Suasana penjara yang kian dingin dan senyap, namun beberapa kriminal memandang tajam pada gadis cantik yang sedang melewati lorong demi lorong penjara didampingi oleh kedua polisi.
Semua mata terpana oleh gadis cantik bertubuh kecil itu, hingga akhirnya kedua polisi itu berhenti di sel nomor 146.
"Waktu anda hanya 10 menit saja, nona Luna." Ujar salah satu polisi itu.
"Ya, terima kasih." Balas gadis cantik yang bernama Luna itu, kedua polisi itu pun pergi meninggalkannya di balik jeruji penjara dimana Josh sedang di tahan disana.
"Aku tahu...aku telah mengecewakanmu, Luna." Sahut Josh yang tengah duduk membelakanginya.
"Semua pasti ada alasannya, jadi, apa alasanmu melakukan itu pada ibuku?" Tanya Luna.
"Karena itulah diriku yang sebenarnya."
"Mengapa aku baru mengetahuinya?"
"Karena selama ini kau lah yang membuatku tenang, sejak kau pergi ke luar negeri, tiada lagi yang bisa membuatku tenang. Karena kau mengingatkanku pada mendiang putriku." Menoleh ke arah Luna.
"Kau tahu? Aku sudah menganggapmu seperti ayahku sendiri selama ini. Tapi ternyata..." Luna menghela nafas dan mulai menangis.
Josh pun berdiri lalu perlahan menghampiri Luna dibalik jeruji besi.
"Maafkan aku, Luna. Kau tahu aku sangat menyayangimu dan juga ibumu."
"Jika memang begitu, kau tidak akan melakukan kekerasan pada ibuku. Aku sangat kecewa padamu, Josh." Air mata Luna terus mengalir di pipi lesungnya.
Kemudian Luna pergi meninggalkannya.
"Luna?...Luna!" Teriak Josh dibalik penjara.
Setelah itu Luna menghubungi ibunya, Riana, seiring melangkah pergi dari kantor kepolisian.
"Halo? Ibu? Aku baru saja menemui Josh."
"Untuk apa? Apa yang kau lakukan disana, Luna?! Pulanglah sekarang! Ibu tunggu di rumah."
"Baik bu." Menutup teleponnya lalu beranjak pulang dengan taxi.
***
Berkali-kali Andra menghubungi Ramona saat di kantornya, namun sayangnya Ramona tidak menerima teleponnya sama sekali.
"Dammit!" Membanting handphonenya di meja.
Lalu ia menghubungi David.
"David, coba kau hubungi Ramona sekarang, hari ini ia tidak datang, padahal ini sudah jam 10 siang, biasanya ia tidak pernah terlambat!"
"Baik, tuan, saya hubungi dia sekarang juga."
"Ok, kabari aku jika sudah selesai." Lalu menutup teleponnya.
Sampai pukul 5 sore nyatanya Ramona tak kunjung datang, hingga akhirnya Andra mencoba untuk mengunjungi rumahnya. Saat Andra mengetuk pintu, Ramona yang mebukakannya.
"Ada apa?" Tanya Ramona dingin.
Kemudian Andra memberikan surat pengunduran dirinya yang sudah disahkan olehnya yang terbalut map.
"Jika itu memang maumu, baiklah. Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih, karena selama ini sudah membantuku, menjadi teman baikku, seringkali mengingatkanku tentang hal positif. Jujur aku sangat berat, tapi bagaimana lagi? Jadi...aku hargai keputusanmu."
Raut wajah Ramona seketika berubah memelas, seolah ia merasa iba dengan Andra karena ucapannya itu.
"Selamat sore, Ramona." Berbalik arah lalu pergi.
"Maaf...tuan Andra." Sahut Ramona tiba-tiba.
Andra pun menghentikan langkahnya.
"Maya sedang sakit hari ini, jadi, seharian ini saya membawanya ke dokter lalu mengurusnya di rumah. Maaf jika saya tidak sempat menerima telepon anda." Lanjut Ramona.
"Andra saja, tidak perlu formal. Kau sudah bukan siapa-siapaku lagi." Jawab Andra membelakanginya.
"Semoga lekas sembuh untuk Maya." Lanjut Andra, lalu masuk ke dalam mobilnya dan pergi.
Ramona pun kembali masuk ke dalam dan mendampingi Maya di kamarnya yang tengah tergeletak lemah di ranjang.
"Kak? Siapa barusan yang datang? Om Andra ya?" Tanya Maya.
"Ehm...ya." Jawab Ramona terpaksa sembari mengelus kepala Maya dengan lembut.
"Ada apa kak?"
"Aku berhenti bekerja dengannya."
"Kenapa kak?"
"Tidak apa-apa, aku ingin mencari pekerjaan lain saja."
