Julie menghembuskan nafas panjang dan berniat secepatnya pulang dari perpustakaan sebelum larut malam. Kali ini, Julia membiarkan Bibi Lala yang mengunci perpustakaan. Tubuhnya sudah sangat lemas dan dia sangat kelelahan. Pantas saja Tuan Alexsander menertawainya tadi siang. Setidaknya, dia sudah sangat legah dan membiarkan buku aneh itu dibawa Tuan Alexsander.
Julie bergegas mengendarai sepeda tuanya dan segera masuk ke dalam rumah. Di tuangkannya es batu ke dalam cangkir kesayangannya. Roti bakar yang dibuat Bibi Lala mampu menganjal perutnya untuk malam ini. Setidaknya dia tidak makan mie instan lagi.
"Julia?" sahut suara itu. Julie menatap laki-laki asing yang berada di belakangnya dan segera menghampirinya. Dia selalu memanggil Julie dengan sebutan Julia. Julie sangat tidak suka jika orang menganti namanya.
"Jangan menyebutku dengan nama Julia, aku tidak suka Lif!" tegas Julie. Entah sejak kapan dia bisa sok akrab dengan makhluk jadi-jadian bernama Lif. Sayap Lif sama sekali sudah tidak terlihat hari ini. Mungkin dia mengubah dirinya menjadi manusia agar terlihat persis sana dengan Julie. Taringnya juga tiba-tiba terlepas begitu saja. Ataukah dia bisa berubah bentuk semaunya?
"Kenapa kamu selalu mendatangiku?" tanya Julie ketus. Dia duduk di atas sofa sambil memegang kedua lututnya. Lelaki yang bernama Lif itu lalu berjalan dan duduk di samping Julie. Wajahnya sangat datar dan sama sekali tidak bisa berekspresi.
"Argg!" Julie mencoba mengigit lengan lelaki itu karena gemes tetapi Lif sama sekali tidak merasa kesakitan. Dia hanya melihat Julie dangan wajah datar sesekali tersenyum. Julie tidak mau menyerah. Dia sangat penasaran dengan Lif. Julie mencubit keras tangan Lif dan dia sama sekali tidak merasakan sakit. Bahkan bekas gigitannya itu masih terlihat bercampur dengan air liur. Sungguh sangat menjijikan bagi Julie.
"Kamu kok tidak sakit sih!" ketus Julie kesal. Dia sudah mengigit bahkan mencubit tetapi reaksi lelaki itu masih saja datar. Julie berpikir bahwa Lif sangat cocok dijadikan sasaran empuk saat dirinya galau. Julie sangat suka memukul bahkan mengigit orang jika dia galau atau emosi.
"J-l-i-a?" Lif mengeja kata itu. Lif seperti seorang anak kecil yang baru saja belajar membaca. Dia menatap Julie dan tersenyum manis. Julie sontak kaget dan terdiam beberapa saat.
"Hai Lif! Dengarkan aku!" perintahnya. Julie berdiri di depan Lif dan berdecak pinggang memandangi Lif yang kebingungan.
"Aku bukan Julia! Aku bukan orang yang kamu cari jadi katakan apa tujuanmu datang ke sini?"
"Kamu tidak melihat tiap hari aku hampir di sebut sebagai orang gila baru, ah!" sahut Julie. Lif hanya terdiam dan serasa takjub memandangi Julie yang dari tadi mengomel di depannya.
"Gila nih orang, sudah aku marahin malah takjub gitu!" batin Julie. Lif menarik tangan Julie dan menyuruhnya untuk duduk di sampingnya segera.
"T-o-l-o-n-g," ucapnya. Julie memgerutkan kening sejenak dan memandangi iris Lif yang menakjubkan.
"Aku harus tolong kamu bagaimana Lif? Aku sama sekali tidak ada apa-apa," jelas Julie.
"Kamu mati!" ucapnya. Spontan mata Julie terbelalak mendengarkan kata itu keluar dari mulut Lif. Mati? Kematian?
"Eh, maksud kamu, aku mau mati?" gumam Julie. Bibirnya monyong ke depan dan dia sudah naik pitam sekarang.
"Kamu gila," jawab Lif lagi. Julie makin membolakan matanya memandangi Lif yang semakin berani dan semakin tidak wajar di hadapannya.
"Tuhan, makhluk seperti apa yang kau ciptakan sehingga dia mengejekku seperti ini," suara Julie lirih. Lif sama sekali tidak berkedib memandangi Julie. Dari awal sampai sekarang, wajahnya sangat takjub melihat Julie berbicara. Layaknya Julie adalah sang pemimpin atau ratu yang sedang dia dengarkan.
