"Ada apa Riana?" Ketika Andra menghubungi Riana di ruang pasien.
"Syukurlah, bagaimana kondisimu sekarang? Ada apa sebenarnya? Aku dengar kau sedang dirawat di rumah sakit, apa yang terjadi?"
"Tenanglah, aku baik-baik saja sekarang, jangan terlalu mengkhawatirkanku, khawatirlah dengan dirimu sendiri, Riana."
"Itulah yang akan ku bicarakan padamu. Semalam aku menelponmu."
"Aku tahu, asistenku yang menerimanya."
"Bolehkah aku mengunjungimu sekarang?"
***
Sementara itu, Ramona masih tercengang melihat sosok Luna di dalam foto itu yang ternyata adalah gadis kecil yang berusia sekitar 10 tahun.
"Permisi, nona Ramona?" Tiba-tiba David masuk ke kantor Andra. Ramona sedikit terkejut.
"David, bisakah kau mengetuk dulu?!"
"Maafkan aku, nona, saya hanya menanyakan dokumennya, apa sudah ditemukan?"
"Sudah, sudah aku temukan, tunggu saja diluar, aku akan segera keluar."
"Baik, nona." Keluar dari kantor Andra.
Lalu Ramona mengembalikan foto itu ke tempat semula dan menguncinya kembali. Kini ia tahu semua masalah Andra, meski ia masih saja heran. Apakah Andra seorang pedofil di masa lalunya?
***
Ramona terkejut ketika melihat seorang wanita yaitu Riana, yang mendampingi Andra di ruang pasien ketika ia sampai disana. Dan ekspresi wajah Andra terlihat cerah ketika bersamanya.
"Maaf, atas ijin siapa anda bisa masuk kesini?" Tegas Ramona.
"Oh, maaf aku lupa, Riana dia Ramona, asistenku. Tenang Ramona, aku lah yang memberinya ijin untuk masuk kesini." Jawab Andra.
"Riana." Riana mengajak Ramona berjabat tangan, namun Ramona tak membalasnya, hanya menghembuskan nafas kesal.
"Tuan Andra? Saya akan pergi mencari makan siang, apakah tuan ingin saya belikan sesuatu?" Kedua matanya masih tajam menatap wajah Riana.
"Boleh, Riana kau ingin pesan apa?" Tanya Andra dengan senyum cerahnya.
"Tidak, kebetulan sebelum kemari aku sudah makan siang. Terima kasih." Jawab Riana lembut.
"Ok, jika begitu, samakan saja dengan pesananmu, Ramona. Untukku."
"Baik, tuan." Lalu meninggalkan mereka berdua di dalam dengan raut wajahnya yang masih terlihat kesal.
"Yakin dia asistenmu?" Tanya Riana heran.
"Ya, memang dia asistenku, kenapa?"
"Sepertinya dia cemburu melihatku bersamamu disini."
Andra tertawa mendengar perkataan Riana.
"Jangan salah sangka, dia hanya asistenku, tidak lebih."
"Bagaimana jika ia menganggapmu lebih?"
Andra diam sejenak. Kemudian melanjutkan perkataannya.
"Aku rasa itu tidak mungkin, titik."
"Ok, aku tidak akan ikut campur jika itu terjadi sungguh."
"Baik, cukup membicarakan tentangnya, please. Siapa pria yang aku temui di rumahmu kemarin?"
"Calon suamiku."
"Serius?"
"Ya."
Riana melihat Andra yang tampak lesu dan berhenti bicara setelah itu.
"Ada apa? Ada yang salah soal itu?"
"Begini...apa kau yakin akan berumah tangga dengan pria seperti itu? Kasar, tidak ramah tamah, penampilan seperti preman."
"Tidak tahu, dia...aku tahu dia kasar, tapi..."
"Menjelaskan tentangnya saja kau masih ragu, lihatlah Luna, bagaimana jika ia memiliki seorang ayah yang seperti itu?"
"Selalu Luna." Tiba-tiba menjauh dari Andra.
"Tunggu dulu, Riana. Pikirkan baik-baik, ok? Apa yang kau lihat dari pria itu? Sehingga membuatmu yakin? Maaf jika aku lancang, tapi ini demi kebaikanmu dan Luna."
"Selamat siang, Andra. Istirahatlah, semoga cepat sembuh." Kemudian ia keluar dari ruangannya.
"Kau benar-benar wanita terbodoh yang pernah aku kenal, Riana." Ujar Andra setelah Riana pergi.
***
3 hari kemudian, Andra diperbolehkan untuk pulang dari rumah sakit. Ramona mengantarnya pulang ke rumah dengan mobil mewah milik Andra.
Sesampai di rumah Andra, Ramona mendampinginya sampai masuk ke dalam rumahnya.
