Nara, Nate dan juga Ed kini sudah berada di salah satu mall besar yang berada di pusat kota. Ketiganya asik memperhatikan pakaian pakaian yang menarik perhatiannya masing masing, hanya saja tangan Nara berkali kali Nate tarik lantaran sang adik yang terus menerus ingin memegang pakaian pakaian gadis yang menurutnya pas ia kenakan di tubuhnya.
Hanya saja tak ingat kah Nara bahwa dirinya belum kembali ke tubuhnya semula?
Bukankah nantinya akan menimbulkan pertanyaan besar jika Nara yang berada di tubuh Nate sangat antusias sekali memilih pakaian wanita?
"Nar, ingat lah bahwa sekarang aku yang berada di tubuhmu," bisik Nate di telinga Nara.
Nara hanya memberikan sebuah senyuman atas ucapan Nate tersebut, tak mungkin bagi nya menjawab bisikan Nate tersebut.
Gadis itu tak mau membuat Ed semakin bingung melihat keduanya.
"Apakah kalian sudah menemukan pakaian yang ingin kalian kenakan?" tanya Ed pada Nate dan juga Nara.
Nara mengendikkan bahunya, begitu juga dengan Nate. Sejujurnya mencari pakaian baru tidak terlalu di butuhkan, untuk itu Nate, dan Nara tak terlalu antusias, hanya saja mereka yang merasa di ajak oleh Ed tentu saja tak dapat menolak begitu saja.
"Sebenarnya apa yang terjadi denganmu ka?" tanya Nara membuka pembicaraan. Jujur saja Nara sendiri melihat sedikit kesedihan dalam sorot manik Ed. Namun sebelumnya ia kira ia salah liat, tetapi semakin di perhatikan maka Nara yakin bahwa ada masalah yang sedang terjadi pada Ed.
'Benarkah Ka Ed ada masalah?' benak Nate dalam hati yang baru saja hendak memerhatikan Ed.
Nate baru menyadari bahwa memang benar ada guratan kesedihan yang terlihat.
"That's ok, aku hanya dalam sedikit masalah, tetapi masih bisa di kendalikan," ujar Ed yang masih enggan menceritakan nya pada kedua adik kembarnya.
Nara menghela nafasnya pelan, dan tak lama mengusap punggung Ed.
"Jika kau tak kuat menahannya, maka kau boleh menceritakannya kapan pun kau mau ka," ujar Nara bijak.
Nate yang sedari tadi berada tak jauh dari Nara dan Ed ikut menganggukan kepalanya mengiyakan dari apa yang di katakan Nara.
"Terimakasih," ujar Ed. "Sudahlah kalian cari pakaian yang kalian mau, nanti aku yang akan membayarnya," ujar Ed lagi mengakhiri kalimatnya sambil mendorong kedua adiknya itu untuk memilih pakaian.
"Tunggu, bagaimana jika aku memilih pakaian mu, dan kau memilih pakaianku, aku ingin tahu seleramu itu untukku," ujar Nara dengan penuh percaya diri.
Jujur saja tangan Nara sudah ingin sekali mengambil pakaian cantik yang sebelumnya ia temukan sebelumnya, hanya saja tak ada alasan untuknya mengenakannya bukan?
Untuk itu dengan cerdas nya ia membuat usulan seperti itu.
Nate yang menyadari usulan konyol adiknya hanya memutarkan maniknya malas.
"Baiklah, baiklah,terserah kalian saja, cepat pilih setelah ini kita makan," ujar Ed ringan.
Dengan penuh antusias Nara berlari kecil mencari gaun yang menurutnya cocok untuk tubuh aslinya itu.
"Nara kemarilah, aku menemukan pakaian yang cocok untukmu," ujar Nara penuh antusias.
Nate mencoba tetap memberikan senyuman palsunya itu agar tak membuat Ed bertanya tanya kembali akan sikap dirinya dan Nara yang tampak janggal.
"Baiklah, aku akan mencoba nya," ujar Nate datar.
Tak perlu waktu lama Nate keluar dari ruang ganti mengenakan pakaian yang di pilih Nara sebelumnya.
"Bagaimana?" tanya Nate.
"Woah ternyata seleramu boleh juga Nate,adikmu terlihat semakin cantik," puji Ed.
