"Nara," lirih Louis sedikit gugup.
"Ah, maaf," ujar Nate yang baru saja menyadari bahwa sedari tadi Louis telah memanggilnya, bahkan ia sendiri tak sadar bahwa Louis telah mencoba menggenggam tangan Nate agar Nate kembali fokus menatap nya.
Setelah menyadari tangannya yang di genggam oleh Louis tentu saja Nate sedikit menarik tangan tersebut dari Louis.
Louis tak menyalahkan Nate yang langsung menarik tangannya dari genggamannya, melainkan ia malah fokus dengan sikap Nate sebelumnya. Ia takut Nara a.k.a Nate yang berada di hadapannya marah padanya.
"Kau baik baik saja? kau tak usah menjawabnya tidak apa apa jika pertanyaan ku menyulitkan mu untuk menjawabnya."
Nate dengan cepat menjelaskan apa yang di beritahukan oleh Nara seperti apa yang ada dipesan sebelumnya.
Louis seketika mengerutkan keningnya. Ia tak terlalu paham mengenai sikap yang di maksud oleh Nate.
"Sikap yang seperti apa yang kau maksud?"
Tak ada jawaban langsung dari Nate, seperti permintaan Nara, melainkan sebuah gendikan bahu yang Nate berikan sebagai jawaban.
Lagi lagi Louis semakin mengerutkan keningnya.
Ia tak menyangka bahwa jawaban seperti itu yang akan ia dengar.
'Apakah Nara sudah lama mengenalku? Jika iya, mengapa aku tak menyadarinya?' benak Louis yang bingung dengan jawaban yang menurutnya tak dapat menjelaskan secara detail dan cukup padanya.
"Ah ... baiklah jika kau tak ingin menjelaskan lebih jauh, paling tidak aku telah mendapatkan sebuah gambaran darimu."
Louis berusaha mengalah. Ia tak ingin merusak suasana yang telah terjadi.
Dengan susah payah Nate memberikan senyumannya pada Louis.
Tak lama setelah nya sang pelayan masuk membawa makanan yang sebelumnya telah di pesan oleh keduanya.
Selama makan berlangsung, maka tak ada juga pembicaraan yang terjadi. Jika Nate tak berbicara karena memang menikmati makanan yang di hidangkan di hadapannya, maka berbeda dengan Louis yang terdiam karena pemikirannya telah melanglang buana kesana kemari, mencari jawaban yang seharusnya ia dapatkan.
Kini Louis berfikir bahwa gadis di hadapannya memang memiliki keistimewaan tersendiri dan bukan seperti gadis biasa lainnya yang dapat di tebal begitu saja, melainkan banyak hal tersembunyi yang belum ia ketahui.
'Semakin menarik! Aku tak menyesal bertemu dengannya.'
Louis merasa puas bertemu dengan gadis seperti Nara yang semakin menarik perhatiannya.
'Aku tak peduli jika nantinya akan ada orang yang menghalangiku, aku tetap akan mempertahankannya, aku akan mendapat kan hatinya menjadi milikku seutuhnya.'
Sebuah janji yang melayang begitu saja tertoreh dalam hati Louis.
dilain tempat, berbeda ruangan dengan Nate dan Louis...
'Mengapa di sebelah hening sekali hanya terdengar suara sendok dan garpu sesekali?' benak Nara yang sibuk menempelkan kuping nya pada dinding sekat diantara kedua ruangan itu.
Nara tampak sedikit gusar tak dapat mendengar percakapan yang terjadi di antara Nate dan Louis seperti sebelumnya.
Tok Tok
Seorang pelayan yang kini masuk ke dalam ruangan Nara. Pelayan tersebut telah membawa makanan yang sebelumnya telah di pesankan oleh Nara.
Sebelum pelayan itu benar benar keluar, Nara sempat bertanya pada sang pelayan apakah ruangan dimana Nate berada telah di antar makanan sama seperti dirinya atau belum.
Setelah mendapati jawaban bahwa ruangan Nate dan Louis lebih dahulu menikmati hidangannya, tentu saja Nara dapat memahami bagaimana situasi yang terjadi disana.
'Dasar Nate kebiasaan, pasti ia sedang sibuk menyantap makanannya tanpa peduli dengan Louis yang ada di hadapannya. Aku lupa jika kembaranku pencinta makanan, dan tak akan terdistract dengan apapun selain makanan yang ada di hadapannya.' Monolog Nara dalam benak.