Maya menghembuskan nafas kasar, meski Ramona tahu tentang perasaan kecewa dari Maya, namun ia sama sekali tidak peduli. Ia fikir keputusan itu adalah yang terbaik baginya.
Kemudian Ramona memeriksa map yang berisikan surat pengunduran dirinya. Ramona terkejut saat melihat secarik surat cek uang tunai sebesar 500 juta rupiah di dalamnya yang sudah di transfer ke rekening banknya.
***
Riana membawakan secangkir seduhan teh madu untuk Luna di kamarnya.
"Punya ibu mana?" Tanya Luna pada Riana yang hanya membawakan satu cangkir teh madunya.
"Ibu tidak minum." Jawab Riana dingin, sebab teh madu itu mengingatkannya kembali tentang hubungan Andra dan Luna dahulu.
"Aku minta maaf, bu. Jika ini karena aku tidak meminta ijin dahulu pada ibu saat aku mengunjungi Josh di penjara."
"Seharusnya kau tidak usah mengunjunginya, Luna." Sedikit menjauh dari Luna.
"Memangnya ada masalah apa bu?"
"Hanya kesalah pahaman."
"Salah paham soal apa?"
"Saat aku mengunjungi Andra di rumah sakit."
"Andra?" Tiba-tiba Luna tercengang dan terpaku seperti orang kebingungan.
"Lupakanlah, setidaknya masalah ibu sudah selesai dengannya, tinggal menunggu sidang besok pagi."
"Ya, bu." Meminum teh madunya.
"Istirahatlah Luna, selamat malam." Lalu meninggalkan Luna di kamar.
"Andra?" Bisik Luna yang mencoba untuk mengingat kembali nama itu, namun ia hanya pernah mendengarnya saja.
***
Malam hari hampir pukul 9 malam, Ramona mengunjungi kediaman Andra.
"Ramona?" Setelah Andra membukakan pintu rumahnya.
Kemudian Ramona mengembalikan cek uang tunai itu padanya.
"Maaf sebelumnya, itu bukan hak saya, lebih baik anda berikan pada yang lebih membutuhkan." Ujar Ramona.
"Tapi itu pesangonmu."
"Tapi itu terlalu besar nilainya."
"Aku rasa itu cukup untuk kebutuhan dan adik-adikmu sehari-harinya, untuk biaya sekolah mereka selagi kau mencari pekerjaan barumu."
"Tapi saya tidak bisa, biar saya mencari sendiri untuk kebutuhan hidup saya."
Andra menghembuskan nafas kasar, lalu menyuruh Ramona untuk masuk ke dalam rumahnya.
"Maaf, saya buru-buru, adik saya sedang sakit."
"Sebentar saja, please, masuklah, aku janji tidak akan menyakitimu lagi."
Ramona pun terpaksa menurutinya.
"Duduklah, jika memang aku melakukan hal yang macam-macam padamu, laporkan aku ke polisi hari ini juga." Melempar handphone miliknya ke Ramona.
"Untuk jaga-jaga, tekan saja nomor 911 sekarang, aku akan mundur beberapa langkah darimu. Jika aku mendekat sedikit saja, telpon polisi saat itu juga." Lanjut Andra sembari menjauh 5 meter dari Ramona.
"Baik, sekarang untuk apa anda menyuruh saya masuk?" Tanya Ramona kemudian.
"Jelaskan secara detail mengapa kau begitu membenciku setelah mengetahui diriku yang sebenarnya?"
Ramona diam, lambat laun kedua matanya mulai berkaca-kaca. Lalu menjawab pertanyaan Andra.
"Karena saya pernah bertemu dengan orang seperti anda sebelumnya...saat seusia Luna yang ada di foto itu."
"Maksudmu?"
"Pedofil."
Andra pun terkejut.
"Itu terjadi sebelum saya berada di panti asuhan Permata Indah. Ibu saya seorang janda, ia menikah lagi dengan pria konglomerat saat usia saya menginjak 7 tahun, lalu meninggal karena kanker serviks saat usia saya 10 tahun, yang ternyata kanker itu sudah lama dideritanya. Akhirnya saya tinggal berdua dengan ayah tiri saya. Saat itulah ia memperkenalkan suatu hal yang tak seharusnya ia kenalkan pada anak kecil. Anda pasti tahu, hal apakah itu?"
Entah mengapa tiba-tiba muncul rasa sesal dalam hati Andra setelah mendengar cerita Ramona. Ia memejamkan kedua matanya rapat-rapat.
"Apa yang ayah tirimu lakukan padamu?"
"Ia bersetubuh dengan saya, dan merekam semua itu dengan kameranya."
Andra semakin terkejut setelah mendengarnya. Perasaan bersalah pun mulai menghantui benaknya.