"Awalnya saya kira itu cinta, lalu saya sadar ketika ayah tiri menyuruh saya untuk membuka semua pakaianku." Lanjut Ramona.
"Cukup, Ramona. Sudahlah, jangan diteruskan." Tegas Andra.
Ramona pun akhirnya menangis tersedu-sedu. Kemudian Andra mencoba mendekatinya, namun Ramona malah mengangkat handphone Andra dan akan menekan tombol panggil ke nomor 911.
"Ok, tenanglah, aku hanya ingin menenangkanmu." Andra mengangkat kedua tangannya, lalu kembali mundur beberapa langkah.
"Saya harap...si kecil Luna tidak mengalami peristiwa yang sama dengan saya."
"Kau bisa tanya sendiri padanya. Itu pun kalau dia memang ada disini. Lagipula tidak semua orang bisa kau sebut predator hanya karena pernah menjalin hubungan dengan gadis kecil. Tapi di sisi lain kau juga benar, hanya saja aku menahan hasrat itu, karena aku tidak ingin menyakiti Luna. Aku mencintainya, bahkan aku berjanji padanya bahwa aku akan menikahinya jika ia sudah cukup umur."
"Anda sudah gila."
"Memang...karena aku baru mengenal arti cinta dan kasih sayang yang sesungguhnya itu dari Luna. Jadi, terserah kau akan menyebutku apa, tapi tidak semua orang itu seperti yang kau pikirkan."
Mereka pun saling tatap, bukan tatapan penuh arti melainkan kebencian yang mendalam.
"Pulanglah, Ramona. Aku tahu kau tidak ingin berlama-lama dengan seorang predator." Berbalik membelakangi Ramona.
Ramona pun akhirnya pergi meninggalkannya tanpa pamit. Sementara Andra tiba-tiba mengingat kata-kata Riana 10 tahun yang lalu, saat menyebut dirinya "Binatang" setelah mengetahui hubungannya dengan Luna.
"Am I beast? Maybe they're right." Gumam Andra dengan senyum terpaksa.
***
Keesokan paginya Ramona mengantar Maya untuk berobat ke puskesmas. Ramona heran ketika ternyata semua biaya pengobatan Maya itu di bebaskan.
"Bebas biaya? Bagaimana bisa, dok?" Tanya Ramona pada dokter setelah memeriksa Maya.
"Seluruh pihak kesehatan dan rumah sakit telah membebaskan biaya anda sekeluarga atas ijin dari tuan Andra Anggara." Jawab dokter.
Ramona hanya diam, lalu pamit untuk meninggalkan puskesmas.
"Om Andra baik ya kak, tapi aku heran, kenapa kakak sangat membencinya?" Tanya Maya seiring berjalan menuju parkir sepeda motor.
"Aku tidak membencinya, aku hanya takut padanya." Jawab Ramona yang berjalan fokus kedepan.
"Takut kenapa kak? Om Andra itu orang baik kak."
"Kau belum mengetahui yang sebenarnya dari dia, Maya."
Lagi-lagi Maya merasa kesal terhadap Ramona yang terlihat sangat membenci Andra.
Sesampai di rumahnya, Ramona menyuruh Maya untuk tidak lupa istirahat dan meminum obatnya selagi ia pergi untuk mencari lowongan pekerjaan. Ia juga menyuruh adik laki-lakinya, Rio, untuk menjaga Maya selama ia pergi.
"Dan jangan lupa kunci rumahnya ya, jangan boleh ada yang masuk selain aku, paham?"
"Paham, kakak." Mereka berdua serentak menjawabnya.
"Anak-anak pintar, jaga diri kalian baik-baik." Ramona tersenyum, lalu pergi dengan sepeda motornya.
***
Saat sedang sibuk mengerjakan dokumen di komputernya, tiba-tiba saja jantung Andra berdebar hebat hingga keringat dingin bercucuran di dahinya.
Semua seolah melambat saat penyakitnya kambuh. Namun Andra terus berusaha untuk mengambil obatnya yang ia letakkan di laci dimana ia juga menyimpan foto Luna disana.
Sedikit kesulitan saat mengambilnya, akhirnya ia terjatuh dari kursi kerjanya. Andra merangkak untuk mengambil obat itu dari lacinya. Disaat yang sama, seseorang mengetuk pintu dari luar, terdengar seperti suara David yang memanggil namanya berkali-kali.
"Tunggu...sebentar." Ujar Andra lemah.
"Tuan Andra? Anda baik-baik saja?" David mulai cemas sambil mengetuk pintunya.
"Tunggu...saja."
Kemudian Andra menarik laci itu hingga lepas keluar dari tempatnya, lalu meminum obatnya segera.
"Masuklah."
David sangat terkejut ketika melihat Andra duduk tersungkur di samping meja kerjanya sembari mengipas-ngipas dirinya dengan lembaran dokumen.
