dalam rumahnya.
"Masuklah sebentar, ia bukan siapa-siapaku, hanya teman, percayalah padaku, Josh."
Pria itu pun kembali masuk dengan raut wajahnya yang masih kesal.
"Ok, bicaralah sekarang." Lanjut Riana.
"Siapa pria itu?"
"Bukan urusanmu, jika kau hanya menanyakan siapa dia, aku akan masuk."
"Baik, tunggu dulu,"
"Apa?" Ucap Riana seolah menantang.
"Maafkan aku jika selama ini aku ada salah, dan aku mohon jangan kau ungkit lagi masa lalu itu, agar semuanya dapat aku anggap selesai."
"Selesai? Kau pikir dengan kondisiku seperti ini itu selesai? Kau kemari dengan kemeja rapi, sementara hidupku seperti ini?!" Sambil menyentuh kemeja Andra dengan kasar.
"Bahkan aku tidak tahu tentang hidupmu selama ini, Riana, kau lah yang melarangku untuk menghubungi Luna, sampai akhirnya kita berdua tidak ada hubungan apapun lagi. Apa itu masih salahku?"
"Aku sangat menyayangi Luna, asal kau tahu itu, itulah sebabnya aku rela melakukan apapun demi dia. Bahkan menjalin hubungan dengan pria brengsek seperti dia."
"Begitu juga aku, Riana, aku juga mencintainya melebihi siapapun."
"Tapi bukan seperti itu maksudku, Andra, dia melihatmu sebagai sesosok ayah yang ia rindukan selama ini. Tapi apa balasanmu? Kau malah menjadikannya kekasihmu, God Dammit." Riana mulai menangis.
"Maafkan aku, Riana."
"Pergilah, Andra, aku mohon pergilah." Sambil mengusap air matanya.
Kemudian Andra memberikan kartu namanya pada Riana.
"Hubungi aku jika kau butuh sesuatu, aku rasa saat ini bukan waktu yang tepat untuk kita bicara. Dan jangan pernah berpikiran bahwa aku tidak peduli dengan kalian. Aku masih peduli, sadarlah bahwa kau lah yang mengakhiri hubungan ini. Selamat malam, Riana."
Andra pun pergi meninggalkannya. Meski ia khawatir dengan pria yang bersamanya sekarang. Riana lah yang ia khawatirkan. Prasangka buruk mulai menghantuinya sepanjang jalan saat ia mengendarai mobilnya.