Menjelang siang sekitar pukul 10, Andra menghadiri meeting di perusahaannya. Meeting tentang kolaborasi perusahaan AlCorp miliknya dengan perusahaan tambang minyak dari Rusia.
Saat Andra berusaha fokus untuk menyampaikan pendapatnya, namun tiba-tiba saja ia merasakan detak jantungnya yang berdebar-debar. Ia juga merasakan sesak nafas yang seolah mencengkeram paru-parunya.
Tak lama kemudian Andra tumbang setelah tak kuat lagi menahan rasa sakit di dadanya. Semua orang disana berusaha menolongnya, sementara Ramona segera menghubungi ambulan.
Ramona mulai cemas ketika mendengar kondisi Andra yang kritis dari salah satu dokter yang keluar dari ruangan UGD. Namun pihak rumah sakit mencoba berusaha keras untuk menanganinya hingga kondisi Andra stabil kembali.
Ramona menangis, kemudian salah satu karyawan mencoba menenangkannya.
"Aku mencoba memperingatinya, tapi ia tidak mendengarkanku."
"Tenanglah, nona. Aku yakin tuan Andra akan baik-baik saja. Tuan Andra adalah sosok pria yang kuat, aku tahu soal kehidupannya selama ini. Ia sudah melalui banyak hal selama hidupnya." Balas David, salah satu karyawan Andra, sambil merangkul Ramona.
"Aku kira hanya diriku saja yang tahu ceritanya."
"Tuan Andra tidak pernah cerita pada saya, tapi saya melihatnya dengan mata kepala saya sendiri. Dahulu saya teman kuliahnya."
"Benarkah?"
"Ya. Awalnya saya mengira tuan Andra adalah pria tersombong yang pernah saya temui. Tapi setelah saya mengenalnya, saya salah menilainya. Ternyata dia pria yang lembut dengan berbagai masalah kehidupan yang ia alami. Setiap saya memaksanya untuk cerita, ia selalu berkata..."
"Lupakan saja. Benar kan?"
"Ya, benar sekali. Tapi saya tenang sekarang, akhirnya ia menemukan sosok yang tepat seperti nona Ramona, dimana tuan Andra dapat terbuka yang selama ini sangat tertutup."
"Aku bukan siapa-siapanya, hanya asistennya, jujur aku tidak ada tujuan apapun selain kebaikan untuknya."
"Maafkan saya, nona. Saya kira..."
"Tidak, jangan salah sangka."
Beberapa saat kemudian, salah satu dokter keluar dari ruangan UGD.
"Bagaimana kondisinya sekarang, dokter?" Tanya Ramona cemas.
"Untuk saat ini kondisinya stabil, beruntungnya ia segera di bawa kemari, tapi terpaksa ia harus dirawat inap selama beberapa hari hingga kondisinya membaik, itu saran kami, karena kami juga ingin mengetahui perkembangannya. Penyakit yang di deritanya ini sudah cukup lama." Jelas dokter.
"Baik dok, terima kasih banyak dokter." Balas Ramona dilanjutkan dengan menghembuskan nafas lega.
***
Sore ini Andra di pindah ruangkan ke kamar pasien VIP yang di jaga ketat oleh security pribadinya di depan pintu kamar. Hanya Ramona dan para dokter disana yang bisa bebas keluar masuk ruangan, sementara karyawan atau pun orang-orang lain harus dengan ijin dari Ramona sendiri.
Saat Ramona menjaga Andra yang masih terbaring lemah dan tidak sadarkan diri di ranjang pasien, tiba-tiba handphone milik Andra berdering, dan ia melihat nama Riana di layar. Kemudian ia menerima teleponnya.
"Andra? Dimana posisimu? Aku ingin bertemu denganmu." Sahut Riana.
"Maaf, saya asistennya." Sedikit menjauh dari Andra.
"Asisten? Lalu dimana Andra sekarang?"
"Ia sedang dirawat di rumah sakit."
"Apa? Ada apa dengannya? Apa yang terjadi?!"
"Maaf, tidak bisa saya jelaskan, jika memang ada kepentingan dengan tuan Andra, lebih baik tunggu saja sampai tuan Andra sehat."
"Apa maksudmu?! Kau belum tahu siapa saya?! Saya keluarganya!"
"Saya tahu siapa anda, dan saya tahu bagaimana hubungan anda dengan tuan Andra, tapi saya sarankan biarkan tuan Andra istirahat dahulu, setelah tuan Andra sembuh anda bisa menemuinya."
"Kau tidak bisa seenaknya menghalangi saya! Lihat saja nanti!" Riana menutup teleponnya.
"Maafkan aku, tuan Andra, aku terpaksa harus melakukan ini. Demi kebaikan tuan." Gumamnya.
***
Pagi hari pukul 7, akhirnya Andra sadar dari komanya. Ramona segera memanggil para dokter untuk segera memeriksanya kembali.
"Syukurlah, kondisinya kini sudah cukup membaik, hanya butuh beberapa hari untuk istirahat, sebagai tahap pemulihan." Jelas salah satu dokter setelah memeriksa kondisi Andra.