"Tuan Andra! Ya Tuhan! Saya panggilkan ambulan segera!" Ucap David panik.
"Tidak...jangan...aku baik-baik saja, David."
"Tapi tuan..."
"Percayalah, aku baik-baik saja."
Kemudian David membantunya berdiri dan duduk kembali di kursi kerjanya. David sempat melihat foto Luna yang berserakan bersama dengan dokumen-dokumen penting.
"Sebaiknya anda istirahat saja, tuan, biar saya yang menyelesaikan pekerjaan tuan."
"Sudah selesai, bisa minta tolong ambilkan segelas air?"
"Baik tuan." Segera mengambil air minum lalu memberikannya pada Andra.
"Terima kasih." Andra langsung meminumnya sekali tegukan.
"Tuan yakin baik-baik saja?" Tanya David sekali lagi.
"Tenang saja, David. Aku memang sengaja melakukan ini, agar aku bisa hidup mandiri untuk bertahan hidup."
"Jangan seperti itu, tuan, lalu apa gunanya semua ini? Masih ada saya disini, tuan tidak sendirian."
"Terima kasih, David. Kau memang teman terbaikku sejak dulu."
"Baik, biarkan saya membereskan laci ini, tuan."
David heran ketika membereskan lacinya. Kebanyakan dari dokumen dan barang-barang dari laci itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan perusahaan AlCorp. Dan David hanya terpaku melihat foto Luna seolah ia bertanya-tanya, siapakah gadis kecil di foto itu. Namun ia hanya diam dan menaruh foto itu ke dalam laci.
"Jika ada keperluan segera hubungi saya, tuan. Saya kembali bekerja, istirahatlah sejenak, tuan." Lalu pergi.
"Hei David."
David menghentikan langkahnya.
"Ya tuan?"
"Apa yang kau pikirkan tentangku? Setelah kau melihat foto itu?"
"Um...tidak ada, tuan." Jawab David gugup.
"Jika kau berbohong, berhentilah bekerja untuk selamanya. Aku butuh jawaban jujur darimu."
"Itu foto gadis kecil, tuan."
"Lalu? Apa yang kau pikirkan?"
"Tuan...menyukainya?"
"Dan apakah itu buruk?"
David terdiam ketakutan, takut bila nanti salah menjawab pertanyaannya.
"Aku rasa...tidak, tuan, jika tuan tidak terlalu berlebihan. Mungkin itu sebabnya tuan Andra mendapatkan undangan itu. House of Bunnies."
"Jadi itu buruk, bukan?"
"Tapi aku percaya bahwa tuan bukanlah orang yang seperti itu. Tuan Andra selalu mengambil keputusan baik selama ini, sehingga sangat berpengaruh dalam perusahaan ini."
Andra menatap mata David, memastikan bahwa tidak ada kebohongan dalam dirinya, kemudian melanjutkan pembicaraannya.
"Ok...sekarang aku angkat jabatanmu, sebagai asistenku."
"Apa...apa tuan yakin akan itu?" Tanya David terkejut.
"Sangat yakin, 100 %. Mulai detik ini, ok?"
"Baik...tuan."
***
Seusai Riana menjalani sidang, Josh divonis 5 tahun penjara atas kekerasan yang ia lakukan pada Riana. Tatapan sayu Luna terpapar jelas di hadapan Josh pada saat Josh sedang dikawal polisi untuk memasuki ruang bui. Sementara Josh membalas tatapan Luna dengan raut wajah memelas.
"Ayo Luna, kita pulang." Sahut Riana saat melihat Luna yang masih terpaku menatap Josh yang sedang menuju ke ruang bui.
Lalu Riana dan Luna pulang dengan taxi yang sudah Riana pesan melalui telepon. Sepanjang perjalanan, mereka hanya diam tak membahas apapun hingga sampai di rumahnya.
"Aku tidak percaya Josh melakukan itu padamu." Celetuk Luna kemudian saat memasuki rumah.
"Jangan bicara tentang Josh lagi! Sudah cukup! Biarkan aku sendiri sejenak!" Gertak Riana, lalu masuk ke dalam kamarnya.
Luna paham, Riana pasti sangat terpukul dan stres berat pasca sidang dan segala lika liku kehidupannya yang tidak pernah merasakan manis selama ini. Jadi, ia lebih memilih untuk mengalah, karena Luna lebih paham dari siapapun tentang sikap ibunya.
Luna pun akhirnya mengalihkan suasana dingin itu dengan memasak sesuatu di dapur. Tak lama kemudian seseorang mengetuk pintu rumahnya.
"Ya sebentar." Sambil berjalan mengarah ke pintu rumah.
Saat membuka pintu rumahnya, ternyata seseorang itu adalah Andra. Mereka berdua terpaku sesaat dan saling tatap. Apalagi detak jantung Andra yang berdegup kencang saat menatap Luna yang kini sudah dewasa.
"Lu...Luna?" Ucap Andra tercengang.