Nara yang menyadari hal itu, akhirnya memilih untuk menikmati makanan nya juga, toh tak ada gunanya menguping jika di saat seperti ini.
Nate tak akan banyak berbicara jika hidangan makanan yang ia pesan belum selesai di habiskan.
***
Seorang pemuda dengan sikap nya yang terlihat tenang tampak berhadapan dengan gadis cantik dengan rambut nya yang tergerai rapi berwarna dark brown berada di hadapannya.
"Ada apa? Mengapa kau meminta ku menemui hari ini? Bukankah kemarin kita sudah berbicara dengan jelas satu sama lain?" tanya pemuda itu.
Nada bicaranya memang masih terdengar lembut, hanya saja nada suara itu sudah dapat menjelaskan bahwa ia telah lelah, dan malas berbicara panjang lebar seperti sebelumnya yang telah menguras banyak energi dan emosi.
"Maaf kan aku Ed," ujar gadis itu sembari sedikit menggigiti bibirnya.
Terlihat jelas bahwa ada penyesalan yang terjadi pada raut wajah gadis itu.
Belum lagi dengan kelopak matanya yang terlihat terdapat lingkaran hitam, dengan kantung mata yang cukup sedikir membengkak seperti sebelumnya tengah menagis semalaman.
"Are you ok?" pertanyaan itu yang akhirnya keluar dari belah bibir Ed.
Ia tak sanggup melihat gadis yang ia sayang seperti itu di hadapannya.
Harusnya memang ia membenci atau mungkin kata membenci tak tepat, melainkan kata kecewa lah yang jauh lebih tepat untuk nya.
Gadis itu buru buru menggelengkan kepalanya.
"I'm not okay, aku bersalah padamu, seharusnya saat kau bertanya baik baik padaku kemarin, aku mengungkap kan kejujuran padamu, di bandingkan mengilah yang pada akhirnya kau telah mengetahui semuanya," jawab gadis itu tegas.
Salah satu hal yang ia sukai dari Lucy tak lain adalah hal ini!
Gadis itu mampu berterus terang dan mengakui kesalahannya jika memang dia lah penyebabnya.
"Maaf, aku tak bermaksud membuat mu kecewa, hanya saja rencana itu belum di fikirkan secara matang, sehingga menurutku adalah hal yang tak tepat mengatakan padamu jika sebelumnya semuanya belum jelas Ed."
Ed menghela nafasnya panjang. Jujur ia sadar bahwa pastinya seperti ini, hanya saja yang ia mau seharusnya Lucy mengatakan saja semua kebenarannya, di bandingkan pada akhirnya kemarin ia mengatakan sejujur nya bahwa ia telah mengetahui hal yang Lucy tutupi darinya dan berakhir buruk.
"Aku juga minta maaf, tapi aku tak suka tidak ada transparansi seperti ini, aku mengkhawatirkanmu, bahkan aku mencoba mempertimbangkan dan menata hati ku jika kau memilih pergi melanjutkan kesana, tapi sepertinya aku salah, kau tak memikirkan posisi ku bukan?" ujar Ed.
Lucy semakin menciut.
"Maaf aku tak bermaksud Ed, dan maaf aku kemarin khilaf, aku salah bicara tak seharusnya aku mengatakan hal tak mengenakan seperti kemarin."
"Keputusan ku sudah bulat Lucy, aku menghargaimu sebagai kekasihku, dan aku tak pernah mengekang mu atas pilihanmu, bahkan di banding adikku mungkin kau jauh memiliki kebebasan darinya, jadi lebih baik kita akhiri sampai disini, seperti ucapanmu kemarin aku terlalu mengekangmu dan memaksamu untuk memberitahu kegiatan mu padaku demi transparansi, untuk itu kali ini aku membebaskan mu seutuhnya dariku, terimakasih telah ada di hidupku selama beberapa tahun terakhir, aku pergi dulu," ujar Ed tegas yang setelah nya beranjak dari posisinya.
"Ed!! jangan tinggalkan aku! A...-aku bersalah," ujar Lucy dengab suara yang terdengar bergetar.
'Maaf ...'
———
Leave a comment, and vote