'Cantik? Huh menyebalkan,' benak Nate.
Nara tersenyum puas mendapatkan pujian itu.
'Tentu saja, seleraku memang selalu bagus, dan lagi ku akui bahwa aku memang cantik.' Monolog Nara pada dirinya sendiri.
Mau tak mau Nate melemparkan senyumannya pada Ed, dan mengatakan bahwa ia menyukai pilihan Nara.
"Thank you telah memilihkan pakaian cantik ini, setelah ini giliran ku memilihkan mu pakaian."
Nara tentu saja menganggukan kepalanya cepat. Karena sejujurnya Nara sendiri pun tak terlalu tahu secara detail selera kembarannya itu.
Setelah mengganti pakaian Nate segera bergegas menuju salah satu tempat yang dimana ia sering sekali mengenakan merk pakaian tersebut.
"Ini, ini dan ini," ujar Nate setelah mengambil satu set pakaian untuk dikenakan oleh Nara.
Nara hanya menganggukan kepalanya saja, dan mencoba satu persatu yang di berikan oleh Nate, mulai dari atasan hingga bawahan celana.
"Apakah cocok?" tanya Nara sedikit keluar memperlihatkan pada Nate, dan juga Ed.
"Itu bagus, seperti memang stylemu," ujar Ed sembari terkekeh.
Nara menggarukkan kepalanya pelan, dan mengatakan bahwa ia akan mengambil satu set pakaian tersebut.
Dirasa semua telah di beli, maka Ed langsung mengambil pakaian Nara dan Nate untuk di bayar oleh nya.
'Thank you Nate, Nara, paling tidak aku dapat melupakan sejenak masalah ku.'
***
Louis kini sudah berada di rumahnya. Wajah nya terus menerus berseri, dan jangan lupakan senyuman yang sedari tadi tak luntur dari wajahnya.
"Hiks ... hiks ..."
Suara tangisan cukup keras menghiasi ruangan tengah rumah itu.
Dengan penuh penasaran Louis melangkahkan kakinya menuju sumber suara.
Tangisan yang sebelumnya ia dengar kini semakin terdengar memyesakkan, berkali kali suara raungan dan ucapan kata 'maaf' dapat di dengar oleh Louis dengan jelas.
'Lucy? Ada apa dengannya?' benak Louis dalam hati.
Jujur saja ia tak tega melihat sang adik seperti itu, hanya saja benteng dirinya yang selalu menampilkan sikap dingin pada sang adik seolah membatasinya untuk mencoba menghibur gadis yang tengah meringkuk di sofa dengan isakan menyayat hati.
"Yha! Jangan menangis kencang seperti itu, kau mengganggu pendengaranku."
Kalimat itulah yang justru terlontar dari mulut Louis pada sang adik, di bandingkan menanyakan apa yang terjadi, atau mungkin bersimpati mencoba menghibur gadis itu.
Sepertinya Louis kali ini tetap masih setia dalam pendiriannya yang dimana tetap menjaga ego nya untul bersikap dingin dengan sang adik Lucy, yang tak lain mantan kekasih Ed.
"Ma...-maaf, tapi tak bisakah Bang Louis mengerti keadaanku, atau memberikan pelukan penenang seperti saat kita kecil dulu? A..-aku merindukan saat itu," ujar Lucy yang perlahan duduk mencoba menatap Louis.
Seketika Louis terdiam, bayangan masa kecil yang dikatakan oleh Lucy tiba tiba saja terlintas di kepalanya.
Perasaan Louis yang sebelumnya keras, kini melunak. Kegundahan hati kini terjadi pada Louis.
Maniknya menatap ke arah Lucy lekat. Gadis itu tampak rapuh, dan hancur.
'Sial! Mengapa perasaan ku menjadi seperti ini? Fokus Louis, ini belum saatnya, kau harus ingat selama ini kau dengan susah payah membangun karaktermu itu.'
"Kau fikir dengan kata -katamu itu akan membuatku berubah? Lebih baik hentikan tangismu, dan jangan terlalu larut dengan masalahmu, anggap saja kau sedang dalam ujian."
Deg!
'Bang Louis menasihatiku?'
———
Leave a comment, and vote