"Baik dok, terima kasih." Balas Ramona. Kemudian dokter meninggalkan mereka berdua di dalam kamar pasien.
"Ramona, terima kasih atas semuanya." Ucap Andra sedikit lemah.
"Itu sudah menjadi tugas saya, tuan. Sekarang istirahatlah, jangan pikirkan apapun." Tak sengaja ia membelai telapak tangan Andra. Setelah ia sadar, ia melepaskannya kembali secara perlahan.
"Ehm...maaf tuan."
"Untuk apa?" Tanya Andra heran.
"Lupakan saja, tuan." Jawab Ramona tersipu malu.
"Hei, itu salah satu gayaku, kau memakainya tanpa ijin sekarang." Andra tertawa sekilas, lalu diikuti oleh Ramona.
"Saya mohon, untuk kedepannya jaga kondisi tuan. Jangan lagi ke tempat itu atau melakukan hal bodoh lainnya. Maaf jika kata-kata saya kurang sopan, jujur saya sangat khawatir dengan keadaan tuan Andra kemarin."
"Begitu kah? Apa yang kau khawatirkan?"
"Saya...saya tidak tahu, hanya merasa khawatir,"
"Khawatir aku mati? Bukannya itu hal yang bagus? Sehingga seseorang mungkin akan menggantikan posisiku."
"Jangan bicara seperti itu, tuan, saya mohon."
Mata Ramona mulai berkaca-kaca. Dan Andra sadar bahwa masih ada wanita baik. Dia juga yang selama ini mendampinginya. Ia melihat sendiri ketika air mata Ramona hampir jatuh dari kelopak matanya. Padahal niat Andra hanya ingin mengajaknya bercanda, namun tanggapan Ramona sangat serius.
Andra pun mengambil tisu untuknya yang terletak tepat di meja laci sebelah ranjangnya.
"Ayolah, hapus air matamu itu. Aku baik-baik saja, aku hanya bercanda, Ramona." Tersenyum padanya.
"Maaf, tuan." Mengusap air matanya.
"Jujur saja, ibuku tidak sekhawatir ini padaku ketika aku sakit. Apa mungkin kau adalah ibuku?" Lagi-lagi Andra mengajaknya bercanda, dan ia berhasil membuat Ramona tertawa kembali.
"Benarkah itu? Tuan tidak pernah menceritakan tentang orang tua tuan selama ini."
"Lupakan saja, intinya seperti itu lah mereka, kurang peduli."
"Oh ya, tuan, sebelumnya minta maaf jika saya lancang. Semalam Riana menghubungi tuan dan saya menerimanya."
"Tidak masalah, apa katanya?"
"Ia ingin menemui tuan, namun saya bilang padanya, tunggu saja sampai tuan Andra sembuh."
Tak lama kemudian seorang perawat datang memasuki ruangan untuk mengantarkan sarapan untuk Andra.
"Aku bisa melakukannya sendiri." Sahut Andra sembari mencoba duduk di ranjangnya.
"Jangan, biarkan saya yang menyuapi tuan Andra. Jangan terlalu banyak bergerak, tuan."
"Ramona, aku bukan bayi, ok? Jadi biarkan aku makan makanan ini sendiri."
"Tapi, tuan..."
"Itu perintah."
"Baik, tuan." Lalu membiarkan Andra menyantap sarapannya sendiri dengan meja plastik kecil yang ia letakkan di hadapannya.
"Lebih baik sekarang kau coba periksa aktifitas karyawan di AlCorp, dan juga soal meeting kemarin di tunda sampai aku bisa pulang dari sini, hubungi instansi mereka, ya?" Jelas Andra sembari memberikan kunci kantornya.
"Ini kunci kantor, tuan?"
"Bukan, ini kunci mobil, jelas sekali ini kunci kantor, apabila ada dokumen yang kau butuhkan disana. Aku percayakan kunci ini padamu, dan hanya kau yang boleh memasuki ruanganku, paham?" Membuka telapak tangan Ramona lalu meletakkan kunci kantornya disana.
"Paham, tuan. Saya pamit dulu, tuan."
"Ok, silahkan."
"Jika tuan butuh sesuatu, hubungi saya, tuan." Seiring berjalan menuju pintu kamar pasien.
"Don't worry about me, I'll be fine." Mengacungkan jempol padanya. Ramona membalasnya dengan senyum, lalu keluar dari ruangannya.
Setelah itu, Andra mengambil handphonenya, lalu menghubungi Riana.
Sementara Ramona ketika memasuki ruangan kantor Andra, ia tak sengaja membuka laci yang terkunci itu dengan salah satu kunci kantor lainnya saat mencari dokumen penting. Dan Ramona menemukan foto Luna disana.
Ramona terkejut ketika melihat foto Luna yang ternyata adalah gadis kecil seusia adik perempuannya, Maya.
"Ya Tuhan, ternyata Luna hanyalah...gadis kecil?!" Bisiknya bergetar sambil melihat foto Luna.