Julie bergegas pulang ke rumah dan tidak lupa dia mengambil satu buku bacaan. Kakinya melangkah sedikit cepat karena suasana sangat sepi. Tidak ada lampu dan sama sekali tidak ada kendaraan yang melintas. Hari ini seharusnya sepeda itu sudah selesai diperbaiki tetapi tukang tambalnya tidak menepati janji, Julie sempat protes tetapi tukang itu tidak bisa melakukan apapun selain menyuruh Julie bersabar. Langkah kaki Julie semakin cepat saat melewati gang yang agak gelap dan sempit.
Julie mengetuk pintu dan segera mencari sakral lampu rumahnya. Tepat tiga puluh menit dia berjalan dari perpustakaan menuju tempat ini. Rasa haus tiba-tiba menyerang tengorokan Julie. Dia agak lelah karena harus berjalan kaki dan sedikit berlari sejauh 1 km.
"Ho-la?"
"Hola, Hola!" suara itu membuat Julie terperanjak dan cangkir di tangannya terjatuh ke lantai.
"Kamu?"
"Kenapa datang lagi?" Julie melangkah mendekati pria asing itu. Tubuhnya sangat bersih dan bahkan ada kilatan cahaya yang terpancar. Hampir sama dengan kilatan cahaya jika kita melihat mutiara atau berlian. Pria misterius itu sangat menikmati sentuhan Julie. Pipinya di penuhi gliter berwarna silver dan sayapnya putih bersih tanpa noda. Cahaya itu kian lama bersinar terang dan menyilaukan mata yang memandangnya.
"Ho-la?" sahutnya lirih.
"Kamu menyapaku?" tanya Julie bingung. Pria itu mengangukan kepala dan dan memegang tangan Julie tiba-tiba. Dia tidak mau jika Julie melepaskan pegangan tangannya. Dia menarik Julie untuk duduk di sofa bersamanya. Sayapnya meredup dan cahaya itu seketika menghilang dari tubuhnya.
"Mengapa selalu datang?" Julie menatap wajah lelaki itu lekat-lekat.
Jika diperhatikan, lelaki itu sangat tampan hanya saja rambutnya berantakan dan bertaring satu. Dari mana dia? Mengapa selalu mengikuti Julie? Apakah dia perlu bantuan darinya? Ataukah dia drakula jadi-jadian?
Julie berdiri dan segera menuju dapur untuk menuang mie instan yang sudah tersedia. Pria asing itu mengikuti langkah Julie, kemana pun dia berjalan.
"Apakah kamu sejenis manusia?" tanya Julie lagi. Dia membalikan tubuhnya menatap lelaki itu yang sedang melihatnya dengan kening berkerut. Lelaki itu sama sekali tidak bisa berbicara dan bahkan hanya menganggukan kepala.
"Dari mana kamu sebenarnya?"
"Mengapa selalu mengikutiku?" sambung Julie. Mie instannya sudah jadi, Julie berjalan menuju meja makan dan duduk. Pria asing itu mengikutinya dan juga duduk di samping Julie. Julie sedikit terkejut karena piring yang di letakkan segera ditarik olehnya.
"Kamu lapar?"
"Atau apa?"
"Ayolah, aku sangat lapar dan bahkan hampir mati sekarang!" cetus Julie sambil menarik piring itu kembali ke depannya.
"Ho-la?" ucapnya.
"Aduh, kamu bicara apa sih, aku sama sekali tidak tahu apa yang kamu katakana!" sahut Julie sambil melahap habis makananya. Pria itu menelan salivanya saat Julie menyeruput sisa-sisa mie instannya sambil berdahaga.
"Kamu belum lihat orang mati kelaparan?" seru Julie lagi menatap dirinya yang duduk terdiam di samping. Sisa mie instannya jelas tercium dan sangat berbau membuat pria aneh itu menyergit dahi.
"Ayolah, aku miskin dan hanya makan ini, kamu mau minta makanan apa?" tanya Julie.
"Tolong yah, siapa pun kamu! Jangan ikuti aku lagi."
"Kamu sangat salah jika cari makanan di sini, aku perempuan miskin, jomlo merana dan sekarang susah moveon!" ujar Julie.
"Kekasihku sudah meninggal, kamu harus tahu itu, jadi aku tidak punya apa-apa!" sambungnya. Julie tersenyum tiba-tiba karena memikirkan dirinya yang benar-benar sudah gila sekarang. Mana mungkin makhluk antah beranta ini mengerti curhatannya. Tapi setidaknya hari ini dia sudah mengeluarkan unek-uneknya.