"Dengar yah, aku tidak gila dan aku bukan Julia. Nama aku Julie!" tegasnya. Lif tersenyum sejenak lalu menganggukan kepala. Dia menuruti kata Julie dan setiap perintah yang di berikan Julie, dia sangat mudah memahaminya.
"Julia, ratu," sahut Lif lagi. Dia sangat hati-hati mengucapkan kata ratu.
"Lif sayang, aku bukan ratu!" gumam Julie. Dia berusaha tersenyum memandangi Lif yang duduk di depannya dan masih memegang tangannya. Dia memegang tangan Julie dengan sangat erat namun tangannya sangat dingin. Sedingin es batu yang baru keluar dari kulkas. Kulitnya sangat pucat dan seperti tidak ada darah yang mengalir di pembulunya.
"Julia, ratu kami. Aku mau pulang ratu," ujar Lif. Dia melepaskan tangan Julie dan berdiri. Tatapannya menjadi kosong seketika. Dia berjalan mendekati pintu dan sayap yang sama sekali tidak terlihat tiba-tiba muncul dari belakang.
"Good bye lah, aku sudah sangat lelah dengan dramamu Lif," kata Julie lalu dia berbaring di sofa. Tubuhnya menjadi remuk seketika di tambah Lif yang sudah menaikan darah tingginya.
"Ratu?"
"Aku ratu dia?" batin Julie. Matanya sudah sangat ingin terlelap tapi otaknya berusaha berpikir mengenai kata-kata Lif yang sangat ambigu.
"Kalo aku ratu di sebuah negara tempat Lif tinggal, berarti aku di takdirkan untuk ke sana?" batinnya.
"Ahh!" desahnya. Julie mengacak-acak rambutnya jika sedang bingung dan dia sangat bingung sekarang. Julie memutuskan untuk masuk ke kamar dan menutup seluruh tubuhnya dengan selimut. Dia tidak akan memikirkan hal aneh lagi. Bedebah dengan Lif, masa bodoh dengan hantu dan sejenis.
Julie terlelap tidur dan berusaha menenangkan otaknya. Semilir angin malam mengibaskan jendela dengan kencang. Petir menyambar dan meninggalkan bunyi yang sangat keras. Julie menikmati tidurnya dan sama sekali tidak merasakan apapun sekarang. Bunyi lolongan anjing itu membuat beberapa burung berterbangan. Pintu Julie terbuka tiba-tiba dan daun-daun kering masuk seketika. Julie masih saja menikmati alam bawah sadarnya.
Dalam mimpi Julie, dia berada di sebuah taman dengan tubuh yang di kelilingi burung gagak. Tubuhnya sangat lemah dan dia tidak bisa berdiri. Salju menyelimuti area di sekitar tempatnya tidur. Rambut hitamnya berubah menjadi cokelat dan dia menggunakan gaun berwarna putih bersih. Burung gagak itu menatapnya dan menunggunya untuk bangun.
"Di mana?" Julie merintih kesakitan. Kakinya sangat susah bergerak dan ada darah yang merembes dari butiran salju yang mengelilingi tubuhnya. Julie sama sekali tidak merasakan kesakitan tetapi darah terus-terus keluar dari perutnya.
Di depan tubuhnya yang kaku, dia memandangi sosok lelaki berbaju besi dengan pedang tajam sedang merobek habis tubuh lelaki berjubah hitam. Julie mencoba memandangi lelaki itu dengan cermat. Dia berharap lelaki itu mengenalnya dan segera membantunya pergi dari tempat ini.
Lelaki itu menghancurkan gigolo bertubuh tinggi dan berjubah hitam. Darah segar mengalir dari pelipis lelaki itu. Julie sama sekali tidak mengenalinya dan tidak pernah bertemu.
"Honey?" lelaki itu berlari segera dan mengangkat tubuhnya. Julie sama sekali tidak mengenalnya tetapi lelaki itu sepertinya sangat mengenal Julie.
"Siapa kamu?" Julie mencoba berbicara tapi lidahnya mendadak keluh. Lelaki itu merintih kesakitan dan memandangi Julie bagaikan sedang meratapi kematian.
Lelaki itu mencium keningnya dan mengecup bibir Julie. Julie bisa merasakan kehangatan dari ciuman itu tetapi dia sama sekali tidak bisa bergerak.
"Siapa dia?" batin Julie.
"Mengapa aku di sini?" sahutnya dalam hati.
Brakk!
Pedang itu menghunus tajam tepat di dada pria di depannya dan seketika membuat Julie merintih ketakutan.
"Tidak!" teriaknya.
Bersambung…