"Duduklah, tuan. Mau saya buatkan sesuatu?"
"Orange Squash, please." Duduk di sofa ruang tamu.
"Baik, tuan." Segera pergi mengambil sesuatu di kulkas.
"Silahkan, tuan." Meletakkan sebotol orange squash dengan satu gelas diatas meja.
"Mengapa hanya satu gelas? Kau tidak minum?" Sambil menuangkan orange squash ke dalam gelasnya.
"Tidak, tuan, terima kasih."
"Oh ya, bagaimana acara makan malam kita yang tertunda? Apakah masih berlaku?"
"Ehm...dengan adikku? Atau berdua saja?" Tanya Ramona gugup.
"Tentu saja bersama adik-adikmu." Jawab Andra sembari meminum orange squash-nya.
Ramona tak menjawab apapun.
"Ramona?" Sapa Andra yang seketika membuat Ramona tersadar.
"Mengapa harus dengan Maya, tuan?"
"Tidak apa-apa, jika sekiranya kau ada acara lain tidak masalah, bisa kita tunda dulu."
Suasana semakin tegang bagi Ramona. Entah mengapa perasaan tidak nyaman mulai muncul dalam benaknya ketika Andra mengajak makan malam bersama dengan Maya.
"Maaf, tuan, saya baru ingat jika saya ada janji dengan teman, saya pamit pulang, tuan."
"Ada apa denganmu, Ramona? Kau tidak seperti biasanya." Tanya Andra saat melihat wajah Ramona yang sedikit ketakutan.
"Tidak apa-apa, tuan, jangan lupa minum obatnya, permisi." Lalu bergegas keluar dari rumah Andra.
"Hei, tunggu."
Ramona pun menghentikan langkahnya.
"Terima kasih sudah mengantarku pulang, tapi..." Menarik tangan Ramona untuk masuk kembali ke dalam rumahnya, lalu menutup pintunya.
"Mengapa harus terburu-buru, Ramona?" Wajah Andra mulai mendekatinya hingga ia terpojok ke dinding, Ramona pun tampak ketakutan sekarang.
"Apa yang kau sembunyikan dariku? Katakan."
Hembusan nafas Ramona mulai tak beraturan ketika posisi tubuh Andra lebih dekat lagi dengannya.
"Saya tahu...tentang Luna." Balas Ramona yang mulai gemetar hebat dengan keringat dingin yang mengucur deras di dahinya.
"Shit!" Kemudian menjauh dari Ramona.
"Maafkan saya, tuan, awalnya saya mengira bahwa...Luna adalah seorang wanita, tapi ternyata..."
"Untuk apa kau membuka laci itu?!" Tegas Andra.
"Maafkan saya..."
Andra kembali mendekatinya dengan amarahnya yang meluap-luap.
"Untuk apa kau membuka laci itu?!" Gertak Andra sehingga membuat Ramona menangis.
"Saya...saya hanya mencari dokumen meeting, tolong ampuni saya, saya mohon." Duduk tersungkur sambil menangis di hadapan Andra.
"Itulah sebabnya kau ragu mengajak Maya untuk makan malam bersamaku?"
Andra merasa kasihan dengan Ramona ketika ia tersungkur lemah dihadapannya.
"Berdirilah, tidak perlu seperti itu." Ramona pun menurutinya.
"Setidaknya kau tahu sekarang, mengapa aku seringkali mengunjungi club penari striptis itu, dan bercinta dengan beberapa wanita disana. Karena aku tahu, sikapku ini tidak baik dan aku ingin melupakannya. Tapi apa yang kau perbuat selama ini? Membuka kembali masa lalu itu, memaksaku untuk mengingatnya kembali, semata-mata hanya karena kau ingin membuatku menjadi lebih baik? Tidak semudah itu, Ramona."
"Tapi saya percaya pada tuan, tuan bukanlah pria yang seperti itu..."
"Seperti apa?! Predator?! Tukang cabul?! Penjahat kelamin?! Iya?! Itu yang kau maksud?!"
"Dan saya percaya bahwa tuan bukanlah salah satu dari semua itu." Jawab Ramona dengan isak tangisnya yang masih tersisa.
"Apa yang membuatmu percaya?!"
"Saya sudah mengenal tuan Andra selama hampir 6 tahun, itulah mengapa saya percaya."
Amarah Andra kemudian mereda dengan sendirinya dan kembali tenang setelah Ramona mengatakan itu. Dan rasa sesal pun muncul dari benak Andra setelah membuat Ramona ketakutan.
"Maafkan aku, Ramona. Tapi tolong, jangan lagi ada yang di tutup-tutupi diantara kita. Karena aku percaya padamu selama ini."
Ramona menganggukkan kepalanya perlahan.
"Biarkan aku yang mengantarmu pulang."