"Jantungku bisa copot kalo kamu datang tiba-tiba!" protes Julie lagi, dia sama sekali tidak takut sekarang. Makhluk asing itu hanya menganggukan kepala tanda mengerti lalu berjalan menuju pintu rumah.
"Apakah dia mengerti maksudku?" batin Julie terheran. Sayap pria itu kemudian di rentangkan dan dia menghilang tiba-tiba. Julie tidak tahu apakah dia terbang atau menghilang begitu saja. Apakah dia sejenis kalelawar ataukah vampir atau apa?
"Aku akan benar-benar gila karena dia!" ucap Julie dan segera membersihkan sisa makan malamnya. Ini sudah ketiga kalinya makhluk aneh yang berwujud seorang pria itu menghampiri dirinya tanpa tujuan. Dia tidak bisa berbicara bahkan wajahnya sangat datar tanpa ekspresi.
"Bodoh sekali aku memikirkan ini!" batin Julie lalu melangkah ke kamar, merengangkan otot-ototnya dan menutup matanya dengan selimut. Julie mengamati langit-langit kamarnya yang bagaikan aurora di kutup utara. Dia suka menghiasi kamar tidurnya dengan lampu seperti itu. Bagaikan dia sedang berada di dunia lain.
"Maksudnya hola itu apa sih?" pikirnya lagi.
"Masa bodoh! Awas saja dia datang lagi dan mengagetkanku!" gumamnya lalu terlelap tidur.
***
"Jadi, bagaimana?" tanya Julie kepada perempuan itu. Helen hanya menunduk ke bawah sambil menjawab setiap pertanyaan Julie. Sudah sepuluh pertanyaan hari ini yang di lontarkan perempuan berkacamata di depannya.
"Jadi, dia depresi dan memilih untuk terbang dari gedung lantai 12," jelas Helen.
"Kamu pucat?"
"Kenapa?" Julie memperhatikan wajah Helen yang dari tadi terlihat pucat dan kusut. Rambut panjangnya yang lurus terlihat urak-urakan.
"Kamu baru bertanya hal itu?"
"Aku sudah sangat lelah dari tadi menjawab pertanyaanmu dan kamu baru sadar bawah aku sakit?" protes Helen sambil cemberut. Julie lalu menepuk pundaknya dan merangkul Helen.
"Sorry," bisiknya. Helen memandangi wajah sahabatnya itu dan tersenyum. Apapun yang di lakukan Julie akan selalu membuat Helen memaafkannya.
"Jadi, Tuan Smith dengan teori gilanya itu depresi dan terbang dari lantai 12 gedung apartemenya," ulang Helen menjelaskan.
"Terbang?"
"Dia pikir burung apa?" seru Julie terheran sambil tertawa.
"Serius, itu yang tertulis di koran," gumam Helen sambil memberikan koran bekas.
"Apakah dia benar sudah gila karena terlalu cerdas?" tanya Julie lagi. Helen memalingkan pandangannya dan menatap sekerumunan orang yang lalu lalang di hadapan mereka.
"Aku tidak tahu," ucap Helen. Julie dan Helen duduk di taman kampus. Julie sengaja menunggu perempuan imut itu hanya untuk memperjelas kasus ini. Setidaknya dia mendapatkan beberapa info tentang Tuan Smith. Julie tidak memiliki uang lebih untuk membeli koran. Setidaknya uang dari Miss Derlina sudah sangat cukup buat membeli mie instan.
Angin mengibaskan rambut mereka berdua. Musim gugur di kota London menampilkan pemandangan yang menakjubkan. Daun-daun maple berguguran dan berserakan di pinggir jalan serta di sudut-sudut kota. Memungut daun-daun kering dan menjadi pajangan di kamar adalah kebiasaan Julie.
"Sudah cukup mengenai Tuan Smith, sebaiknya kamu menata hidupmu menjadi lebih baik sekarang dan memulai karir yang cemerlang," jelas Helen panjang lebar dan memukul pundak Julie.
"Tapi…"
"Tapi apa?" potong Helen segera.
"Sudahlah, jangan selidiki hal-hal yang lain. Kamu harus percaya takdir bahwa Haris sudah meninggal dan semuanya sudah berlalu. Bisa jadi mayat Haris belum di temukan sampai sekarang."
"Jangan salahkan Tuan Smith. Dia sudah tiada!" komentar Helen dan membuat Jeana terasa sesak kemudian.
"Ho-la?"
"Hola?" suara itu mengema di kepala Julie, suara pria itu seperti sedang ketakutan dan meraung panjang seperti serigala.
"Helen, kau mendengarkanya?" tanya Julie tiba-tiba.
"Apa?"
"Suara seseorang dan sepertinya dia ada di sampingmu," bisik Julie pelan.
'Deg'
Bersambung…